Berkelana di Pesona Biak

By , Rabu, 10 Januari 2018 | 15:00 WIB

“Kami buat di Bandung,” ujar si wanita penjaja. “Soalnya sablon di sini belum baik hasilnya. Seperti ini, separasi warnanya belum sem­purna. Tak baik dijual.”Boleh juga sikapnya. Tetap ja­ga mutu, walau juga tetap mem­beri kesempatan warga se­tempat untuk mencoba ke­terampilan dan usaha baru.

Hari keempat

Kami me­mutuskan lebih baik menjeja­jah da­ratan Biak saja. Inilah hari ka­mi harus jeda, minimal 24 jam setelah penyelaman ter­­­­akhir, untuk mencegah gang­­­­­­guan kesehatan akibat pe­nye­­­laman berseri, sebelum ter­bang ke Jakarta.

Pagi itu Alfred dan Salmon menjemput dengan mobil. Biasanya kami ke pusat ko­ta naik angkutan kota dari luar ban­dara. Angkutan kota agak jarang sampai me­mutar jalan dekat bandara. Kami biasa­nya menunggu di lobi hotel, tak per­lu ta­kut ketinggalan si mobil kecil yang le­wat. Inilah yang khas: sang sopir se­lalu me­nye­tel musik kencang-kencang, di­perkuat oleh pengeras suara di bagian be­lakang. Da­ri jauh pun sudah terdengar. Ja­di, kami baru beranjak ke jalan raya be­gitu si musik su­dah tertangkap telinga.

Pantai-pantai yang sulit terlukis dengan kata-kata (atas). Pernik milik serdadu Jepang peninggalan PD II (kanan atas). (Christantiowati)

Kami mengarah ke Pantai Marauw, 29 km dari bandara. Kami tiba di Hotel Biak Beach, yang pernah menjadi resor termewah di Biak.  Dalam Indonesian New Guinea West Papua/Irian Jaya, susunan Kal Muller terbitan Periplus, 2001, hotel bintang 5 ini disebut sebagai ‘pusat’  pem­­bangunan Biak. Semua kamarnya menghadap laut dengan balkon pribadi, pendingin ruangan, interior mewah di­lengkapi kafe, restoran, bar, fasilitas olah­raga, rekreasi dan konferensi.

Baca juga: Kotoran Ayam Bisa Menghasilkan Tenaga Listrik

Harga cottage mulai USD 90, suite hingga USD 500. Inilah persinggahan nyaman ketika Biak jadi pemberhentian pertama di Indonesia bagi pelancong yang terbang dari AS untuk mengisi bahan bakar sebelum melanjutkan ke Bali atau Jawa. Ketika Garuda Indonesia masih memiliki penerbangan Jakarta – Los Angeles, transit di Biak. Tak heran saat itu Biak ramai dan sibuk. Bandara Frans Kasiepo menjadi salah satu bandara di Indonesia yang dapat didarati pesawat be­sar sejenis Boeing 747.

Hanya berselang lima tahun, ketika tiba, kami hanya mendapati hotel ini mendekati puing-puing. Bangunannya masih kokoh berdiri, dengan pernik khas Papua di lobi utama. Tapi sejumlah dinding dan lantai meninggalkan jejak penjarahan. Sejak Garuda Indonesia menghentikan penerbangan langsung dari Amerika, se­­muanya men­dadak sepi. Hotel dan pengelola tak mam­pu bertahan. Entahlah, me­ngapa Garuda Indonesia meninggalkan ‘pa­sar ba­sah’ ini.

Biak Beach Hotel merana ditinggal Garuda. (Christantiowati)

Hari-hari itu, marak berita bahwa Biak akan dijadikan pangkalan roket  negeri adidaya. Alfred dan Salmon bahkan membujuk kami membeli tanah di sini, yang  masih cukup murah, sebelum dipastikan melonjak jika proyek tingkat tinggi itu terlaksana.

Sambil berharap, Garuda Indonesia kembali menjadwalkan penerbangan internasional langsung ke sini, dan ada penanam modal baru bagi si hotel me­rana, kami mengarah ke Pantai Parai berpasir putih, 5 km ke barat dari pusat Kota Biak. Ada semacam bangunan melengkung yang mengingatkan pada Teater Keong Mas TMII, yang menjadi semacam museum kecil dengan pernak-pernik perlengkapan tentara Jepang yang tertata rapi dalam panel-panel ka­ca.

Pelataran pun tersemen rapi de­ngan tonjolan-tonjolan kecil bak ni­san. Ta­man kenangan indah terawat de­ngan bantuan dana rutin pemerintah Je­pang ini sesekali diziarahi wisatawan ne­geri matahari terbit itu.

