Nationalgeographic.co.id—"Dunia tidak bisa tetap berjalan dengan sistem yang sama, perlu ada perubahan yang sifatnya mendasar," kata Hilmar Farid, sejarawan yang juga Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Dewasa ini ada banyak tantangan yang dihadapi umat manusia yang terjadi di berbagai bidang, termasuk di bidang kesehatan akibat pandemi. Hilmar mengatakan, tantangan yang manusia hadapi adalah risiko keberadaan (existensial risk) atas apa yang selama ini mereka lakukan.
Sehingga, pemahaman kita berkembang untuk memenuhi tuntutan mencegah kerusakan yang akan dirasakan oleh spesies kita sendiri.
Pemahaman terkait mengkaji bagaimana mempertahankan manusia dari risiko yang mengancam keberadaan manusia, sebenarnya adalah topik yang hangat 10 tahun belakangan, ujar Hilmar. Tetapi ketika COVID-19 berdampak luas sebagai salah satu masalah yang merupakan risiko dari peradaban kita sendiri, pembahasan ini jadi semakin dibahas.
"Ini (pandemi COVID-19) yang dihitung dari pandemi global yang boleh dikatakan dalam sejarah kita pada presedennya. Ya, pernah ada influenza tahun 1918, pernah ada black death di abad pertengahan di Eropa, tetapi pengaruhnya yang begitu luas ke seluruh dunia tanpa terkecuali adalah COVID-19. Pertanyaannya mengapa demikian?" lanjut Hilmar dalam diskusi daring Partihistory yang diadakan Sejarah Lintas Batas (SINTAS), Senin, 3 Maret 2022.
"Karena dunia kita ini sudah berjejaring--hampir tidak ada batas lagi. [Bahkan] Di daerah-daerah terpencil pun ikut terhubung dalam sistem global itu. Dan COVID-19 membuat kita mengerti bahwa rupanya sistem yang terhubung satu sama lain yang modern ini, sangat rapuh."
Penyakit zoonotik bukanlah hal yang baru dalam peradaban manusia, dan semua terjadi akibat perilaku manusia yang merusak lingkungan. Ketika lingkungan dirusak, kehidupan manusia dan kehidupan hewan liar jadi lebih dekat untuk menularkan penyakit, bersamaan dengan perubahan iklim yang menyertai perilakunya.
Baca Juga: Studi Jelaskan Bagaimana Perubahan Iklim Memicu Pagebluk Covid-19
Baca Juga: Praktik Mantra Masyarakat Adat Kampung Naga dan Kanekes yang Lestari
Baca Juga: Temuan Situs Guci Megalitik di India: Siapa yang Membuatnya?
Tercatat dalam sejarah, ada banyak penyakit zoonotik atau yang menular dari hewan ke manusia. Hilmar berpendapat, penyakit zoonosis di masa ini jadi berbeda karena keterhubungan babak modern dalam peradaban manusia, yang mengakibatkan penyakit zoonotik seperti COVID-19, bisa melanda dunia.
"Kita tahu zoonotic disease ini dengan berbagai macam virus bukan hal yang baru dalam sejarah, hanya saja karena kita [telah] terhubung [di dalam] sistemnya yang sudah sedemikian rupa, satu nano-partikel (virus) bisa berdampak begitu luas.
"Dan luar biasa dampak dari zoonotic disease terhadap sosial, ekonomi, dan politik," jelasnya. Di bidang ekonomi, pengembangan vaksin dan bidang kesehatan menjadi fokus dari bencana umat manusia ini, yang seharusnya bisa digunakan untuk perkembangan hal lainnya.
Tidak berhenti di situ saja, risiko keberadaan umat manusia yang dihadapi muncul dari dalam perkembangan pengetahuan kita: pengembangan teknologi. Kemajuan ini memiliki dampak pada sosial, budaya, dan politik, jika tidak terkendali, misalnya seperti perkembangan AI dan bio-teknologi.
