Hasil Studi: Tidur Siang Berlebih pada Lansia Bisa Jadi Tanda Demensia

By Maria Gabrielle, Minggu, 27 Maret 2022 | 09:00 WIB
Studi ini melibatkan ribuan lansia yang dipantau selama 14 tahun. (Pixabay)

Nationalgeographic.co.id - Tidur siang diketahui menjadi bagian normal bagi para lansia. Meski begitu, berdasarkan hasil studi terbaru hal ini dapat menandakan penyakit Alzheimer dan demensia lainnya.

Dilansir dari laman Universitas California San Francisco atau UCSF, ketika demensia atau tanda-tanda seperti seperti gangguan kognitif ringan terdiagnosa, frekuensi atau durasi tidur siang meningkat secara signifikan. Studi ini dipimpin oleh UCSF dan Sekolah Kedokteran Harvard bersama Rumah Sakit Brigham and Women’s.

Para ahli memulai studi dari teori bahwa tidur siang pada lansia hanya berfungsi untuk mengimbangi tidur malam yang buruk. Studi ini telah dipublikasikan di Alzheimer’s and Dementia: The Journal of the Alzheimer’s Association dengan judul "Daytime napping and Alzheimer’s dementia: A potential bidirectional relationship" pada 17 Maret 2022.

“Kami menemukan hubungan antara tidur siang yang berlebihan dan demensia tetap ada setelah disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas tidur malam hari,” Yue Leng, MD, PhD dari Departemen Psikiatri dan Ilmu Perilaku UCSF.

“Ini menunjukkan bahwa peran tidur siang itu sendiri penting dan tidak tergantung pada tidur malam hari,” lanjutnya.

Pada studi ini para peneliti menggunakan data dari 1.401 lansia yang telah dipantau hingga 14 tahun oleh Rush Memory and Aging Project di Rush Alzheimer’s Disease Center, Chicago. Para peserta rata-rata berusia 81 tahun, tiga perempatnya adalah perempuan. Mereka mengenakan perangkat seperti jam tangan yang melacak mobilitas mereka. Setiap periode non-aktivitas yang berkepanjangan dari pukul 9 pagi hingga 7 malam diartikan sebagai tidur siang.

Setahun sekali setiap peserta menjalani serangkaian tes neuropsikologis untuk mengevaluasi kognisi. Pada awal penelitian, 75,7 persen peserta tidak memiliki gangguan kognitif, sementara 19,5 persen memiliki gangguan kognitif ringan dan 4,1 persen memiliki penyakit Alzheimer.

Untuk peserta yang tidak mengalami gangguan kognitif, waktu tidur siang setiap hari meningkat rata-rata 11 menit per tahun. Laju peningkatan dua kali lipat setelah diagnosis gangguan kognitif ringan menjadi total 24 menit dan hampir tiga kali lipat menjadi total 68 menit setelah diagnosis penyakit Alzheimer.

Para peneliti mengamati 24 persen peserta yang memiliki kognisi normal di awal penelitian, tetapi timbul Alzheimer enam tahun kemudian, dan membandingkan dengan mereka yang kognisinya tetap stabil, didapati perbedaan dalam kebiasaan tidur siang.

Peserta yang tidur siang lebih dari satu jam sehari memiliki risiko 40 persen lebih tinggi terkena Alzheimer dibandingkan mereka yang tidur siang kurang dari satu jam sehari. Lalu, peserta yang tidur siang setidaknya sekali sehari memiliki risiko 40 persen lebih tinggi terkena Alzheimer daripada mereka yang dalam sehari tidak tidur siang.

Penelitian baru ini mengonfirmasi hasil studi tahun 2019 lalu. Kala itu, Leng menemukan pria yang lebih tua yang tidur siang dua jam sehari. Pria ini memiliki peluang lebih tinggi munculnya gangguan kognitif daripada mereka yang tidur siang kurang dari 30 menit sehari.

 Baca Juga: Budaya Tidur Siang yang Sepele, tapi Penting bagi Orang Romawi

 Baca Juga: Studi Baru, Mengurangi Polusi Udara Dapat Menurunkan Risiko Demensia

 Baca Juga: Benarkah Ganja Bantu Sembuhkan Penyakit Alzheimer? Ini Kata Ahli

Studi saat ini didasarkan pada temuan tersebut dengan mengevaluasi tidur siang dan kognisi setiap tahun. Menurut para peneliti, peningkatan tidur siang dapat dijelaskan oleh studi 2019 lebih lanjut oleh peneliti UCSF lainnya. Studi itu membandingkan otak postmortem orang dengan penyakit Alzheimer dengan mereka yang tidak mengalami gangguan kognitif.

Mereka yang menderita penyakit Alzheimer didapati memiliki lebih sedikit neuron wake-promoting di tiga wilayah otak. Perubahan saraf ini tampaknya terkait dengan tau kusut—ciri khas Alzheimer ditandai dengan peningkatan aktivitas enzim, menyebabkan protein gagal menutup dan menggumpal. Sebagai informasi tau adalah protein yang membantu menstabilkan kerangka internal sel saraf (neuron) di otak.

Studi ini menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa tidur siang dan penyakit Alzheimer mendorong perubahan satu sama lain secara dua arah. Yue Leng mengatakan sangat menarik penelitian di masa depan untuk mengeksplorasi apakah intervensi tidur siang dapat membantu memperlambat penurunan kognitif terkait usia.

"Saya tidak berpikir kita memiliki cukup bukti untuk menarik kesimpulan tentang hubungan sebab akibat, bahwa tidur siang itu sendiri yang menyebabkan penuaan kognitif. Akan tetapi tidur siang yang berlebihan mungkin merupakan sinyal penuaan yang dipercepat atau proses penuaan kognitif,” pungkas Yue Leng.