Letaknya di selatan Semenanjung India, antara Teluk Bengali dan Laut Arab. Berbentuk menyerupai tetes air mata yang mengapung di Samudra Hindia, pulau ini sering disebut Teardrop in the Indian Ocean. Selain itu bentuknya juga mirip permata, sehingga kadang disebut Permata di Samudra Hindia. Sebutan ini secara literal sangat sesuai dengan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Pulau ini penghasil batu-batu mulia seperti safir, rubi, biduri delima, dan permata.
Beragam kisah dan legenda tentang keunggulan permata Srilangka sangat terkenal sejak zaman kuno. Dari cerita Raja Solomon yang memberikan permata Srilangka kepada Ratu Sheba, hingga kisah-kisah para petualang dunia.
Marco Polo mengabarkan dalam catatan perjalanannya, bahwa sang raja memiliki rubi seukuran telapak tangan manusia. Sedangkan Sinbad si pelaut ketika kapalnya karam di pulau itu bercerita bahwa di sungainya mengalir batu-batu rubi, intan, dan mutiara.
Tercatat dalam sejarah, pertambangan permata tradisional telah ada sejak 3000 tahun silam. Menjadikan permata dan perhiasan sebagai komoditi dagang. Perdagangan telah ramai sejak dahulu. Posisi geografisnya yang strategis, membuat wilayah ini menjadi titik penting di jalur rempah. Kapal-kapal dagang dari berbagai belahan dunia membongkar dan memuat dagangan di pelabuhan tua Trincomalee dan Godawaya. Titik pemberhentian ini membuat Srilangka berkembang menjadi kosmopolitan. Penduduknya terbuka dan berinteraksi dengan warga dunia.
Selain karena perdagangan, pulau ini semakin kosmopolit di masa kolonial. Semula Portugis, Belanda, lalu Inggris. Pemerintah kolonial menerapkan sistem perbudakan dan rekrutmen tentara yang berasal dari berbagai tempat, serta menjadikan wilayah ini tempat buangan bagi lawan politik. Orang dari beragam muasal dan beraneka kepentingan, datang dan menetap di pulau ini, memengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan agama.
Termasuk orang-orang dari Nusantara. Tidak sedikit tokoh-tokoh penting yang diasingkan ke sana. Tercatat dalam babad dan surat.
Babad Mangkubumi menceritakan pengasingan Amangkurat III dan Pangeran Arya Mangkubumi beserta pengawal, keluarga dan para abdinya. Di sepucuk surat yang ditulis oleh Siti Hapipa—istri Sultan Gowa—dikisahkan kemalangan yang diderita Raja dan keluarganya di pengasingan. Syekh Yusuf Al-Makassari -tokoh agama Islam di Sulawesi Selatan, diasingkan ke Ceylon karena gerakan anti kolonialnya mengancam kedudukan Belanda. Selain itu di antara sekian banyak tokoh diasingkan, ada Sultan Bacan, Sunan Kuning dan Sultan Eyato dari Kerajaan Gorontalo—kemudian dijuluki Tato Selongi, dan masih banyak lagi yang catatannya belum ditemukan.
Mereka diasingkan karena beberapa hal. Ricci mengungkapkan bahwa orang-orang datang ke Srilangka di antaranya karena hukuman dan dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial. Mereka dibawa ke tempat yang jauh untuk dipisahkan dari para pendukungnya, demi memutus pengaruh.
Seperti Syekh Yusuf Al-Makassari, semula diasingkan ke Banten, kemudian ke Ceylon, karena beliau masih bisa terus konsolidasi melawan Belanda dengan pendukungnya di Sulawesi Selatan. Dianggap kurang jauh, selanjutnya beliau diasingkan ke Cape Town di Afrika Selatan hingga tutup usia di sana.
Selain itu di beberapa kasus, lanjut Ricci, "Karena suksesi kerajaan di Jawa misalnya. Ketika terjadi perebutan kekuasaan antar saudara, Belanda mengintervensi dengan mengasingkan salah satu pihak yang bertentangan dengannya."