Sarandib: Kesatuan Tiga Agama dan Kerinduan Cita Rasa Lidah Jawa

By Ida Fitri Astuti, Minggu, 1 Mei 2022 | 07:00 WIB
Peta Ceylon, berorientasi arah barat, disarikan dari Atlas van der Hagen, Koninklijk Bibliotheek, Den Haag, Bagian 4. Pulau Ceylon direbut Belanda dari Portugis sekitar 1655 dan 1658. Penaklukan demi memastikan VOC memperoleh monopoli perdagangan kayu manis. Peta diterbitkan oleh Nicolaas Visscher II sekitar 1681-1690. (ATLAS OF MUTUAL HERITAGE)

Nationalgeographic.co.id—Seperti Yerusalem yang "dimiliki" oleh tiga tradisi keagamaan—Yahudi, Kristen, dan Islam— Sarandib juga dikenal sebagai tempat bersejarah bagi tiga agama. Kini, kita lebih mengenal dengan toponimi Srilangka. Negeri ini memiliki tiga situs penting bagi umat Buddha, Hindu, dan Islam.

Situs sakral tiga agama itu terletak di Puncak Adam, ketinggiannya 2.243 meter di atas permukaan laut. Lokasi persisnya di Distrik Ratnapura, Srilangka bagian Selatan.

Di formasi batuan tak jauh dari puncak, terdapat lekukan batu berbentuk tapak kaki sepanjang 1,8 meter. Orang Sinhala (penganut Buddha) menamainya Sri Pada dalam bahasa Sanskerta atau Tapak Kaki Suci. Mereka mempercayainya sebagai jejak kaki Sang Buddha untuk menandai bahwa wilayah ini penting bagi penerus ajarannya.

"Gunung itu seolah menyentuh langit. Ketika Adam turun ke bumi, dan menginjakkan kaki pertama kali di puncak gunung itu, ia masih bisa mendengar suara malaikat bernyanyi," tutur Profesor Ronit Ricci menggambarkan Puncak Adam di Sarandib. "Digambarkan bahwa kakinya di bumi, kepala di surga. Puncak itu liminal, antara surga dan dunia," tambah Ricci.

Ricci merupakan peneliti manuskrip Jawa dan Melayu di Department of Asian Studies and Comparative Religion, Hebrew University of Jerusalem. Saat itu dia berkesempatan sebagai pembicara dalam Wednesday Forum, 27 April silam. Forum mingguan itu diselenggarakan oleh oleh Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) dan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM.

Artefak ini juga penting dalam Hinduisme. Umat Hindu meyakininya sebagai tapak kaki Dewa Siwa, sehingga menamainya Shivanolipatha Malai dan Shiva padam. Dua kata yang berarti sama, yaitu jejak kaki Dewa Siwa. Negeri ini juga melekat dalam kisah Ramayana yang merujuk pada Alengka sebagai kerajaan Rahwana.

Sedangkan umat Islam mempercayainya sebagai tapak kaki Nabi Adam. Di sinilah Adam pertama kali menjejakkan kakinya ke bumi dan menjalani hukuman sebagai manusia. Mereka menjuluki gunung tempat artefak itu dengan nama Puncak Adam. Pun, sebutan itu masih digunakan hingga sekarang.

Secara etimologi, pulau ini mengalami banyak perubahan nama. Sebutan paling arkaik bagi pulau ini adalah Langka. Berasal dari Sanskerta Lankadeepa yang berarti tanah bersinar. Dalam kisah epik Ramayana, yang berkembang di wilayah ini, Langka sama artinya dengan Alengka, yaitu nama wilayah kerajaan di mana Rahwana bertahta.

Orang Arab menyebutnya "Sarandib", yang telah digunakan paling tidak sejak tahun 361. Kata ini diduga berasal dari bahasa Sanskerta simhaladvipa, yang dilafalkan oleh orang Arab menjadi Sarandib. Sedangkan orang Persia menamainya Serendip.

Sarandib, atau Srilangka kini, memiliki tiga situs penting bagi umat Buddha, Hindu, dan Islam di Puncak Adam. Bagaimana para diaspora mengingat negeri asal mereka? (Bourgeois/Wikimedia Commons)

Sarandib atau Serendip juga diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi serendipity. Kata ini mulai digunakan setelah Horace Walpole menerbitkan buku berjudul "Three Princes of Serendip" pada 1754. Ia berkisah tentang tiga petualang yang dalam perjalanannya menemukan keberuntungan tanpa berniat mencarinya. Sejak itu serendipity digunakan untuk menyebut suatu peristiwa ketaksengajaan.

Di bawah kekuasaan Belanda, kemudian  Inggris, pulau ini disebut Ceylon. Nama ini terus dipakai hingga 1972. Pada 2 Mei 1972, sistem pemerintahan berubah menjadi republik dan nama resmi negaranya adalah Republik Srilangka.

