Nationalgeographic.co.id—Para penutur bahasa Austronesia adalah pemula bagi kebaharian Nusantara sejak era purba. Mereka dianggap telah menciptakan perahu-perahu yang kuat untuk berlayar.
"Mereka telah digambarkan di dinding gua-gua purba, termasuk Gua Muna di Sulawesi Tenggara. Diperkirakan bahwa mereka pernah berlayar jauh hingga ke Madagaskar," ungkap Bambang Budi Utomo, seorang Arkeolog dari Pusat Arkeologi Nasional.
Bambang menuturkan dalam Webinar: Kapal Nusantara dan Muatannya, yang diselenggarakan oleh Sahabat Cagar Budaya.
Kemampuan bangsa Austronesia telah mengakar pada keberlanjutan kehidupan di Nusantara.
Menurut Bambang, diaspora bangsa Austronesia menciptakan budaya kebaharian di Nusantara, di mana masyarakatnya mampu berlayar dan menciptakan perahunya sendiri. Sriwijaya adalah bukti, salah satu kerajaan Maritim terbesar di Nusantara
Kemampuan membuat perahu meningkat ketika mengalami akulturasi pengaruh dari India. Dari komunitas kelautan ini muncul dorongan untuk membangun peradaban lewat kerajaan-kerajaan bercorak keagamaan.
Kebudayaan maritim di Sriwijaya membuat mereka memahami tentang kondisi geografis dan iklim laut yang telah akrab dengan aktivitas masyarakatnya.
"Bahkan, banyak kapal Eropa yang karam bersama kargonya karena diduga tidak hafal dengan cuaca perairan di Nusantara," jelasnya.
Orang-orang di Sriwijaya memang terkenal dengan kemampuan berlautnya yang mumpuni, meskipun belum diketahui pasti dari mana asal usulnya.
"Ada banyak teori tentang asal-usul orang Sriwijaya. Ada yang mengatakan berasal dari pulau Sumatra, Kalimantan, demikian juga Semenanjung Melayu," sebuah sumber yang dikeluarkan oleh komunitas Sahabat Cagar Budaya, berjudul Sriwijaya: Kerajaan di Bawah Angin.
Prof. Soekmono memperkirakan mereka berasal dari Riau, Prof. Muhammad Yamin memperkirakan dari Sumatra Barat, ada juga yang menduga berasal dari Vietnam.
Salah satu suku yang telah ada sejak zaman Sriwijaya ialah suku Bajo atau yang dikenal dengan Ameng Sewang. Mereka dipercaya sebagai kekuatan laut Sriwijaya. Mereka memilih komandan perang dari kelompok mereka juga.
Baca Juga: Kekayaan Sriwijaya dan Polemik Temuan Harta Karunnya oleh Penyelam
Baca Juga: Eksistensi Tarian Merawai Orang Laut Pulau Lipan Diambang Kepunahan
Baca Juga: Legenda Bajak-bajak Laut Sriwijaya yang Meraja di Selat Malaka
Mereka adalah rakyat Sriwijaya yang dikenal sebagai ahli dalam berperang baik di darat maupun di laut, tinggal di rakit perairan dangkal, dan disebut sebagai suku laut.
Terdapat sejumlah aktivitas laut yang dilakukan, sehingga raja-raja Sriwijaya telah terbiasa memberlakukan aturan kelautan yang mengatur urusan kapal hingga perdagangan.
Adanya pelayaran dunia ke perairan Sumatra dan pelabuhan Malaka, berisi para penumpang kapal yang muatannya dari Persia, Tiongkok atau dunia Arab. Kehadiran bangsa Asing membuat dikeluarkannya sejumlah aturan.
"Terdapat aturan penting yang mengatur sistem kelautan, di mana para pelaut asing yang masuk ke kawasan Sriwijaya, diharuskan untuk menyandarkan kapalnya dan berganti menggunakan kapal milik Sriwijaya," imbuh Bambang.
Dalam membawa barang dagang, muatan kapal juga perlu diperhitungkan. "Satu kapal biasanya mengangkut sekitar 450.000 pcs barang dagangan dari Tiongkok di bawa pulang ke Sriwijaya," terusnya.
Begitu juga yang tertulis dalam Prasasti Sembiran berangka tahun 923 M, menuturkan bahwa jika ada perahu yang bersandar seperti cadik, lancang, jukung, talaka, kemudian diketahui oleh penduduk desa, maka dijadikan sebagai wrrdhi (persembahan) untuk mereka.
Aturan-aturan tersebut diberlakukan tidak lain untuk dapat mengorganisir sejumlah pelaut asing yang masuk dan berlabuh di dermaga-dermaga strategis Sriwijaya, menghindari perompakan dan menciptakan sistem laut mereka agar kondusif.