Menara Trajan: Sebuah Catatan Perang Menjulang di Tengah Roma

By National Geographic Indonesia, Senin, 9 Mei 2022 | 08:00 WIB
Ketika jatuh sakit dan meninggal, Trajanus (berkuasa dari 98 hingga 117 M) sedang memperluas Kekaisaran Romawi ke perbatasannya yang terjauh. Pada patung marmer ini, dia mengenakan baju zirah yang biasa digunakan dalam pawai kemenangan. KOLEKSI: NY CARLSBERG GLYPTOTEK, KOPENHAGEN; DIFOTO DI MUSEI CA (Kenneth Garrett/National Geographic)

Filippo Coarelli, sejarawan seni dan arkeolog Italia, pernah menulis buku tentang topik ini. Di ruang duduknya di Roma, dia menurunkan buku sejarah bergambar yang ditulisnya itu dari rak buku yang penuh sesak. “Menara itu karya yang luar biasa,” katanya, sambil membalik-balik halaman foto ukiran hitam-putih. “Kaum perempuan Dacia menyiksa tentara Romawi? Orang Dacia menangis dan meracuni diri sendiri agar tidak ditangkap? Seperti serial televisi saja.”

Atau, kata Coarelli, seperti memoar Trajanus. Saat dibangun, menara itu berdiri di antara dua perpustakaan, yang mungkin menyimpan cerita sang kaisar-tentara tentang perang itu. Menurut pandangan Coarelli, ukiran itu mirip gulungan tulisan, dan catatan harian perang Trajanus kemungkinan besar berbentuk gulungan kertas. “Si seniman—dan seniman pada masa itu tidak bebas berkarya sesuka hati—tentu bekerja sesuai dengan keinginan Trajanus,” katanya.

Dua Perang Dacia yang Dilancarkan Trajanus. Dari wilayah yang kuat di sebelah utara Sungai Danube, bangsa Dacia sering menyerang daerah Kekaisaran Romawi. Pada 101, Trajanus memperkuat perbatasan dan menyerbu dengan puluhan ribu prajurit. (National Geographic)

Menurut Coarelli, para pemahat bekerja di bawah pengawasan seorang empu, berdasarkan rancangan untuk mewujudkan gulungan Trajanus dalam bentuk pencakar langit dari 17 silinder marmer Carrara terbaik.

Sang kaisar menjadi tokoh utama cerita. Dia muncul 58 kali, digambarkan sebagai komandan cerdik, negarawan ulung, dan pemimpin alim. Di sini dia berpidato kepada pasukan; di sana dia berunding dengan para penasihat dengan penuh pertimbangan; di situ dia memimpin persembahan kepada dewa-dewa. “Ini upaya Trajanus untuk menjadi tak hanya orang militer,” kata Coarelli, “tetapi juga orang berbudaya.”

Tentu saja, ini spekulasi Coarelli. Apa pun bentuknya, me-moar Trajanus sudah lama hilang. Bahkan petunjuk yang diper-oleh dari menara itu dan penggalian di Sarmizegetusa, ibu kota Dacia, menyiratkan bahwa ukiran itu lebih merupakan pemikiran Romawi daripada sejarah.

Jon Coulston, pakar dalam ikonografi, senjata, dan perlengkapan Romawi di University of St. Andrews di Skotlandia, berbulan-bulan mempelajari menara itu dekat-dekat dari perancah di sekelilingnya, selama pemugaran pada 1980-an dan 1990-an. Dia menulis disertasi doktoral tentang monumen itu, dan masih terus terobsesi—dan senang berdebat—sejak itu. “Orang ingin sekali mem-bandingkannya dengan media berita dan film,” katanya. “Mereka menafsirkan secara berlebihan, sejak dulu begitu. Semuanya generik. Anda tidak boleh percaya sepatah kata pun.”

Dalam cerita visual yang berputar dari alas ke puncak menara, Trajanus dan tentaranya berjaya atas bangsa Dacia. Dalam adegan ini, dari cetakan plester dan serbuk marmer antara 1939 dan 1943, Trajanus (di kiri jauh) mengawasi per­tempuran, sementara dua tentara Romawi mempersembahkan kepala. (Kenneth Garrett/National Geographic)

Adegan ini menampilkan tentara Romawi memuat harta jarahan ke hewan beban setelah mengalahkan Decebalus, sang raja Dacia. Cetakan seperti ini melestarikan detail pada Menara Trajanus yang terkikis akibat polusi. KOLEKSI: MUZEUL NAȚIONAL DE ISTORIE A ROMÂNIEI (Kenneth Garrett/National Geographic)

Menurut Coulston, tidak ada satu sosok utama yang merancang ukiran itu. Perbedaan kecil dalam gaya dan berbagai kesalahan yang kentara, seperti jendela yang menyela adegan dan tinggi adegan yang tidak konsisten, meyakinkannya bahwa para pemahat membuat menara itu sambil jalan, berdasarkan berita yang mereka dengar tentang perang. “Tidak ada seorang empu seniman besar, yang senang dibayangkan para sejarawan seni,” katanya. “Komposisi ini dilaku-kan oleh orang-orang kecil di permukaan batu, bukan gambar rancangan di studio.”

Karya seni ini, menurut pandangannya, lebih tepat disebut “terinspirasi oleh” daripada “berdasarkan kisah.” Lihat saja prioritas menara itu. Hanya ada sedikit pertarungan dalam penggambaran kedua perang itu. Tidak sampai seperempat ukiran menampilkan pertempuran atau pengepungan, dan Trajanus sendiri tidak pernah digambarkan bertempur.menara itu menekankan keluasan kekaisaran Romawi.

Pasukan Trajanus mencakup kavaleri Afrika yang berambut gimbal, orang Iberia yang melontar batu, pemanah Syam yang berhelm lancip, dan orang Jerman bertelanjang dada dan bercelana, yang tentu tampak eksotis bagi orang Romawi yang dibalut toga. Mereka semua melawan bangsa Dacia, menyiratkan bahwa siapa saja, seliar apa pun rambutnya atau segila apa pun selera pakaiannya, bisa jadi orang Romawi.