Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Persia menciptakan hukuman yang sadis dan mengerikan untuk memberi ganjaran mereka melakukan kesalahan: skafisme.
Berasal dari bahasa Yunani "skáphē" yang berarti mangkuk atau kuburan, skafisme menjadi salah satu metode eksekusi paling mengerikan.
Metode eksekusi ini dimulai sejak awal 500 SM. Dikenal juga sebagai eksekusi ‘perahu’, korban ditempatkan pada dua batang kayu atau perahu yang ditangkupkan dan diberi lubang. Saat itulah penderitaan mereka dimulai.
Dengan kepala serta anggota badan mencuat dan tubuh terperangkap di dalam, korban dipaksa mengonsumsi susu dan madu. Kedua cairan itu juga digunakan untuk menyiram korban. Kombinasi madu dan susu menyebabkan diare yang tak terkendali.
Penderitaan tidak selesai sampai di sana, dengan kotoran memenuhi perahu, algojo menuangkan madu ke wajah korban. Ini mengundang beragam serangga dan binatang lain untuk menggerogoti wajah dan tubuh mereka.
“Perlahan tapi pasti, korban pun meninggal dengan tragis,” ungkap Marco Margaritoff dilansir dari laman All That’s Interesting.
Sejarah skafisme
Penting untuk dicatat bahwa tidak ada bukti nyata dari skafisme. Sisa-sisa manusia atau bukti penyiksaan akan lama dihancurkan. Skafisme dikenal lewat karya-karya filsuf Yunani-Romawi Plutarch.
Plutarch mencatat tentang Raja Artaxerxes II yang menjatuhkan hukuman mati dengan metode skafisme pada Mithridates, prajuritnya. Hukuman ini diberikan karena pengkhianatannya. Sang raja menginginkan agar korbannya mati dengan perlahan. Pada akhirnya, Mithridates menjalani skafisme selama 17 hari sebelum akhirnya meninggal.
Plutarch menulis bahwa raja “memutuskan bahwa Mithridates harus dihukum mati dalam perahu; yang eksekusinya dilakukan dengan cara berikut: Mengambil dua perahu yang dibingkai dengan tepat agar sesuai.
Kemudian, menutupinya dengan yang lain, dan menyatukannya sehingga kepala, tangan, dan kakinya ditinggalkan di luar. Bagian tubuhnya yang lain dikurung di dalam. Penjaga menawarkannya makanan. Dan jika dia menolak untuk makan, mereka memaksanya dengan menusuk matanya. Kemudian, setelah dia makan, mereka menyiramnya dengan campuran susu dan madu.”
Plutarch merinci bagaimana campuran ini dituangkan ke wajah korban yang melepuh di bawah sinar matahari. Awalnya, hanya lalat yang akan tertarik pada korban. Namun, ketika tahanan buang air besar di perahu tertutup dan muntah, hama bermunculan.
“Ketika pria itu benar-benar mati, perahu paling atas diangkat. Mereka menemukan dagingnya dimakan. Gerombolan makhluk yang mengganggu seperti itu memangsa dan seolah-olah tumbuh dari dalam dirinya,” tulis Plutarch. “Dengan cara ini Mithridates, setelah menderita selama tujuh belas hari, akhirnya berakhir.”
Kematian akibat eksekusi ‘perahu’
Joannes Zonaras seorang teolog Bizantium merinci kengerian skafisme di abad ke-12. Penulis sejarah Bizantium berpendapat bahwa Persia kuno mengungguli semua orang barbar soal kekejaman dari hukuman mereka.
Zonaras juga menjelaskan bahwa perahu-perahu itu dipaku dengan kuat untuk menjamin tidak ada jalan keluar.
“Selanjutnya mereka menuangkan campuran susu dan madu ke dalam mulut lelaki malang itu, sampai dia mual. Algojo juga mengolesi wajah, kaki, dan lengannya dengan campuran yang sama, dan membiarkannya terkena sinar matahari,” tulisnya.
Baca Juga: Awal Konflik Besar Yunani-Persia: Pertempuran Maraton yang Legendaris
Baca Juga: Ambisi Xerxes I Merebut Yunani di Pertempuran Salamis Demi Nama Persia
Baca Juga: Catatan Sejarawan Kuno yang Ungkap Penghinaan Persia Pada Romawi
Baca Juga: Valerianus, Kaisar Romawi yang Mati dalam Hina oleh Raja Persia
“Hal ini berulang setiap hari, akibatnya lalat, tawon, dan lebah, tertarik oleh rasa manisnya. Serangga itu menetap di wajahnya sambil menyiksa dan menyengat pria malang itu. Terlebih lagi perutnya, yang buncit karena susu dan madu, mengeluarkan kotoran cair. Pembusukan ini menghasilkan kawanan cacing, usus, dan segala jenis lainnya.”
Seakan penderitaannya masih belum cukup, algojo menuangkan banyak susu dan madu ke jaringan lunak korban. Ini adalah alat kelamin dan anus tahanan. Serangga kecil kemudian akan berduyun-duyun ke daerah ini untuk mendapat makan. Lebih buruk lagi, luka pun terinfeksi oleh bakteri.
Luka yang terinfeksi itu kemudian mengeluarkan nanah dan memicu datangnya belatung. Belatung itu akan berkembang biak di dalam tubuh sambil memberikan lebih banyak penyakit. Pada titik inilah hama seperti tikus akan datang untuk menggerogoti korban yang sekarat.
Apakah skafisme itu benar-benar nyata?
Sebagian orang percaya jika skafisme diterapkan pada penjahat, pengkhianat dan pembunuh kejam. Namun banyak ahli yang menyatakan bahwa dokumentasi tentang eksekusi itu terlalu dibuat-buat.
Bagaimanapun, catatan soal eksekusi Mithridates baru muncul berabad-abad setelah kematiannya. Dan ini secara kebetulan disaksikan oleh filsuf yang ‘ahli dalam merangkai kata’.
Bagi para skeptis, skafisme hampir pasti merupakan penemuan sastra oleh orang Yunani kuno yang tidak jujur namun kreatif.