Abiyau Binzar, goa nenek yang dijadikan gua persembunyian Jepang masa PD II. (Christantiowati)

Kami pun bergeser ke Kampung Sum­berker, menengok peninggalan PD II yang lain. Ke Gua Jepang yang di­sebut warga setempat, Abiyau Bin­zar, goa nenek (abiyau = goa, binzar = ne­nek). Konon dulu seorang wanita tua tinggal di sini. Jepang memanfaatkan gua alam sepanjang 3 km yang ditemukan pada 1943 dengan tiga ruang besar di dalam gua sebagai gudang perbekalan, tempat persembunyian dan penyerangan melawan Sekutu pimpinan Amerika.

Ben­­teng alam tangguh bagi Jepang ini ak­­hirnya pada pagi 7 Juli 1944 berhasil di­serang AS, diguyur bensin dan membara selama beberapa bulan yang menewaskan 3.000 tentara Jepang. Kini menjadi salah satu tujuan wisata utama Biak, dengan hu­­tan sekitarnya terjaga. Tak sulit untuk men­­capai bagian dalam gua yang dipenuhi sta­lag­tit dan stalagmit itu. Telah ada tangga ber­pagar. Suasana juga tak pengap karena langit-langit tinggi dan rongga besar me­ngembuskan udara segar dari luar.

Kami juga mampir ke Museum Ke­nangan PD II dekat gua yang me­nempati ba­ngunan tembok dengan banyak jen­dela, beratap seng berbentuk honai, ru­mah tradisional Papua. Di dalam kita bi­sa melihat pernik militer Sekutu dan Ba­latentara Jepang, dari tempat minum, se­longsong peluru sampai granat berkarat. Di halamannya yang menghijau asri ter­ong­gok sisa-sisa mesin perang seperti meriam dan tank.Tentu saja kami tak lupa menikmati ke­kayaan Bumi Biak yang sebagian disajikan di Taman Burung dan Taman Anggrek di area seluas 5 ha di Distrik Biak Timur.

Soal anggrek, selama di Biak, sejumlah penjaja asongan kerap menawarkan anggrek lokal yang memang indah itu. Kalau sudah begini, kami saling meng­ingatkan untuk tak tergoda membeli. Kami tak tahu apakah anggrek-anggrek itu termasuk jenis yang dilindungi. Ka­lau­pun kami beli, apakah mereka akan ber­tahan hidup di Jakarta? Kendati se­kilas Jakarta sepanas Biak, apakah per­bedaan iklim menjamin bahwa anggrek yang hijrah itu akan bertahan hidup?

Ngomong-ngomong soal panas, Kal Muller menyebut bahwa istilah Irian yang sempat menggantikan Papua se­ba­gai nama bagi pulau terbesar kedua se­telah Greenland ini dicetuskan oleh warga Biak terkemuka, yaitu Frans Kaisiepo, yang tampil dalam Konferensi Malino 1946. Istilah ini ditujukan bukan terhadap seluruh wilayah Papua, tapi hanya di daerah Waropen, dekat Biak, yang bermakna “iklim panas.” Se­belumnya, info yang sa­ya dapat, IRIAN me­rupakan ak­ro­­nim Ikut Republik Indonesia Anti Ne­derland.

Hari terakhir di Biak

Kami me­nyem­patkan ke Pasar Inpres Biak,  tem­­­pat terbaik untuk mengenali ke­ka­yaan alam, kekhasan budaya dan corak per­eko­nomian setempat.

Ada talas besar-besar yang menjadi ma­­kanan pokok setempat, ditemani kuah ikan. Ada peralatan masak dan ma­­kan dari kayu: garpu khusus untuk ‘mengangkat’ papeda —bubur sagu leng­ket kenyal— ke piring. Ada daun ubi dan ragam sayur-mayur, serta dendeng asap kuskus —masih utuh, lengkap dengan kepala, tapi badan disayat pipih, melebar di­semat dalam bilah bambu.

Baca juga: Enam Tempat Terbaik Untuk Menyaksikan Langit Penuh Bintang

Dengan berat hati, sore itu kami ter­bang kembali ke Jakarta. Meninggalkan keramahan alam dan penduduknya.Se­kelompok pe­nyelam mengatur per­ja­lanan ke Biak setelah mendengar pe­ngalaman ka­mi yang menyenangkan. Ha­­nya berbeda be­be­rapa minggu da­ri kami. Tetapi, laut me­mang mu­dah berubah. Te­man-teman kami urung me­­nikmati dengan puas karena lautan be­gitu keruh. Se­mentara saya ma­sih ter­ke­­nang laut se­bening kristal di seputar Biak dan Pa­daido.