Nationalgeographic.co.id—Hatshepsut merupakan firaun perempuan yang memerintah sekitar tahun 1473 hingga 1458 SM. Hatshepsut dikenal karena membangun kuil yang indah di Deir el-Bahri, dekat Thebes kuno (sekarang Luxor). Ia juga memerintahkan pelayaran yang sukses dari Mesir ke tanah yang dikenal sebagai "Punt," yang lokasi tepatnya sekarang menjadi bahan perdebatan.
Hatshepsut adalah istri dan saudara tiri firaun Thutmose II (memerintah sekitar tahun 1492 hingga 1479 SM). Ia seharusnya bertindak sebagai wali bagi anak tirinya Thutmose III. Namun, alih-alih menjabat sebagai wali, ia menjadi firaun dengan haknya sendiri dan Thutmose III bertindak sebagai wali bersama yang memiliki kekuasaan terbatas.
Setelah Hatshepsut meninggal, banyak patungnya yang sengaja dirusak, termasuk di situs Deir el-Bahri. Pada tahun 1920-an dan 1930-an, para arkeolog menemukan sisa-sisa patungnya yang hancur terkubur di dalam lubang di situs tersebut.
Dipercayai bahwa patung-patung ini dirusak atas perintah Thutmose III setelah Hatshepsut meninggal, sebagai bentuk pembalasan dan menghapus Hatshepsut dari ingatan publik.
Namun, sebuah studi baru menemukan bahwa hal itu tidak sepenuhnya benar. Meskipun banyak patung Hatshepsut sengaja dirusak, alasan di balik penghancurannya tidak ada hubungannya dengan jenis kelaminnya atau bahkan untuk menghapus keberadaannya, kata seorang ahli Mesir kuno.
Sebaliknya, patung-patung Hatshepsut dirusak untuk "menonaktifkan" patung-patung itu dan menghilangkan kekuatan supranatural yang seharusnya dimilikinya, menurut sebuah studi yang diterbitkan Selasa (24 Juni) dalam jurnal Antiquity.
Penelitian itu menunjukkan bahwa patung-patung ini "dinonaktifkan secara ritual" dengan cara yang sama seperti patung-patung milik firaun lainnya.
Dalam penelitian tersebut, Jun Yi Wong, seorang kandidat doktor dalam bidang Egiptologi di Universitas Toronto, meneliti catatan arsip patung-patung dari Deir el-Bahri yang ditemukan pada tahun 1920-an dan 1930-an.
Wong menemukan bahwa patung-patung tersebut tidak hancur di bagian wajah dan prasastinya tidak hancur. Namun, patung-patung tersebut patah di bagian leher, pinggang, dan kaki. Hal yang sama juga terlihat pada patung-patung firaun Mesir lainnya selama proses yang oleh para ahli Mesir Kuno modern disebut "deaktivasi ritual".
Wong mengatakan orang Mesir kuno melihat patung kerajaan "sebagai entitas yang kuat dan bahkan mungkin hidup." Ketika seorang firaun meninggal, orang Mesir kuno biasanya menonaktifkan patung mereka dengan menghancurkannya di titik lemahnya, atau di leher, pinggang, dan kaki.
"Temuan patung-patung yang telah 'dinonaktifkan' telah ditemukan di berbagai lokasi di Mesir dan Sudan," kata Wong kepada Live Science. "Salah satu penemuan paling terkenal dalam sejarah arkeologi Mesir adalah Karnak Cachette, di mana ratusan patung firaun dari berbagai abad ditemukan dalam satu tempat penyimpanan. Sebagian besar patung-patung itu telah 'dinonaktifkan'."
Baca Juga: Bukan Hanya Firaun, Buruh Pekerja Kasar Era Mesir Kuno Juga Dimakamkan di Piramida
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR