Kami mengawali 8 kali penyelaman yang dijadwalkan di Biak dengan wreck diving. Sasaran kami berada di kedalaman 21-30 m: PBY Catalina, pesawat amfibi produksi Consolidated Aircraft selama 1930- 1940. Buatan Amerika ini jadi salah satu pesawat beragam peran yang paling diandalkan selama Perang Dunia II. Tugasnya memunguti pilot pesawat yang jatuh ke laut, dan anti kapal selam dengan menjatuhkan bom begitu si kapal terpantau. Saya nyaris tak berkedip melihatnya.
Berbeda dari kebanyakan rongsokan pesawat yang telah jadi rumpon bawah laut —patah, berlubang besar, merapuh— Catalina nyaris utuh! Posisinya anggun, moncong mengarah ke atas, kaki dan ekor yang menapak mantap di dasar laut, mengesankan seolah-olah ia memang sengaja diletakkan di situ. Konon, pesawat ini tenggelam karena terbakar ketika sedang berlabuh. Entahlah.
Baca juga: Dikira Tidak Aktif, Gunung di Papua Nugini Meletus
Saya cukup puas bisa menangkap sebagian tubuhnya dalam kamera saku analog bawah laut saya, Sea&Sea MX-II, sementara Nia, Andrias, Budhi, Iman memuaskan memotret utuh dari segala posisi dengan kamera SLR, housing dan strobe profesional mereka. Terumbu karang ‘miskin’ tanpa banyak karang lunak dan karang batu hidup agaknya membuat laut sebening kristal. Tapi ikan lepu ayam, nudibranch (siput laut tak bercangkang) bahkan si langka kaibam (ikan Napoleon Wrasse), menemani kami berputar-putar, mengagumi si Catalina.
Penyelaman kedua, kami ke Kepulauan Padaido, gugus 30 pulau di tenggara Biak. Sesuai maknanya dalam bahasa Biak —keindahan yang sulit dilukiskan— memang mengundang decak ketika kami hampiri. Kadang disebut Schoutenlands untuk menghormati Willaim Schouten yang ‘menemukan’ kepulauan ini pada 1962. Sayangnya, penyelaman di Marina Point, Pulau Owi, buat saya ‘membosankan.’ Wajah terumbu karang tak berbeda dari penyelaman pertama, dan ikan begitu sepi. Ada kepiting lumayan besar, seukuran dua telapak tangan terjerat tali pancing. Saya tak bisa melepaskan talinya. Budhi yang membawa pisau selam pun membantu.
Salmon dan Alfred Mambrasa rajin juga mencari objek, menukik sekitar 10 meter ke bawah saya yang bertahan di posisi 20-an meter saja. Lalu terdengar denting tangki udara yang dipukul tongkat besi, Alfred memberi isyarat, telapak tangan vertikal di depan dahi —ada dua hiu! Kami spontan menukik. Hiu pasti berkelebat pergi begitu dihampiri.
Wall diving di penyelaman ketiga di Pulau Rurbas kecil diwarnai terumbu karang lumayan subur, beberapa bagian porak-poranda, khas terkena bom ikan, tapi sebagian mulai ditumbuhi soft coral. Ikan tetap sedikit sekali, mungkin berkelana ke tempat lain yang lebih banyak makanannya. Saya fokus mengamati hal-hal kecil: kepiting laba-laba di karang lunak gelembung, nudibranch hijau.
Giru si clown fish agaknya sedang dalam masa kawin. Mereka yang biasa tenang-tenang di anemon, tiba-tiba menghampiri saya yang masih berjarak beberap meter darinya. Saya teringat pengalaman di Bali, ketika tangan saya dan rekan pernah dipatuk hingga berdarah oleh makhluk kecil menggemaskan yang berubah galak kalau menyangkut perlindungan anak.
Baca juga: Peneliti Temukan Rahasia Penyakit Malaria, Jalan Bagi Vaksin Baru
Kami makan malam sedap dengan papeda (bubur sagu) yang disantap dengan kuah ikan segar di rumah makan di pusat kota. Dengan perut puas, kami menuju Pasar Inpres Biak. Sejumlah penjaja menata pinang, sirih, kapur di meja-meja kecil. Akhirnya kami menemukan sasaran utama: durian! Terutama bagi saya dan Andrias, daging tebal kering legit ‘pahit’ beralkohol yang didatangkan dari pulau-pulau sekitar itu betul-betul mantap. Hari pertama yang menyenangkan.
Kembali ke hari kedua
Salmon, Alfred dan juru mudi perahu muncul dengan masing-masing menjinjing jerigen solar. Mereka berhasil membeli walau toko belum buka.