Berkelana di Pesona Biak

By , Rabu, 10 Januari 2018 | 15:00 WIB

Hari itu jadwal kami wall diving, terumbu karang bak dinding. Ke Pulau Mansor Babo yang bermakna tunas baru, kami terhibur oleh pari burung, ikan balon besar dan ba­­­nyak anemone meski hanya satu yang ber­­­penghuni udang bening. Penyelaman ke­dua di tempat sama menyuguhkan pe­nyu, lepu batu, dan untuk pertama ka­li­nya: ikan lumayan banyak. Saat surface interval (jeda antarpenyelaman), para pe­mandu berkata bahwa tadi ada hiu ujung sirip pu­tih. Saya tak melihat.

Mencekam, menggairahkan kala kami menyusuri celah goa di Calien Martin Point, Pulau Undi. (Christantiowati)

Ke Calien Martin Point di Pulau Undi me­­nantang nyali, menyelam ke semacam po­tongan goa bawah laut dengan 3 rongga raksasa. Air jernih sekali. Ketika akan naik ke perahu, Andrias bermain-main dengan cadik, ingin duduk di situ. Cadik pun terlepas. Setelah dibetulkan pun, juru mudi dan pemandu merasa perahu tetap tak stabil. Walau saat itu perairan serata ka­ca, untuk kembali ke Biak, ri­si­ko harus dihindari. Laut bisa be­r­ubah setiap saat. Diputuskan un­­tuk mampir ke Pulau Undi mem­betulkan cadik.

Blessing in disguise. Sementara pe­rahu diperbaiki, kami punya ke­sempatan sejenak menjelajah pulau berpantai pasir putih itu. Rong­­sokan tank, torpedo sisa PD II teronggok, menyisakan da­ya, mengembuskan asap ma­te­rial­nya lewat celah karat.

Di muka sebuah rumah, se­ke­lom­pok ibu sedang menyiapkan barapen atau bara api yang diletakkan di antara batu-batu karang. Ini budaya khas warga Biak. Di atasnya diletakkan ikan panggang yang disebut ikan kulit pasir. Bagian kulit luar ikan mirip pasir halus, pipih dan bagian kepala memiliki ‘tanduk’ sepanjang 3-10 cm. Ikan jenis ini biasanya disuguhkan pada tamu kehormatan. Konon, rasanya gurih. Sayang, kami mesti cepat pergi.

Malam itu, kami melencer kembali ke pasar. Tomat, cabai, bawang merah dan putih ditakar dan ditata sekelompok-se­ke­lompok oleh penjaja yang kebanyakan wanita. Ada seorang Oma begitu rapi me­ngenakan kebaya khas Papua, ram­butnya yang memutih disanggul rapi, meng­ingatkan pada oma-oma di Maluku.

Hari terakhir penyelaman

Kami kem­bali ke Mansor Babo mengincar imam­pir, bahasa setempat untuk baraccuda. Muka bawah laut berbukit-bukit kecil dengan padang pecut laut, mengingatkan pada Maratua, Kalimantan Timur. Inggarfor (ikan kuwek), iman swaref (ikan kambing, rainbowfish), 3 hiu ujung sirip putih kecil dan 1 grey shark lumayan menggantikan barakuda yang tak muncul.

Ikan Barakuda bergerombol (Christantiowati)

Kami pindah ke Pulau Undi, ikan cukup ramai dengan gerombolan kuwek, tuna, ekor kuning dan layur. Akhirnya kami, kami melihat segerombolan barakuda. Sa­yangnya mereka hanya bolak-balik ke ka­nan-kiri. Gerakan mereka melingkar-ling­kar seperti yang kita saksikan di foto dan video bawah laut hanya terjadi bila arus begitu kuat. No current, no life.

Penyelaman ketiga, perairan Teluk Cen­­derawasih agaknya ingin memberi ke­san baik bagi kami agar Bila Ingat Akan Kembali —konon akronim BIAK. Laut bisa berpenampilan beda walau di tempat sama. Ada gerombolan barakuda, ikan kambing, kuwek dan Napoleon Wrasse kecil. Se­men­tara saya tetap di kedalaman 20-an me­ter, yang lain menuju kedalaman 30-an m. Masih cukup jelas untuk me­nang­kap geliat 3 hiu yang langsung melesat pergi. Da­tang satu hiu lagi. Ukurannya terbilang besar, sekitar 3 m. Meliuk dan berputar-putar seolah pe­ra­ga­wati yang memberi kesempatan Nia, Iman, Budhi dan Andrias membidikkan kamera sepuasnya.

Baca juga: Sang Asteroid AntarBintang, Oumuamua

Sore itu, kami ke pusat Kota Biak untuk men­cari oleh-oleh. Sebenarnya, tiap ka­li kami makan di rumah makan, atau ber­ja­lan-jalan seperti ini, ada saja warga se­tem­pat yang menghampiri, menawarkan kerajinan tangan, cendera mata. Mereka tak memaksa bila kita tak berminat. Sikap yang menyamankan wisatawan. Saya pun membeli seperangkat busur dan anak panah dari pria tua yang sopan.

Di toko cendera mata, ada lukisan kulit kayu, ukiran kayu, tifa dan koteka, seperti yang ditawarkan di Jayapura. Juga kaos oblong. Saya pilih yang bertema diving Biak dan Kepulauan Biak. Pasangan pe­mi­lik toko ternyata warga Bugis, mewakili ke­lompok pendatang yang senang ber­dagang. Selain warga asli Biak dan Papua dari Tanah Besar dan pulau-pulau sekitar beretnis Melanesia, Biak juga diramaikan oleh transmigran dari Jawa.