Kunci Hadapi Tantangan Hari Ini dan Nanti: Meninjau Kembali Sejarah

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 5 April 2022 | 11:00 WIB
Hutan yang dibakar oleh perusahaan di zaman pemerintahan Hindia-Belanda untuk ditanami kembali. (KITLV)

Dalam konteks pemahaman sejarah, kita hanya berfokus dalam apa yang tercatat. Sehingga muncul anggapan "jika tidak ada dokumen, tidak ada sejarah", dan biasanya memisahkan periode historis antara sejarah (sudah mengenal tulisan) dan prasejarah (peninggalan lainnya seperti fosil dan alat berburu). Padahal, di Nusantara sendiri pendokumentasian sejarah atau budaya banyak dilakukan secara ekspresionis, dan sedikit yang tertulis.

Di sinilah short chronology menjadi masalah, terang Hilmar. Pemahaman sejarah kita berhenti pada suatu masa yang singkat dan menghasilkan alternatif untuk masa depan dengan jangka singkat. Jika pemahaman sejarah bisa ditinjau dari masa yang jauh, bahkan sebelum adanya manusia, maka keputusan yang dibuat bisa menghasilkan alternatif untuk masa depan jangka yang jauh pula.

"Kita ini masih betul-betul sebatas debu dalam perjalanan panjang (sejarah Bumi) ini," lanjutnya. "Dan saya kira itu membuat kita lebih humble melihat pilihan-pilihan ke depan, bukan serta-merta ingin memenuhi apa yang ingin diraih sekarang. Memikirkan jangka panjang adal suatu ethic yang sebenarnya kita bergerak untuk generasi mendatang."

Seorang dukun di wilayah Jawa, tengah meracik obat-obatan, diperkirakan tahun 1910-1940. (Wikimedia Commons)

Saran untuk berpikir panjang ini banyak digadang-gadangkan oleh banyak petinggi negara dalam berbagai forum. Tetapi, menurut Hilmar, kebudayaan kita sendiri memiliki kebiasaan ini seperti konsep tujuh turunan atau 18 generasi. Bahkan, banyak dari masyarakat adat di Nusantara justru menyimpan pengetahuan yang temurun diwariskan tentang pelestarian lingkungan demi generasi mendatang.

Kebudayaan asli yang sebenarnya punya pengetahuan untuk dipetik kerap terlupa seiring modernitas. "Dulu, Max Weber menyerukan disenchantment of the world sebagai sayarat dari modernitas untuk mengabaikan segala macam paham-paham lama untuk memeluk sains modern," terang Hilmar.

"Maka, sekarang yang dilakukan adalah re-enchanting--mengembalikan pesona yang sangat banyak kita temukan di dalam sejarha lokal kita, dalam tradisi lisan. Karena inilah yang merupakan ekspresi keterpesonaan manusia melihat keterbatasannya. Jadi, re-enchanting ini penting, kembalinya untuk mengembalikan spiritualitas, sehingga masyarakat lebih humble dan toleran."