Lebih Sadar Lingkungan, Anak Muda Berperan Dorong Kebijakan Konservasi dan Cegah Pandemi Baru

By Fathia Yasmine, Minggu, 6 Februari 2022 | 14:57 WIB
Ilustrasi konservasi kehati (Dok. Shutterstock)

Nationalgeographic.co.id – Apabila menilik sejarah, wabah atau pagebluk yang disebabkan oleh patogen zoonosis tidak hanya terjadi sekali.

Beberapa wabah besar akibat patogen zoonosis yang pernah terjadi memberi dampak besar bagi kehidupan manusia, baik dari segi kesehatan maupun ketahanan pangan.

Sayangnya, belum banyak orang yang memahami bahwa kemunculan wabah akibat zoonosis erat kaitannya dengan keseimbangan lingkungan.

Fakta itu turut menjadi topik perbincangan dalam  “Bincang Redaksi: Ancaman Pagebluk Baru terhadap Ketahanan Pangan Kita” yang digelar oleh Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO), Kementerian Pertanian, dan  Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID)  bersama National Geographic Indonesia (27/11/2021).

Baca Juga: Penemuan Spesies Baru Serangga yang Sangat Langka di Uganda Barat

Bincang Redaksi tersebut digelar sebagai bagian dari rangkaian peringatan One Health Day yang diperingati setiap tanggal 3  November di seluruh dunia .

Founder Tambora Muda dan Conservation Scientist, Sheherazade, yang hadir sebagai salah satu pembicara, menyampaikan pentingnya konservasi keanekaragaman hayati (kehati) sebagai upaya mencegah risiko terjadinya wabah zoonosis.

Menurut peneliti dan pegiat konservasi yang akrab disapa Shera tersebut, narasi konservasi memiliki alasan kuat untuk mencegah penyakit zoonosis.

Shera menyampaikan bahwa 75 persen penyakit zoonosis berasal dari satwa liar (wild life origin). Berdasarkan banyak penelitian, satwa liar yang menjadi inang patogen zoonosis antara lain adalah kelelawar, hewan pengerat, dan primata.

Baca Juga: Vila Gua Kaisar Romawi Tiberius dan Insiden yang Berujung Hukuman Mati

Ketiga kelompok hewan itu mengisi 75 persen populasi hewan mamalia di seluruh dunia. Ketika keseimbangan dalam habitat mereka terganggu, spillover atau penularan patogen zoonosis dapat terjadi.

Keseimbangan alam yang menjadi habitat satwa liar dapat terganggu karena dampak perubahan iklim dan perilaku manusia (faktor antropogenik).

Menurut sejumlah artikel jurnal ilmiah yang Shera paparkan, faktor antropogenik yang dapat memicu terjadinya wabah zoonosis adalah kepadatan manusia, pengelolaan peternakan, perubahan tata guna lahan, dan eksploitasi satwa liar untuk keperluan komersial.

Dari beberapa faktor antropogenik yang dapat meningkatkan risiko penyakit zoonosis menurut Shera, ada dua faktor yang paling erat kaitannya dengan konservasi kehati, yakniperubahan tata guna lahan yang erat dengan urbanisasi serta eksploitasi satwa liar untuk kebutuhan komersial.

Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim, Tanaman di Inggris Raya Berbunga Lebih Cepat

Terkait tata guna lahan, Shera pun memberi contoh kasus wabah zoonosis nipah yang pernah terjadi di Malaysia pada 1998-1999. Shera menjelaskan, wabah ini diduga berawal dari spillover patogen zoonosis dengan inang kelelawar.

Dahulu, penyakit nipah tidak menjangkiti manusia karena habitat kelelawar berada di dalam hutan. Namun, akibat alih fungsi bagian luar hutan menjadi perkebunan mangga monokultur, habitat kelelawar pun terganggu sehingga mereka memakan buah mangga di perkebunan tersebut.

“Perkebunan itu dekat dengan peternakan babi. Kemungkinan, ketika kelelawar hinggap dan memakan buah mangga di pohon, kotorannya yang membawa virus nipah jatuh ke peternakan,” kata Shera.

Akhirnya, terjadi spillover virus. Peternakan babi tersebut terkontaminasi virus nipah. Kemudian, virus nipah ditularkan dari hewan ternak ke pekerja di peternakan.

Baca Juga: Saat Membuat Keputusan, Apa yang Menyebabkan Kita Ragu atau Yakin?

Selain itu, ia pun mencontohkan salah satu wabah besar akibat zoonosis yang pernah terjadi di Asia. Wabah tersebut diduga berawal dari perdagangan musang yang dilakukan secara ilegal.

“Oleh karena itu, perlindungan terhadap kehati dengan langkah-langkah konservasi itu dampaknya tidak hanya untuk alam dan satwa liar, tetapi juga manusia. Dengan menjaga keseimbangan alam kita turut menjaga kesehatan manusia. Dengan demikian, konservasi juga menjadi hal yang penting dalam penerapan One Health,” ujarnya.