Risiko yang dihasilkan manusia sendiri pun muncul dari tingkat pemerintahan-pemeritnahan dunia, seperti perang global. "[Tengoklah pada] Rusia dan Ukraina. Sudah ada semacam pembentukan blok dalam isu dan segara tidak langsung kita (Indonesia) terdampak, lewat G-20 untuk memutuskan mengundang Rusia atau tidak, dan ada reaksi dari negara lain" tutur Hilmar.
Namun di selain existensial risk, manusia sebenarnya rentan pula dengan risiko alami. Risiko di mana bencana alam bisa terjadi kapan pun dan sebesar apa pun baik dari dalam atau luar bumi.
"Kita harus punya pemahaman atau konsepsi alternatif [untuk masa depan] dari masa lalu," ujarnya. Itu sebabnya, pembelajaran sejarah begitu penting untuk memahami apa yang bisa dipetik dari masa lalu untuk keberlangsungan masa depan yang lebih baik, bukan sekadar pemahaman tempo dulu belaka.
"Tanpa itu, kita enggak bisa lihat kedalaman problem yang kita hadapi. Dan untuk mencari alternatif ini, salah satu porblem dalam pandangan sejarah yang ada adalah short chronology sejarah kita yang terfokus pada jaman modern sekitar 1750."
Baca Juga: Dukun: Pentolan Medis yang Kini Dianggap Sekadar Praktik Klenik
Baca Juga: Senjakala Bissu Bugis, Akibat Purifikasi Agama dan Komersialisasi?
Baca Juga: Proyeksi Masa Depan, Hutan Kalimantan Akan Menggantikan Amazon
Dalam konteks pemahaman sejarah, kita hanya berfokus dalam apa yang tercatat. Sehingga muncul anggapan "jika tidak ada dokumen, tidak ada sejarah", dan biasanya memisahkan periode historis antara sejarah (sudah mengenal tulisan) dan prasejarah (peninggalan lainnya seperti fosil dan alat berburu). Padahal, di Nusantara sendiri pendokumentasian sejarah atau budaya banyak dilakukan secara ekspresionis, dan sedikit yang tertulis.
Di sinilah short chronology menjadi masalah, terang Hilmar. Pemahaman sejarah kita berhenti pada suatu masa yang singkat dan menghasilkan alternatif untuk masa depan dengan jangka singkat. Jika pemahaman sejarah bisa ditinjau dari masa yang jauh, bahkan sebelum adanya manusia, maka keputusan yang dibuat bisa menghasilkan alternatif untuk masa depan jangka yang jauh pula.
"Kita ini masih betul-betul sebatas debu dalam perjalanan panjang (sejarah Bumi) ini," lanjutnya. "Dan saya kira itu membuat kita lebih humble melihat pilihan-pilihan ke depan, bukan serta-merta ingin memenuhi apa yang ingin diraih sekarang. Memikirkan jangka panjang adal suatu ethic yang sebenarnya kita bergerak untuk generasi mendatang."
Saran untuk berpikir panjang ini banyak digadang-gadangkan oleh banyak petinggi negara dalam berbagai forum. Tetapi, menurut Hilmar, kebudayaan kita sendiri memiliki kebiasaan ini seperti konsep tujuh turunan atau 18 generasi. Bahkan, banyak dari masyarakat adat di Nusantara justru menyimpan pengetahuan yang temurun diwariskan tentang pelestarian lingkungan demi generasi mendatang.
Kebudayaan asli yang sebenarnya punya pengetahuan untuk dipetik kerap terlupa seiring modernitas. "Dulu, Max Weber menyerukan disenchantment of the world sebagai sayarat dari modernitas untuk mengabaikan segala macam paham-paham lama untuk memeluk sains modern," terang Hilmar.
"Maka, sekarang yang dilakukan adalah re-enchanting--mengembalikan pesona yang sangat banyak kita temukan di dalam sejarha lokal kita, dalam tradisi lisan. Karena inilah yang merupakan ekspresi keterpesonaan manusia melihat keterbatasannya. Jadi, re-enchanting ini penting, kembalinya untuk mengembalikan spiritualitas, sehingga masyarakat lebih humble dan toleran."