Opium Hingga Empedu Babi Hutan Digunakan Sebagai Anestesi Zaman Dulu

By Sysilia Tanhati, Rabu, 23 Februari 2022 | 16:00 WIB
Rasa sakit bagai mimpi buruk menjadi alasan dokter zaman dulu jarang melakukan operasi besar. Operasi dilakukan dengan secepat dan setepat mungkin. (Torana/Wikimedia)

Nationalgeographic.co.id—Pada 1811, novelis Inggris Fanny Burney menjalani mastektomi tanpa wiski untuk mengurangi rasa sakit. Dalam suratnya ia mengenang, "Saya mulai menjerit terus menerus selama sayatan berlangsung. Anehnya, jeritan itu tidak mengganggu telinga. Begitu menyiksanya rasa sakit itu." Burney pingsan dua kali karena rasa sakit yang tidak tertahankan.

Saat itu, anestesi bedah masih dalam perkembangan dan pilihan-pilihan yang ada seringkali tidak dapat diandalkan dan berbahaya. Memang, menghadapi rasa sakit seperti itu merupakan mimpi buruk.

Kini anestesi sekarang menjadi perlengkapan dalam pengobatan. Selain untuk mengelola rasa sakit, beragam obat digunakan untuk mengendurkan otot dan membuat pasien tidak sadarkan diri.

Perjalanan penghilang rasa sakit selama berabad-abad

Anestesi seperti yang kita kenal sekarang adalah penemuan yang relatif baru. Selama berabad-abad, beragam cara dicoba untuk mengurangi rasa sakit. Sejak tahun 1100-an, ada catatan tentang dokter yang mengoleskan spons yang dibasahi dengan opium. Kemudian jus mandrake diberikan kepada pasien untuk menyebabkan kantuk dalam persiapan untuk operasi. Jus itu juga dapat mengurangi rasa sakit akibat sayatan operasi.

Manuskrip dari zaman Romawi hingga abad pertengahan menggambarkan resep untuk campuran obat penenang yang disebut "dwale." Dwale terbuat dari ramuan memabukkan empedu babi hutan, opium, jus mandrake, hemlock dan cuka. Ini dibuat untuk membuat seseorang tertidur saat prosedur operasi.

Sejak tahun 1600-an dan seterusnya di Eropa, opium dan laudanum (opium yang dilarutkan dalam alkohol) menjadi pereda nyeri yang umum.

Namun ternyata semua obat-obatan itu sulit disesuaikan dengan kondisi pasien. Beberapa bahan bisa berbahaya, misalnya hemlock bisa berakibat fatal, opium dan laudanum menyebabkan ketagihan. Mandrake dalam dosis tinggi dapat menyebabkan halusinasi, detak jantung yang tidak normal dan bahkan kematian.

Dengan semua risiko, metode yang paling masuk akal yang digunakan oleh ahli bedah adalah melakukan operasi secepat dan setepat mungkin. Efisiensi dan presisi di bawah tekanan waktu menjadi ukuran keterampilan seorang ahli bedah.

Tetapi kecepatan dan ketepatan juga membatasi ahli bedah pada operasi yang tidak terlalu rumit. Operasi berisiko tinggi seperti operasi caesar dan amputasi kurang umum jika dibandikan dengan zaman sekarang. Ini disebabkan karena rasa sakit yang intens dan tidak dapat dikendalikan jika tanpa anestesi.

Metode tidak biasa dan diragukan bermunculan

Ketika ahli bedah mencari cara baru untuk melakukan pekerjaan mereka, beberapa metode yang tidak biasa muncul. Salah satunya adalah kompresi, teknik yang melibatkan pemberian tekanan pada arteri untuk membuat seseorang tidak sadarkan diri. Atau pada saraf yang menyebabkan mati rasa tiba-tiba pada anggota badan.

Pada 1784, seorang ahli bedah Inggris John Hunter mencoba kompresi saraf dengan menerapkan tourniquet ke tubuh pasien dan menyebabkan mati rasa. Anehnya, itu berhasil. Hunter mampu mengamputasi anggota tubuh, dan tampaknya, pasien tidak merasakan sakit, menurut Royal College of Anaesthetists.

Teknik manajemen nyeri lainnya adalah 'mesmerisme' atau hipnotisme. Keyakinan pseudoscientific menggabungkan elemen hipnosis dengan teori bahwa ada cairan seperti medan gaya yang dapat dimanipulasi dengan magnet. Penemunya, Franz Anton Mesmer, percaya bahwa dengan mengontrol cairan lunak ini, ia dapat menempatkan pasien dalam keadaan mati suri. Dalam keadaan ini, mereka tidak akan menyadari rasa sakit operasi.

Baca Juga: Benarkah Ganja Bantu Sembuhkan Penyakit Alzheimer? Ini Kata Ahli

Baca Juga: Ekstrak Ganja pada Zaman Kuno Mampu Sembuhkan Penyakit Sihir

Baca Juga: Mungkinkah Serangga Bisa Menjadi Alternatif Pengobatan di Masa Depan?

Praktik pseudoscientific ini menarik banyak ahli medis untuk menerapkannya. Pada pertengahan 1800-an, mesmerisme telah menyebar ke bagian lain Eropa dan India. Dalam beberapa kasus, pasien dilaporkan bebas rasa sakit, menurut sebuah laporan di Hektoen International Journal.

Mesmerisme menjadi begitu populer, pada kenyataannya, beberapa "rumah sakit mesmerik" didirikan di London dan tempat lain. Tetapi ahli bedah mulai mempertanyakan metode ini dan menuduh para pendukung menyesatkan publik. Persaingan terjadi dan mesmerisme mulai dijatuhkan.

Hal ini dilakukan untuk menyiapkan ‘jalan’ bagi metode penghilang rasa sakit yang baru. Serangkaian gas yang dapat dihirup siap untuk meluncurkan era baru anestesi modern pada tahun 1800-an

Dari pseudosains hingga anestesi modern

Menjelang pertengahan 1800-an, para ilmuwan dan ahli bedah semakin tertarik pada penggunaan eter. Eter dibuat dengan menyuling etanol dengan asam sulfat. Faktanya, catatan produksi eter telah ada sejak abad ke-13. Bahkan pada abad ke-16, dokter yang bereksperimen menemukan bahwa zat itu dapat membius ayam.

Pada tahun 1846, seorang ahli bedah gigi Amerika William Morton melakukan operasi umum di mana ia menggunakan eter. Kemudian tanpa rasa sakit mengangkat tumor dari leher pasien. Ini bukti klinis pertama bahwa penggunaan eter secara hati-hati dapat menyebabkan pasien tidak sadar dan mengurangi rasa sakit.

Pada tahun 1848, ahli bedah membuktikan bahwa kloroform dapat meredakan rasa sakit saat melahirkan dan operasi lainnya. Eter dan kloroform memberi ahli bedah lebih banyak kontrol atas kondisi pasien mereka. Dengan mengelola rasa sakit pasien dan membuatnya tidur, ini memberi ahli bedah lebih banyak waktu untuk mengoperasi. Mereka juga dapat melakukannya dengan lebih cermat. Seiring waktu, ini memungkinkan operasi yang lebih canggih.

Saat ini, tak satu pun dari kedua gas tersebut digunakan lagi untuk pembedahan. Namun keduanya meletakkan dasar bagi pengembangan obat yang lebih aman dan lebih efektif.