“Kami buat di Bandung,” ujar si wanita penjaja. “Soalnya sablon di sini belum baik hasilnya. Seperti ini, separasi warnanya belum sempurna. Tak baik dijual.”Boleh juga sikapnya. Tetap jaga mutu, walau juga tetap memberi kesempatan warga setempat untuk mencoba keterampilan dan usaha baru.
Hari keempat
Kami memutuskan lebih baik menjejajah daratan Biak saja. Inilah hari kami harus jeda, minimal 24 jam setelah penyelaman terakhir, untuk mencegah gangguan kesehatan akibat penyelaman berseri, sebelum terbang ke Jakarta.
Pagi itu Alfred dan Salmon menjemput dengan mobil. Biasanya kami ke pusat kota naik angkutan kota dari luar bandara. Angkutan kota agak jarang sampai memutar jalan dekat bandara. Kami biasanya menunggu di lobi hotel, tak perlu takut ketinggalan si mobil kecil yang lewat. Inilah yang khas: sang sopir selalu menyetel musik kencang-kencang, diperkuat oleh pengeras suara di bagian belakang. Dari jauh pun sudah terdengar. Jadi, kami baru beranjak ke jalan raya begitu si musik sudah tertangkap telinga.
Kami mengarah ke Pantai Marauw, 29 km dari bandara. Kami tiba di Hotel Biak Beach, yang pernah menjadi resor termewah di Biak. Dalam Indonesian New Guinea West Papua/Irian Jaya, susunan Kal Muller terbitan Periplus, 2001, hotel bintang 5 ini disebut sebagai ‘pusat’ pembangunan Biak. Semua kamarnya menghadap laut dengan balkon pribadi, pendingin ruangan, interior mewah dilengkapi kafe, restoran, bar, fasilitas olahraga, rekreasi dan konferensi.
Baca juga: Kotoran Ayam Bisa Menghasilkan Tenaga Listrik
Harga cottage mulai USD 90, suite hingga USD 500. Inilah persinggahan nyaman ketika Biak jadi pemberhentian pertama di Indonesia bagi pelancong yang terbang dari AS untuk mengisi bahan bakar sebelum melanjutkan ke Bali atau Jawa. Ketika Garuda Indonesia masih memiliki penerbangan Jakarta – Los Angeles, transit di Biak. Tak heran saat itu Biak ramai dan sibuk. Bandara Frans Kasiepo menjadi salah satu bandara di Indonesia yang dapat didarati pesawat besar sejenis Boeing 747.
Hanya berselang lima tahun, ketika tiba, kami hanya mendapati hotel ini mendekati puing-puing. Bangunannya masih kokoh berdiri, dengan pernik khas Papua di lobi utama. Tapi sejumlah dinding dan lantai meninggalkan jejak penjarahan. Sejak Garuda Indonesia menghentikan penerbangan langsung dari Amerika, semuanya mendadak sepi. Hotel dan pengelola tak mampu bertahan. Entahlah, mengapa Garuda Indonesia meninggalkan ‘pasar basah’ ini.
Hari-hari itu, marak berita bahwa Biak akan dijadikan pangkalan roket negeri adidaya. Alfred dan Salmon bahkan membujuk kami membeli tanah di sini, yang masih cukup murah, sebelum dipastikan melonjak jika proyek tingkat tinggi itu terlaksana.
Sambil berharap, Garuda Indonesia kembali menjadwalkan penerbangan internasional langsung ke sini, dan ada penanam modal baru bagi si hotel merana, kami mengarah ke Pantai Parai berpasir putih, 5 km ke barat dari pusat Kota Biak. Ada semacam bangunan melengkung yang mengingatkan pada Teater Keong Mas TMII, yang menjadi semacam museum kecil dengan pernak-pernik perlengkapan tentara Jepang yang tertata rapi dalam panel-panel kaca.
Pelataran pun tersemen rapi dengan tonjolan-tonjolan kecil bak nisan. Taman kenangan indah terawat dengan bantuan dana rutin pemerintah Jepang ini sesekali diziarahi wisatawan negeri matahari terbit itu.
