Menguak Toponimi Cirebon dari Catatan Tome Pires sampai Walisongo

By Galih Pranata, Rabu, 2 Maret 2022 | 15:00 WIB
Taman Sunyaragi di Kesultanan Cirebon, Jawa Barat. Kisah Nyai Subang Larang tercatat dalam Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN), karya Pangeran Arya Cerbon yang digubahnya pada 1720. Selama berkali-kali Tome Pires menunjuk sebuah tempat yang ia sebut Chorobon yang ia maksud sebagai kota di Jawa, sekaranng dikenal Cirebon. ('De Indische Archipel', 1865-1876 / Tropenmuseum)

Nationalgeographic.co.id—Tome Pires, seorang pengelana berkebangsaan Portugis, dianggap menjadi saksi yang mencatat tentang sejarah Cirebon saat perkelanaannya ke Asia dicatat dalam Suma Oriental pada tahun 1513-1515.

Ia berlabuh di Pulau Jawa setelah selesai mengunjungi pelabuhan ramai di Malaka. Perjalanannya juga tidak luput dalam misi pencarian dan pembelian rempah-rempah.

Ia tiba di kawasan yang kemudian ia tuliskan dalam catatan perjalanannya sebagai Chorobon, yang merujuk pada suatu tempat di Jawa.

"Selama berkali-kali Tome Pires menunjuk sebuah tempat yang ia sebut Chorobon yang ia maksud sebagai kota di Jawa, sekaranng dikenal Cirebon," tulis Sobana Hardjasaputra.

Sobana yang tergabung dalam tim penulis Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, meluncurkan buku yang berjudul Cirebon dalam Lima Zaman (Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20), terbit pada 2011.

Memasuki abad ke-17, masuknya pengaruh kolonial Belanda, mulai bermunculan para peneliti dan penulis berkebangsaan Belanda di Cirebon.

Keramik dari kapal karam di utara Cirebon, dari awal Dinasti Sung. Penanda perdagangan laut yang termasyhur. (Reynold Sumayku)

"Banyak sumber Belanda, Cirebon ditulis Charabaon, kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi Tjerbon atau Cheribon," imbuhnya.

Lantas, bagaimana penduduk lokal yang menghuni wilayah terebut dalam menyebut kotanya?

"Dulu, Cirebon oleh penduduk setempat biasa disebut Nagari Gede," jelas Sobana dan timnya. Sebutan itu kemudian berkembang, berubah lagi menjadi Garége. "Katanya, Garége berasal dari (kata) glagi yang berarti udang kecil yang telah kering," lanjutnya.

Peta Jawa bagian Sunda Kuno dalam catatan Tom Pires (Suma Oriental) abad ke-16. (Indonesiana/Kemdikbud)

Beberapa sumber juga menyebut adanya peran Walisongo dalam penamaan Cirebon tempo dulu. Para Wali menyebut dengan istilah Carbon.

Carbon memiliki arti mendalam bagi perkembangan islam di Jawa era para Walisongo. Carbon mengandung arti puser jagat atau pusat bumi. Disebut pusat bumi karena tempatnya yang berada pada bagian paling tengah Pulau Jawa. 

Menurut naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, naskah kuno yang ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, menyebut Cirebon sebagai Sarumban yang kemudian berubah lagi menjadi Caruban.

Baca Juga: Lambang di Situs Makam Sunan Gunung Jati: Freemason Ada di Cirebon?

Baca Juga: Surawisesa Beri Portugis Sunda Kelapa, Pajajaran Dihajar Demak-Cirebon

Baca Juga: Prosesi Pemakaman Megah Sang Mayor Cina Pelindung Besar Kesenian Jawa

Kata Caruban memiliki arti 'campuran'. Kata ini juga berkaitan dengan sebutan Carbon yang diungkapkan oleh para Walisongo. Keduanya kemudian semakin dikenal di era kontemporer sebagai Cirebon.

Bermakna campuran, itulah penggambaran dinamika sosial masyarakat Cirebon. Menilik dari toponiminya (penamaannya), kata Cirebon berasal dari dua bahasa.

Secara etimologis, Cirebon berasal dari kata 'ci' dan 'rebon'. "Ci dalam bahasa Sunda adalah singkatan dari cai yang berarti air," sebut Sobana dan tim penulis.

Dalam bahasa Cirebon (penduduk lokal) kata 'Ci' dari kata Cirebon, bermakna sebagai air sisa pembuatan terasi (belendrang). Sedangkan kata 'rebon' merupakan bahasa Jawa yang mengandung arti udang kecil.

Dinamisnya sosial masyarakat Cirebon digambarkan dengan toponiminya, yang merupakan perpaduan masyarakat Cirebon yang diisi oleh keturunan Sunda dan Jawa hingga pembauran yang dikenal dengan Cerbonan.