Berkelana di Pesona Biak

By , Rabu, 10 Januari 2018 | 15:00 WIB

"O tidak bisa Bapa. Kitorang harus tunggu dia pu­nya toko buka sepulang gereja pukul se­belas. Itu sudah,” Salmon Wanares dan Alfred Manbrasar, pemandu selam kami berucap nya­ris serempak dalam logat lembut khas Pa­pua. Peralatan selam telah siap di seman (jukung, perahu bercadik), bermotor tempel tiada bersolar. Agaknya sia-sia kami tiba di pantai lebih pagi pukul 07:30 agar bisa be­rangkat lebih cepat 1,5 jam dari kemarin.

Saya, juga teman-teman, Nia, Andrias, Bu­dhi, Edison, Iman, Ong merasa pen­jad­wa­lan berangkat pukul 09:00 oleh Biak Di­ving, kemarin, terlalu siang untuk tiga kali penyelaman sehari. Titik penyelaman di Kepulauan Padaido dicapai se­ki­tar satu jam dengan seman.

Iman dan Nia, ‘pemimpin’ per­ja­lanan kami terus meyakinkan Sal­mon agar menjemput solar se­ce­patnya. Tak mungkin kami per­gi menyelam jelang makan siang ka­rena menunggu depot so­lar buka. Tak lama, keduanya ber­ja­­­lan ke arah kampung, tempat ting­­­­gal pemasok langganan.

Baca juga: Perkenalkan, Myzomela irianawidodoae, Spesies Burung Baru Temuan LIPI

“Mereka yang harus mengikuti ke­­mauan tamu, bukan sebaliknya,” tegas Nia lagi.Saya tersenyum. Saat itu, kami me­mang sedang berada di tahap ‘se­lam dinas.’ Selam ‘tak mau rugi,’ ingin maksimal, setimpal kocek yang telah dalam-dalam kami rogoh untuk tiba di sini dari Jakarta.

Sikap kami yang penuh ‘tekanan’ agar target tercapai sesuai yang direncanakan benar-benar bertolak belakang dengan para warga di sini. Betapa mereka menjalani hidup seperti mengalir saja. Tak perlu tergesa-gesa.

Memang tak perlu ada yang dikejar di sini. Hidup sungguh nyaman dimanjakan alam Teluk Cenderawasih. Tak perlu ker­ja (terlalu) keras, semua bisa hidup se­jah­tera —kebutuhan hidup sehari-hari ter­­­penuhi. Sekadar untuk lauk, ikan ber­limpah cukup dipancing. Air kelapa dari nyiur yang meliuk-liuk di sepanjang pantai bisa memuaskan dahaga.

Bahwa ada se­ke­lompok warga setempat mengelola per­­­ja­la­nan selam pun, sudah luar biasa. Wa­lau orientasi untuk melayani para tamu dengan sebaik-baiknya ma­sih ha­rus lebih ditingkatkan. Untuk memenuhi standar.

Tapi saya puas dengan layanan me­reka sejak kami mendarat dengan Ga­ruda Indonesia pukul 05:10 WIT setelah menempuh 7 – 8 jam perjalanan malam. Bandara Frans Kaisepo kecil saja. Ber­ba­tasan dengan rumah penduduk, tepinya ber­padang rumput dengan kambing yang asyik memamah biak.

(National Geographic Indonesia)

Jarak bandara hanya sekitar 100 m de­ngan tempat kami menginap, Hotel Irian yang berada di tebing tepi pantai. Tersedia 48 ruangan, 20 berpendingin udara. Ka­mi cukup berjalan kaki ke deretan ka­mar ber-AC berfasilitas sederhana —yang pen­ting bersih dan air mandi mengalir lan­car. Ba­gasi diurus Biak Diving.

Hotel yang masih mempertahankan kekhasan arsi­tektur ka­yu khas kolonial Belanda dengan bar, ruang makan dan ruang tamu yang nya­man ini termasuk yang terbaik di Biak, pu­lau terbesar dalam gugus kepulauan di mu­ka Teluk Cenderawasih.

Indonesia Timur selalu mengembuskan energi positif. Bahkan sebelum mandi dan sarapan, kami merasa segar walau se­ma­la­man di pesawat tertidur dan sesekali ter­bangun dalam posisi duduk. Kondisi fisik dan mental kami siap untuk langsung berangkat menyelam. 

Dalam dua seman, kami berangkat ke Catalina Point, barat daya Kota Biak, 45 me­nit dari Hotel Irian dengan laut be­gi­tu tenang. Saya dan Salmon ngobrol soal beragam perahu tradisional. Ada wai (ka­no), mansusu digunakan untuk perang an­­tar­pulau di masa lalu, dan wairon pe­ngang­kut perbekalan.