Hari itu jadwal kami wall diving, terumbu karang bak dinding. Ke Pulau Mansor Babo yang bermakna tunas baru, kami terhibur oleh pari burung, ikan balon besar dan banyak anemone meski hanya satu yang berpenghuni udang bening. Penyelaman kedua di tempat sama menyuguhkan penyu, lepu batu, dan untuk pertama kalinya: ikan lumayan banyak. Saat surface interval (jeda antarpenyelaman), para pemandu berkata bahwa tadi ada hiu ujung sirip putih. Saya tak melihat.
Ke Calien Martin Point di Pulau Undi menantang nyali, menyelam ke semacam potongan goa bawah laut dengan 3 rongga raksasa. Air jernih sekali. Ketika akan naik ke perahu, Andrias bermain-main dengan cadik, ingin duduk di situ. Cadik pun terlepas. Setelah dibetulkan pun, juru mudi dan pemandu merasa perahu tetap tak stabil. Walau saat itu perairan serata kaca, untuk kembali ke Biak, risiko harus dihindari. Laut bisa berubah setiap saat. Diputuskan untuk mampir ke Pulau Undi membetulkan cadik.
Blessing in disguise. Sementara perahu diperbaiki, kami punya kesempatan sejenak menjelajah pulau berpantai pasir putih itu. Rongsokan tank, torpedo sisa PD II teronggok, menyisakan daya, mengembuskan asap materialnya lewat celah karat.
Di muka sebuah rumah, sekelompok ibu sedang menyiapkan barapen atau bara api yang diletakkan di antara batu-batu karang. Ini budaya khas warga Biak. Di atasnya diletakkan ikan panggang yang disebut ikan kulit pasir. Bagian kulit luar ikan mirip pasir halus, pipih dan bagian kepala memiliki ‘tanduk’ sepanjang 3-10 cm. Ikan jenis ini biasanya disuguhkan pada tamu kehormatan. Konon, rasanya gurih. Sayang, kami mesti cepat pergi.
Malam itu, kami melencer kembali ke pasar. Tomat, cabai, bawang merah dan putih ditakar dan ditata sekelompok-sekelompok oleh penjaja yang kebanyakan wanita. Ada seorang Oma begitu rapi mengenakan kebaya khas Papua, rambutnya yang memutih disanggul rapi, mengingatkan pada oma-oma di Maluku.
Hari terakhir penyelaman
Kami kembali ke Mansor Babo mengincar imampir, bahasa setempat untuk baraccuda. Muka bawah laut berbukit-bukit kecil dengan padang pecut laut, mengingatkan pada Maratua, Kalimantan Timur. Inggarfor (ikan kuwek), iman swaref (ikan kambing, rainbowfish), 3 hiu ujung sirip putih kecil dan 1 grey shark lumayan menggantikan barakuda yang tak muncul.
Kami pindah ke Pulau Undi, ikan cukup ramai dengan gerombolan kuwek, tuna, ekor kuning dan layur. Akhirnya kami, kami melihat segerombolan barakuda. Sayangnya mereka hanya bolak-balik ke kanan-kiri. Gerakan mereka melingkar-lingkar seperti yang kita saksikan di foto dan video bawah laut hanya terjadi bila arus begitu kuat. No current, no life.
Penyelaman ketiga, perairan Teluk Cenderawasih agaknya ingin memberi kesan baik bagi kami agar Bila Ingat Akan Kembali —konon akronim BIAK. Laut bisa berpenampilan beda walau di tempat sama. Ada gerombolan barakuda, ikan kambing, kuwek dan Napoleon Wrasse kecil. Sementara saya tetap di kedalaman 20-an meter, yang lain menuju kedalaman 30-an m. Masih cukup jelas untuk menangkap geliat 3 hiu yang langsung melesat pergi. Datang satu hiu lagi. Ukurannya terbilang besar, sekitar 3 m. Meliuk dan berputar-putar seolah peragawati yang memberi kesempatan Nia, Iman, Budhi dan Andrias membidikkan kamera sepuasnya.
Baca juga: Sang Asteroid AntarBintang, Oumuamua
Sore itu, kami ke pusat Kota Biak untuk mencari oleh-oleh. Sebenarnya, tiap kali kami makan di rumah makan, atau berjalan-jalan seperti ini, ada saja warga setempat yang menghampiri, menawarkan kerajinan tangan, cendera mata. Mereka tak memaksa bila kita tak berminat. Sikap yang menyamankan wisatawan. Saya pun membeli seperangkat busur dan anak panah dari pria tua yang sopan.
Di toko cendera mata, ada lukisan kulit kayu, ukiran kayu, tifa dan koteka, seperti yang ditawarkan di Jayapura. Juga kaos oblong. Saya pilih yang bertema diving Biak dan Kepulauan Biak. Pasangan pemilik toko ternyata warga Bugis, mewakili kelompok pendatang yang senang berdagang. Selain warga asli Biak dan Papua dari Tanah Besar dan pulau-pulau sekitar beretnis Melanesia, Biak juga diramaikan oleh transmigran dari Jawa.