Kami pun bergeser ke Kampung Sumberker, menengok peninggalan PD II yang lain. Ke Gua Jepang yang disebut warga setempat, Abiyau Binzar, goa nenek (abiyau = goa, binzar = nenek). Konon dulu seorang wanita tua tinggal di sini. Jepang memanfaatkan gua alam sepanjang 3 km yang ditemukan pada 1943 dengan tiga ruang besar di dalam gua sebagai gudang perbekalan, tempat persembunyian dan penyerangan melawan Sekutu pimpinan Amerika.
Benteng alam tangguh bagi Jepang ini akhirnya pada pagi 7 Juli 1944 berhasil diserang AS, diguyur bensin dan membara selama beberapa bulan yang menewaskan 3.000 tentara Jepang. Kini menjadi salah satu tujuan wisata utama Biak, dengan hutan sekitarnya terjaga. Tak sulit untuk mencapai bagian dalam gua yang dipenuhi stalagtit dan stalagmit itu. Telah ada tangga berpagar. Suasana juga tak pengap karena langit-langit tinggi dan rongga besar mengembuskan udara segar dari luar.
Kami juga mampir ke Museum Kenangan PD II dekat gua yang menempati bangunan tembok dengan banyak jendela, beratap seng berbentuk honai, rumah tradisional Papua. Di dalam kita bisa melihat pernik militer Sekutu dan Balatentara Jepang, dari tempat minum, selongsong peluru sampai granat berkarat. Di halamannya yang menghijau asri teronggok sisa-sisa mesin perang seperti meriam dan tank.Tentu saja kami tak lupa menikmati kekayaan Bumi Biak yang sebagian disajikan di Taman Burung dan Taman Anggrek di area seluas 5 ha di Distrik Biak Timur.
Soal anggrek, selama di Biak, sejumlah penjaja asongan kerap menawarkan anggrek lokal yang memang indah itu. Kalau sudah begini, kami saling mengingatkan untuk tak tergoda membeli. Kami tak tahu apakah anggrek-anggrek itu termasuk jenis yang dilindungi. Kalaupun kami beli, apakah mereka akan bertahan hidup di Jakarta? Kendati sekilas Jakarta sepanas Biak, apakah perbedaan iklim menjamin bahwa anggrek yang hijrah itu akan bertahan hidup?
Ngomong-ngomong soal panas, Kal Muller menyebut bahwa istilah Irian yang sempat menggantikan Papua sebagai nama bagi pulau terbesar kedua setelah Greenland ini dicetuskan oleh warga Biak terkemuka, yaitu Frans Kaisiepo, yang tampil dalam Konferensi Malino 1946. Istilah ini ditujukan bukan terhadap seluruh wilayah Papua, tapi hanya di daerah Waropen, dekat Biak, yang bermakna “iklim panas.” Sebelumnya, info yang saya dapat, IRIAN merupakan akronim Ikut Republik Indonesia Anti Nederland.
Hari terakhir di Biak
Kami menyempatkan ke Pasar Inpres Biak, tempat terbaik untuk mengenali kekayaan alam, kekhasan budaya dan corak perekonomian setempat.
Ada talas besar-besar yang menjadi makanan pokok setempat, ditemani kuah ikan. Ada peralatan masak dan makan dari kayu: garpu khusus untuk ‘mengangkat’ papeda —bubur sagu lengket kenyal— ke piring. Ada daun ubi dan ragam sayur-mayur, serta dendeng asap kuskus —masih utuh, lengkap dengan kepala, tapi badan disayat pipih, melebar disemat dalam bilah bambu.
Baca juga: Enam Tempat Terbaik Untuk Menyaksikan Langit Penuh Bintang
Dengan berat hati, sore itu kami terbang kembali ke Jakarta. Meninggalkan keramahan alam dan penduduknya.Sekelompok penyelam mengatur perjalanan ke Biak setelah mendengar pengalaman kami yang menyenangkan. Hanya berbeda beberapa minggu dari kami. Tetapi, laut memang mudah berubah. Teman-teman kami urung menikmati dengan puas karena lautan begitu keruh. Sementara saya masih terkenang laut sebening kristal di seputar Biak dan Padaido.