Nationalgeographic.co.id—Para penguasa dan anggota elite masyarakat di banyak peradaban kuno tidak hanya memiliki istri. Mereka juga memiliki selir atau gundik.
Keputusan para pria dalam memelihara selir biasanya memiliki tujuan ganda. Pertama untuk meningkatkan prestise pria melalui kemampuannya untuk menghasilkan anak. Kedua, tentu saja, kesempatan tak terbatas untuk memanjakan hasrat seksual mereka.
Kebanyakan orang mengasosiasikan selir dengan peradaban Tiongkok kuno. Para kaisar Tiongkok kuno diketahui telah menyimpan ribuan selir. Namun, praktik mengambil selir tentu tidak eksklusif terjadi di Tiongkok.
Dikutip dari Ancient Origins, praktik mengambil selir telah ada sejak ribuan tahun lalu di peradaban Mesopotamia kuno dan Babilonia. Para anggota elite masyarakat peradaban tersebut biasa mengambil selir. Banyak dari para selir itu adalah budak.
Selir juga muncul dalam Alkitab. Orang-orang Israel sering menyimpan gundik di samping istri mereka. Istri memiliki mas kawin tetapi selir tidak dan ini adalah metode utama untuk membedakan antara dua posisi sosial tersebut.
Salah satu tokoh pemilik selir yang paling terkenal dalam Alkitab adalah Raja Salomo (1011 – 931 Sebelum Masehi), yang dikatakan memiliki tiga ratus selir selain tujuh ratus istrinya. Sementara pergundikan tidak dapat diterima dalam Kekristenan saat ini, beberapa komentator Alkitab telah menyarankan bahwa Tuhan mengizinkan laki-laki untuk memiliki lebih dari satu istri atau beberapa selir selama periode dari Banjir Besar sampai Perjanjian Lama untuk membangun populasi dunia.
Dalam Yudaisme, selir disebut dengan istilah Ibrani "pilegesh" yang berarti "seorang nyonya yang tinggal di rumah". Menurut Talmud Babilonia, perbedaan antara selir dan istri penuh adalah bahwa yang terakhir menerima kontrak pernikahan dan pernikahannya didahului oleh pertunangan resmi.
Dalam Islam, mengambil selir juga diperbolehkan. Bunyi surat An-Nisa ayat ketiga dalam Al-Quran menyatakan bahwa seorang pria dapat menikah dengan maksimal empat wanita jika dia dapat memperlakukan mereka dengan adil. Adapun jika dia tidak mampu menjadi adil di antara istri-istri yang banyak, dia hanya boleh menikahi satu wanita atau bergantung pada budak perempuan atau selirnya.
Selir dianggap dapat diterima sebagai kebutuhan sosial hanya di bawah pedoman tertentu. Pada zaman kuno, mengambil dua selir pernah diizinkan di bawah rezim Islam. Praktik mengambil selir dari kalangan wanita non-Muslim yang diambil sebagai tawanan perang pernah terjadi setelah Pertempuran Bani Qariza.
Baca Juga: Romantisme Kisah Nyai: Cinta Sejati Paul Verkerk dan Nyai Isah
Sebelumnya, di zaman kuno (Pagan/Pra-Islam), jual beli budak manusia pun merupakan praktik yang legal secara sosial. Namun, setelah hadirnya Islam, ajaran agama ini menganjurkan untuk membebaskan para budak perempuan atau membawa mereka ke dalam pernikahan formal.
Source | : | ancient origins,JANTRO: Jurnal Antropologi |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR