“Hal ini berulang setiap hari, akibatnya lalat, tawon, dan lebah, tertarik oleh rasa manisnya. Serangga itu menetap di wajahnya sambil menyiksa dan menyengat pria malang itu. Terlebih lagi perutnya, yang buncit karena susu dan madu, mengeluarkan kotoran cair. Pembusukan ini menghasilkan kawanan cacing, usus, dan segala jenis lainnya.”
Seakan penderitaannya masih belum cukup, algojo menuangkan banyak susu dan madu ke jaringan lunak korban. Ini adalah alat kelamin dan anus tahanan. Serangga kecil kemudian akan berduyun-duyun ke daerah ini untuk mendapat makan. Lebih buruk lagi, luka pun terinfeksi oleh bakteri.
Luka yang terinfeksi itu kemudian mengeluarkan nanah dan memicu datangnya belatung. Belatung itu akan berkembang biak di dalam tubuh sambil memberikan lebih banyak penyakit. Pada titik inilah hama seperti tikus akan datang untuk menggerogoti korban yang sekarat.
Apakah skafisme itu benar-benar nyata?
Sebagian orang percaya jika skafisme diterapkan pada penjahat, pengkhianat dan pembunuh kejam. Namun banyak ahli yang menyatakan bahwa dokumentasi tentang eksekusi itu terlalu dibuat-buat.
Bagaimanapun, catatan soal eksekusi Mithridates baru muncul berabad-abad setelah kematiannya. Dan ini secara kebetulan disaksikan oleh filsuf yang ‘ahli dalam merangkai kata’.
Bagi para skeptis, skafisme hampir pasti merupakan penemuan sastra oleh orang Yunani kuno yang tidak jujur namun kreatif.