Senada dengan Shera, Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Nuryani Zainuddin yang juga hadir sebagai pembicara, menyatakan bahwa pencegahan zoonosis bersifat genting. Pasalnya, menurut penelitian berjudul “Prioritizing Zoonoses for Global Health Capacity Building—Themes from One Health Zoonotic Disease Workshops in 7 Countries, 2014–2016”, sebanyak 2,5 miliar kasus PIB berasal dari penyakit zoonosis.

Anak muda sebagai agen penggerak

Bincang Redaksi (Dok. Natgeo Indonesia)
Mengingat eratnya kaitan dengan One Health, Shera berharap bahwa konservasi dapat menjadi fokus dalam kebijakan-kebijakan pasca pandemi.

Ia juga berharap pemerintah dapat lebih terbuka dengan masukan dan keresahan kaum muda, terlebih dengan banyaknya jumlah anak muda yang mulai peduli dengan konservasi keanekaragaman hayati (kehati).

“Bagaimana kita memperlakukan alam akan menentukan kesehatan kita. Oleh sebab itu, investasi dalam bentuk konservasi keanekaragaman hayati perlu dilakukan. Harus ada upaya melindungi hutan, menekan laju deforestasi, hingga membatasi perdagangan satwa liar,” tuturnya.

Terkait aksi nyata yang dilakukan, Shera dan Tambora Muda, ia menyebut pihaknyamenggandeng berbagai instansi konservasi hingga universitas untuk mengumpulkan berbagai penelitian sebagai landasan untuk pengambilan keputusan/kebijakan di wilayah konservasi.

Baca Juga: Selama Pandemi, Depresi dan Kecemasan Meningkat Pada Ibu Hamil

Salah satu contoh implementasi pencegahan zoonosis dibuktikan Tambora Muda lewat konservasi kelelawar di Pulau Mantalu Daka, Sulawesi Tengah. Sebelumnya, kelelawar di lokasi tersebut kerap dijadikan sebagai sasaran perburuan liar.

Namun, seiring dengan adanya tindakan konservasi dan survei rutin ke area pasar tradisional yang dilakukan Tambora Muda, jumlah perburuan liar perlahan mengalami penurunan signifikan. Hasilnya, koloni kelelawar pun kian bertambah setiap tahunnya.

"Upaya anak-anak muda dalam proses konservasi membuahkan hasil yang memuaskan. Tercatat, populasi kelelawar meningkat hingga 76 persen selama periode 2018 hingga 2020," ungkap Shera.

Selain konservasi tersebut, Tambora Muda juga memiliki jejaring konservasi lain yang terhubung lewat Gerakan Anak Muda Tumbuh.

Baca Juga: Bahkan Bintang yang Sekarat pun Masih Bisa Melahirkan Planet

“Untuk One Health, kami juga mengadakan kampanye Cinta Taman Nasional untuk melindungi hutan dan mengurangi risiko zoonosis,” ungkapnya.

Shera berharap, gerakan konservasi tersebut dapat memengaruhi kebijakan pemerintah secara luas sehingga konservasi kehati tidak hanya menjadi tentang  perlindungan objek, tetapi juga berdampak besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan perlindungan kesehatan manusia dari risiko wabah zoonosis di masa depan.

Sejalan dengan upaya Tambora Muda yang terus menggerakan partisipasi anak muda, National Geographic Indonesia selaku media juga ikut memberi dorongan serupa.

Dalam kesempatan tersebut, Editor in Chief National Geographic Indonesia Didi Kaspi Kasim menyatakan bahwa media memiliki peran melipatgandakan kekuatan aksi dan gerakan yang sudah dilakukan anak muda saat ini.

Baca Juga: Pasangan Penguin Jantan di AS Sukses Mengerami Telur Hingga Menetas

"Kami menemukan ada generasi yang cemas, bagaimana bisa mengatasi perubahan iklim, bagaimana menjaga food security (ketahanan pangan), bagaimana menjaga kelestarian kehati. Di sinilah peran media untuk memberi arahan,"ujar Didi.

Terkait dengan zoonosis, National Geographic Indonesia mengemas edukasi tersebut melalui program Bercerita Bersama Natgeo Indonesia.

Didi menyebut, media berperan memberi sudut pandang yang lebih luas mengenai pelestarian alam, terutama mengurai kaitannya dengan timbulnya wabah zoonosis. 

"Untuk zoonosis, kami tidak membawa kesadaran dari segi pangannya saja, tetapi juga dari bagaimana dampak sehari-hari yang mungkin terjadi apabila keseimbangan manusia, hewan, dan alam berjalan selaras,” ujarnya.

Baca Juga: Vila Gua Kaisar Romawi Tiberius dan Insiden yang Berujung Hukuman Mati

Video bertajuk “Surveilans Triangulasi, Upaya Meredam Wabah Penyakit Baru” menjadi salah satu contoh keharmonisan manusia, hewan, dan lingkungan.

Dalam video tersebut, National Geographic bersama FAO mengisahkan tentang kehidupan masyarakat desa Janetaesa, Maros, Sulawesi Selatan yang berhasil hidup berdampingan dengan habitat kelelawar buah.

Melalui video tersebut, Didi berharap, semakin banyak kaum muda yang memahami tentang penerapan One Health sekaligus pentingnya kolaborasi antar generasi. Dengan begitu, misi untuk menekan potensi zoonosis di masa depan pun bisa tercapai.