Letaknya di selatan Semenanjung India, antara Teluk Bengali dan Laut Arab.  Berbentuk menyerupai tetes air mata yang mengapung di Samudra Hindia, pulau ini sering disebut Teardrop in the Indian Ocean. Selain itu bentuknya juga mirip permata, sehingga kadang disebut Permata di Samudra Hindia. Sebutan ini secara literal  sangat sesuai dengan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Pulau ini penghasil batu-batu mulia seperti safir, rubi, biduri delima, dan permata.

Beragam kisah dan legenda tentang keunggulan permata Srilangka sangat terkenal sejak zaman kuno. Dari cerita Raja Solomon yang memberikan permata Srilangka kepada Ratu Sheba, hingga kisah-kisah para petualang dunia.

Marco Polo mengabarkan dalam catatan perjalanannya, bahwa sang raja memiliki rubi seukuran telapak tangan manusia. Sedangkan Sinbad si pelaut ketika kapalnya karam di pulau itu bercerita bahwa di sungainya mengalir batu-batu rubi, intan, dan mutiara.

Seorang pendeta Buddha tampak memuliakan Tapak Buddha di situs Gunung Adam, Srilangka. Situs ini dimuliakan oleh Buddha, Hindu, dan Islam. (Martin Gray/The Pilgrimage Guide)

Tercatat dalam sejarah, pertambangan permata tradisional telah ada sejak 3000 tahun silam. Menjadikan permata dan perhiasan sebagai komoditi dagang. Perdagangan telah ramai sejak dahulu. Posisi geografisnya yang strategis, membuat wilayah ini menjadi titik penting di jalur rempah. Kapal-kapal dagang dari berbagai belahan dunia membongkar dan memuat  dagangan di pelabuhan tua Trincomalee dan Godawaya. Titik pemberhentian ini membuat Srilangka berkembang menjadi kosmopolitan. Penduduknya terbuka dan berinteraksi dengan warga dunia.

Selain karena perdagangan, pulau ini semakin kosmopolit di masa kolonial. Semula Portugis, Belanda, lalu Inggris. Pemerintah kolonial menerapkan sistem perbudakan dan rekrutmen tentara yang berasal dari berbagai tempat, serta menjadikan wilayah ini tempat buangan bagi lawan politik. Orang dari beragam muasal dan beraneka kepentingan, datang dan menetap di pulau ini, memengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan agama.

Termasuk orang-orang dari Nusantara. Tidak sedikit tokoh-tokoh penting yang diasingkan ke sana. Tercatat dalam babad dan surat.

Babad Mangkubumi menceritakan pengasingan Amangkurat III dan Pangeran Arya Mangkubumi beserta pengawal, keluarga dan para abdinya. Di sepucuk surat yang ditulis oleh Siti Hapipa—istri Sultan Gowa—dikisahkan kemalangan yang diderita Raja dan keluarganya di pengasingan. Syekh Yusuf Al-Makassari -tokoh agama Islam di Sulawesi Selatan, diasingkan ke Ceylon karena gerakan anti kolonialnya mengancam kedudukan Belanda. Selain itu di antara sekian banyak tokoh diasingkan, ada Sultan Bacan, Sunan Kuning dan Sultan Eyato dari Kerajaan Gorontalo—kemudian dijuluki Tato Selongi, dan masih banyak lagi yang catatannya belum ditemukan.

Mereka diasingkan karena beberapa hal. Ricci mengungkapkan bahwa orang-orang datang ke Srilangka di antaranya karena hukuman dan dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial. Mereka dibawa ke tempat yang jauh untuk dipisahkan dari para pendukungnya, demi memutus pengaruh.

Seperti Syekh Yusuf Al-Makassari, semula diasingkan ke Banten, kemudian ke Ceylon, karena beliau masih bisa terus konsolidasi melawan Belanda dengan pendukungnya di Sulawesi Selatan. Dianggap kurang jauh, selanjutnya beliau diasingkan ke Cape Town di Afrika Selatan hingga tutup usia di sana. 

Selain itu di beberapa kasus, lanjut Ricci, "Karena suksesi kerajaan di Jawa misalnya. Ketika terjadi perebutan kekuasaan antar saudara, Belanda mengintervensi dengan mengasingkan salah satu pihak yang bertentangan dengannya."

Seorang bangsawan Sinhala pada abad ke-19. (Public Domain)

Tarian iblis yang menjadi bagian tradisi orang-orang Sinhala pada abad ke-19. (Public Domain)

Ricci memaparkan tentang bagaimana kehidupan  mereka di tanah pengasingan. Terutama bagaimana persepsi mereka terhadap Ceylon yang mengubah cara melihat diri mereka sendiri di pengasingan.

Di tempat pengasingan bernama Ceylon atau Sarandib atau Langka itu, terdapat artefak yang sakral bagi tiga agama. Umat Buddha, Hindu, dan Islam berziarah dan berbagi situs yang sama, yaitu tapak kaki dari batu di Puncak Adam.

