Ricci memaparkan tentang bagaimana kehidupan mereka di tanah pengasingan. Terutama bagaimana persepsi mereka terhadap Ceylon yang mengubah cara melihat diri mereka sendiri di pengasingan.
Di tempat pengasingan bernama Ceylon atau Sarandib atau Langka itu, terdapat artefak yang sakral bagi tiga agama. Umat Buddha, Hindu, dan Islam berziarah dan berbagi situs yang sama, yaitu tapak kaki dari batu di Puncak Adam.
Bagi yang diasingkan di Ceylon, mereka merasa mengalami pengasingan yang sama, yang dialami oleh Sang Buddha, Nabi Adam maupun Sita yang ditawan Rahwana di kisah Ramayana. Mereka diasingkan ke tempat suci, dan mengikuti jalan asketik (menjauhkan diri dari keramaian, kesenangan, dan keduniawian).
Puncak Adam dianggap sebagai gunung tertinggi dan paling dekat dengan langit atau surga. Narasi ini dibangun dan terus menerus dikisahkan kepada keturunannya tak hanya secara lesan tetapi juga melalui teks. Hal ini yang diteliti oleh Ricci dan hasilnya dituangkan dalam buku berjudul "Banishment and Belonging: Exile and Diaspora in Sarandib, Langka and Ceylon" diterbitkan oleh Cambridge University Press pada 2019.
Di sini kita bisa melihatnya sebagai upaya mereka mentransformasi dispowerment—kekalahan atau pelemahan oleh pemerintah kolonial—menjadi power dalam meraih kekuatannya kembali. Pada waktu itu Ceylon telah dikonotasikan negatif bagi warga jajahan di Nusantara, sebagai tempat hina bagi para buangan. Pada periode ini Ceylon, atau dalam bahasa Jawa diucapkan Selong, sering digunakan sebagai kata yang buruk. Ada istilah dalam bahasa Jawa "diselongke", atau di-selong-kan yang artinya disingkirkan.
Baca Juga: Makara, Monster Laut Berbelalai dalam Mitologi Hindu dari Srilangka
Baca Juga: Sejarah Penuh Darah Berlian Terkutuk Kooh-i-Noor yang Dimiliki Inggris
Baca Juga: Peradaban Tertua di Dunia dan Benua Kumari Kandam yang Hilang
Baca Juga: Menguak Keunikan India Kuno Lewat Catatan Perjalanan Marco Polo