Nationalgeographic.co.id—Baru usia 15 tahun, Abdoel Rivai pada 1886 memulai sekolah kedokteran di STOVIA, Batavia. Dia lahir di Palembayan, Sumatra Barat, putra dari seorang ayah yang mengajar sekolah adat bernama Abdul Karim, dan ibunya keturunan pembesar Mukomuko, Siti Kemala Ria.
Rivai lulus sekolah pada 1894 dan menjadi dokter pemerintahan kolonial di wilayah Deli, Sumatra Utara. Menurut sejarawan Leiden Unviersity, Harry Poeze dalam buku Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, Rivai menikah dengan seorang janda muda Belanda di Deli.
Namun pekerjannya dilepaskannya dengan pernikahannya yang gagal, dan melanjutkan hidupnya dengan pindah ke Belanda tahun 1899. Ia mencoba melanjutkan studi kedokteran di Utrecht dan University of Amsterdam, tetapi tidak diizinkan mendaftar sampai 1904.
Menyadur dari Historiek, alasan mengapa Rivai tak kunjung mendapatkan izin karena Gubernur Jenderal Rooseboom keberatan serius jika kelak gelar yang dipakainya dapat menjadi "kesombongan bumiputra" dan "kesombongan Muslim".
Akhirnya Rivai menuntaskan studi kedokterannya di Amsterdam 13 Juni 1908, dan sebelumnya pada 1906 sempat belajar di Pasteur Institut, Paris. Dia digadangkan menjadi salah satu kalangan bumiputra pertama yang berhasil menuntaskan studi di Eropa, setelah Asmaoen.
Sambil menunggu izin dan selama studinya di Amsterdam, Rivai disibukkan dengan mengajar kursus bahasa Melayu di perusahaan Berlitz dan terjun ke dunia jurnalistik. Di sinilah cerita pergulatannya dengan politik bermula.
Awal-awal, ia menerbitkan majalah dua minggu sekali bernama Pewarta Wolanda. Lewat majalah ini ia menggunakannya untuk menyebarkan pengetahuan di Belanda tentang apa saja yang ada di Hindia, dan mempromosikan penduduk aslinya yang ramah.
Tetapi majalah itu harus tutup tahun 1901 karena kekurangan sumber dana dan pelanggan. Walau demikian, ia senang karena majalah berbahasa Melayunya ini hampir semuanya disalin oleh media di Hindia.
Rivai menleburkan publikasinya itu dengan Surat Chabar Soldadoe didorong oleh H.C.C Clockener Brousson, letnan KNIL. Penggabungan ini mengupayakan hubungan baik antara Belanda dan koloninya. Salah satu artikelnya bahkan menyarankan agar posisi tentara pribumi di tingkatkan.
Tak hanya mendirikan media, ia menjadi kontributor untuk Kolonial Weekblad dan Algemeen Handelsblad. Di tahun yang sama, Algeemen Handelsblad memuat wawancara dengan Rivai:
"Orang-orang di sini (di Belanda) lebih baik daripada orang Eropa di Hindia," kata Rivai dalam suatu artikel wawancara 19 Juni 1901. "Orang-orang Eropa di Hindia harus belajar membedakan antara bumiputra yang beradab dan tidak beradab, dan tidak menolaknya karena rasa gengsi yang disalahpahami."
Baca Juga: Christiaan Eijkman, Peraih Nobel Kedokteran Perintis Lembaga Eijkman
Baca Juga: Zaman Hindia Belanda, Pabrik Gula Dorong Kemajuan Infrastruktur Klaten
Melalui buku Realisten en reactionairen: een geschiedenis van de Indisch-Nederlandse pers 1905-1942, sejarawan Leiden Gerard Termorshuizen menyebut publikasi itu sebagai "bisa jadi wawancara pertama yang dilakukan sebuah surat kabar Belanda dengan orang Indonesia."
Ia juga menulis nasib bumiputra yang sudah mengenyam pendidikan modern dan bekerja tetapi masih harus melanjutkan studi ke Eropa. Tapi, ketika pulang setelah "menyegarkan diri dalam budaya Eropa", mereka bertingkah seperti Belanda dan merasa sombong.
Sementara majalah barunya bersama Brousson itu juga diterbitkan di Batavia di tahun yang sama bernama Bandera Wolanda. Tujuannya ialah mendukung modernisasi Islam dan memerangi fantatisme dan intoleransi Islam.
Tetapi Brousson juga menulis artike bertajuk anti-Katolik, meski tidak praktis karena menyebut Ratu Wilhelmina yang seorang protestan. Tulisan-tulisan Brousson membuatnya harus mundur dari KNIL dan media ini tidak bertahan lama.
Maret 1902, Brousson mengumumkan penerbitan Bintang Hindia. Dia dan Rivai menjadi pemimpin redaksinya dengan penerbitnya dari Amsterdam. Brousson mengambil alih urusan di Hindia Belanda karena Rivai berada di Eropa. Majalah ini terbilang cukup moden secara desain dan penggunaan fotonya. Brousson pun mendapat dukungan dari Gubernur Jenderal Van Heutsz walau mendapat kecaman dari pers berbahasa Belanda di Hindia.
Di satu sisi, Bintang Hindia adalah majalah yang bagus bagi bumiputra yang ingin mengetahui ada apa saja di Belanda. Poeze di jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, lewat makalah berjudul Early Indonesian Emancipation Abdul Rivai, van Heutsz and The Bintang Hindia, menyebut Bintang Hindia adalah media yang menjangkau hampir seluruh kalangan orang Indonesia yang berpendidikan modern. Hal itu disebabkan banyak pikiran Rivai yang diungkapkan di dalamnya.
Baca Juga: Lika-liku Kehidupan Selir di Era Munculnya Islam hingga Hindia Belanda
Baca Juga: Jatuh Cinta di Masa Pergerakan: Melawan Batasan Ras dan Kolot Orangtua
Salah satu artikelnya, Rivai pernah menulis untuk menyerukan kalangan bumiputra untuk meninggalkan tradisi lama, dan terbuka pada pengetahuan Barat. Ia mendorong agar asosiasi seperti Perhimpoenan Kaoem Moeda untuk tersebar di seluruh Hindia Belanda untuk menyokong pendidikan dan solidaritas.
Baginya, Hindia Belanda sangat matang untuk memiliki organisasi nasional kalangan bumiputra tanpa unsur kelokalan, dengan atau tanpa dukungan pemerintah. Pandangan ini membuatnya masuk ke daftar merah di kalangan pemerintah, dan membuat Brousson keberatan. Perselisihan ini membuat Bintang Hindia bubar pada Juni 1907.
1909, Rivai menikah dengan gadis kelahiran London Bertha Anne Rautenberg. Ia kemudian bekerja sebagai petugas kesehatan KNIL dan baru pulang ke Hindia-Belanda pada 1910. Perjuangan politiknya berlanjut dengan terjun dalam dunia pergerakan nasional.