Bagi yang diasingkan di Ceylon, mereka merasa mengalami pengasingan yang sama, yang dialami oleh Sang Buddha, Nabi Adam maupun Sita yang ditawan Rahwana di kisah Ramayana. Mereka diasingkan ke tempat suci, dan mengikuti jalan asketik (menjauhkan diri dari keramaian, kesenangan, dan keduniawian).

Puncak Adam dianggap sebagai gunung tertinggi dan paling dekat dengan langit atau surga. Narasi ini dibangun dan terus menerus dikisahkan kepada keturunannya tak hanya secara lesan tetapi juga melalui teks. Hal ini yang diteliti oleh Ricci dan hasilnya dituangkan dalam buku berjudul "Banishment and Belonging: Exile and Diaspora in Sarandib, Langka and Ceylon" diterbitkan oleh Cambridge University Press pada 2019.

Di sini kita bisa melihatnya sebagai upaya mereka mentransformasi dispowerment—kekalahan atau pelemahan oleh pemerintah kolonial—menjadi power dalam meraih kekuatannya kembali. Pada waktu itu Ceylon telah dikonotasikan negatif bagi warga jajahan di Nusantara, sebagai tempat hina bagi para buangan. Pada periode ini Ceylon, atau dalam bahasa Jawa diucapkan Selong, sering digunakan sebagai kata yang buruk. Ada istilah dalam bahasa Jawa "diselongke", atau di-selong-kan yang artinya disingkirkan.

  

Baca Juga: Makara, Monster Laut Berbelalai dalam Mitologi Hindu dari Srilangka

Baca Juga: Sejarah Penuh Darah Berlian Terkutuk Kooh-i-Noor yang Dimiliki Inggris

Baca Juga: Peradaban Tertua di Dunia dan Benua Kumari Kandam yang Hilang

Baca Juga: Menguak Keunikan India Kuno Lewat Catatan Perjalanan Marco Polo

   

Sehingga narasi seperti di atas menjadi penting untuk meraih kekuatan dan bertahan hidup di negeri asing penuh sengsara. Kita bisa mendapatkan gambaran tentang penderitaan di sana, seperti yang ditulis Siti Hapipa dalam suratnya: penghasilan sedikit dan banyak hutang.

Di akhir pemaparannya, Ricci menceritakan bagaimana keturunan mereka yang hingga hari ini tak pernah kembali ke Nusantara. Di Srilangka, saat ini, mereka termasuk rumpun etnis Melayu yang masih menggunakan bahasa Melayu di rumah. "Tetapi bahasa Melayu mereka berbeda. Saya bisa berbahasa Melayu, dan saya pikir ketika tiba di sana bisa berkomunikasi dengan mereka, nyatanya tidak," kata Ricci.

Menariknya, mereka masih menjalankan tradisi Islam seperti nenek moyangnya ketika datang ke Ceylon. Mereka membangun masjid Melayu dengan khotbah berbahasa Melayu. Namun, kini jumlah muslim Melayu lebih sedikit dibanding muslim Tamil. Akibatnya, khotbah Jumat yang disampaikan dalam bahasa Melayu hanya ada satu kali dalam sebulan. Bahkan di beberapa tempat, sudah tidak ada lagi.

Fenomena ini seolah tidak terelakkan, sebab mereka sebagai muslim Melayu mengalami double-minority: Minoritas sebagai muslim di negeri Buddhis, dan minoritas sebagai muslim Melayu di komunitas muslim Srilangka, yang mayoritas dari suku Tamil. Oleh karena itu mereka cenderung lemah secara sosial, ekonomi, budaya, dan agama.

Beberapa tradisi masih bertahan hingga sekarang, agar tetap terhubung dengan tempat muasalnya, Jawa. Bagi mereka sebagai diaspora, makanan adalah salah satu medium penghubung itu.

Ricci berkisah, "Awalnya dari legenda tentang seorang syekh bertanya pada umatnya yang sedang sedih. Apa yang dipikirkan, apa yg dirindukan dari Jawa? Orang itu menjawab bahwa ia rindu memakan tempe. Lalu, sang guru secara ajaib memberikan tempe dan membuat orang itu senang." Sejak itu komunitas muslim Melayu selalu menghadirkan tempe sebagai sajian setelah solat Jumat. "Bagi mereka tempe adalah obat rindu akan Jawa".

Perkara tempe juga diceritakan oleh dua perempuan dari Kraton Surakarta yang berhasil pulang ke Jawa dari pengasingan di Ceylon. Bahwa tempe dan salak adalah dua hal yang sangat mereka rindukan dari Jawa.

Bagaimana dengan kaum diaspora masa kini yang menetap di berbagai belahan dunia, apakah Anda juga merindukan tempe?