Menara Trajan: Sebuah Catatan Perang Menjulang di Tengah Roma

By National Geographic Indonesia, Senin, 9 Mei 2022 | 08:00 WIB
Ketika jatuh sakit dan meninggal, Trajanus (berkuasa dari 98 hingga 117 M) sedang memperluas Kekaisaran Romawi ke perbatasannya yang terjauh. Pada patung marmer ini, dia mengenakan baju zirah yang biasa digunakan dalam pawai kemenangan. KOLEKSI: NY CARLSBERG GLYPTOTEK, KOPENHAGEN; DIFOTO DI MUSEI CA (Kenneth Garrett/National Geographic)

Bangsa Dacia menempa logam menjadi perhiasan, uang, dan seni, seperti wadah minum perak bertepi emas. Tinggi 17 sentimeter, abad keempat sebelum masehi. (Kenneth Garrett/National Geographic)
 

Uang emas dengan gambar Romawi ini dan gelang yang masing­masing beratnya sampai satu kilogram ini dijarah dari reruntuhan Sarmizegetusa, ibu kota Dacia. Namun, belakangan, keping-kepin koin emas ini berhasil diperoleh kembali. Diameter 1,7-2,1 cm, abad pertama sebelum masehi. (Kenneth Garrett/National Geographic)

 

Gelang emas berdiameter 9,9-11,9 sentimeter, abad kedua sebelum masehi hingga abad pertama masehi. (Kenneth Garrett/National Geographic)

Beberapa adegan masih ambigu dan pe-nafsirannya kontroversial. Apakah bangsa Dacia yang dikepung itu meraih cangkir untuk bunuh diri dengan minum racun daripada harus dipermalukan di tangan Romawi yang menaklukkan mereka? Atau mereka hanya haus saja? Apakah para bangsawan Dacia mengerumuni Trajanus dalam adegan demi adegan sedang menyerah atau bernegosiasi?

Dan bagaimana dengan adegan menggempar-kan yang menampilkan kaum perempuan menyiksa tawanan yang terikat dan bertelanjang dada, dengan obor menyala? Orang Italia melihatnya sebagai tawanan Romawi yang men-derita di tangan perempuan barbar. Ernest Oberländer-Târnoveanu, kepala Muzeul Național de Istorie a României, berbeda pendapat: “Mereka jelas tawanan Dacia yang sedang disiksa oleh janda tentara Romawi yang marah.” Seperti banyak hal tentang menara itu, yang kita lihat cenderung tergantung pada pendapat kita tentang bangsa Romawi dan Dacia.

Bagi politikus Romawi, bangsa Dacia bermuka dua. Sejarawan Tacitus menyebut mereka “bangsa yang tidak pernah bisa dipercaya.” Mereka ter-kenal suka meminta uang perlindungan dari Kekaisaran Romawi sambil mengirim tentara untuk menjarah kota perbatasan. Pada tahun 101, Trajanus bertekad menghukum bangsa Dacia yang berulah itu. Setelah hampir dua tahun bertempur, Decebalus, sang raja Dacia, menegosiasikan perjanjian dengan Trajanus, lalu langsung melanggarnya.

Untuk menghormati kaisar Romawi yang menaklukkan bangsa Dacia, senat memerintahkan pembangunan monumen baru. Menara 38 meter ini, yang dipersembahkan kepada Trajanus pada 113 M, merupakan sebuah prestasi arsitektur. Hiasan reliefnya bercerita tentang dua perang yang terjadi berturut-turut, melingkar 23 kali dari bawah ke atas. (National Geographic)

Ukiran kisah yang mendetail ini, dengan 2.662 sosok manusia dalam 155 adegan—Trajanus tampil dalam 58 di antaranya—seperti komik zaman kuno. Cara pembuatannya dan seberapa akurat kisahnya masih menjadi topik perdebatan sengit. (National Geographic)
      

Roma sudah terlalu sering dikhianati. Pada serbuan kedua, Trajanus tidak main-main. Lihat saja adegan-adegan yang menampilkan penjarahan Sarmizegetusa atau desa-desa yang terbakar. “Perang ini mengerikan dan penuh kekerasan,” kata Roberto Meneghini, arkeolog Italia yang memimpin penggalian Forum Trajanus. “Lihat orang Romawi yang bertempur sambil menggondol kepala terpenggal. Perang itu perang. Legiun Romawi terkenal sangat keras dan bengis.”

Namun, setelah bangsa Dacia ditaklukkan, mereka menjadi tema favorit bagi para pemahat Romawi. Di Forum Trajanus terdapat puluhan patung tentara Dacia yang tampan dan ber-jenggot, pasukan marmer berwibawa di jantung kota Roma.

Pesan itu tampaknya ditujukan kepada orang Romawi, bukan orang Dacia yang selamat, yang sebagian besar dijual sebagai budak. “Tidak ada orang Dacia yang bisa datang dan melihat menara itu,” kata Meneghini. “Menara itu untuk warga Romawi, untuk menunjukkan keperkasaan mesin kekaisaran, yang mampu menaklukkan bangsa yang begitu mulia dan garang.”

Menara trajanus mungkin memang propaganda, tetapi menurut para arkeolog ada benih kebenaran di dalamnya. Penggalian di situs-situs Dacia, termasuk Sarmizegetusa, terus mengungkapkan jejak suatu peradaban yang jauh lebih canggih daripada yang tersirat dari istilah “barbar”, istilah meremehkan yang digunakan bangsa Romawi.