Sejarah Mengerikan Lobotomi: Ketika Ribuan Kepala Manusia Dilubangi

By Utomo Priyambodo, Rabu, 11 Mei 2022 | 07:23 WIB
Bagaimana metode pengobatam lobotomi bisa dipakai dan diterapkan ke banyak orang? Apa pengaruhnya terhadap para pasien yang menjalani prosedur itu? (KAROLINA URBANIAK)

Prosedur lobotopi dengan pemecah es. (Buku Walter Freeman)

Bagaimana dampak lobotomi pada para pasien?

Popularitas lobotomi tampaknya muncul bukan dari dorongan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, melainkan dari keputusasaan yang timbul dari fasilitas kesehatan mental yang penuh sesak. Lobotomi menawarkan metode yang murah dan berjangka panjang untuk mengendalikan pasien yang "sulit diatur", mengurangi biaya dan upaya merawat mereka. Namun, ini datang dengan biaya yang tak terlukiskan untuk para pasien (atau korban), mulai dari penderitaan hingga kematian.

Seorang pasien yang menjalani lobotomi di Inggris pada tahun 1974 mengatakan kepada Guardian bahwa "Rasanya seperti gagang sapu didorong ke otak saya dan kepala saya pecah."

  

Baca Juga: Alam Menolong Kesehatan Mental Manusia, tapi Hanya untuk Orang Kaya?

Baca Juga: Puasa Media Sosial Selama Seminggu Dapat Meningkatkan Kesehatan Mental

Baca Juga: Menguak Misteri Pemenggalan Kepala Manusia di Lembah Nahanni

Baca Juga: Kesaksian Perempuan Eropa tentang Pemburu Kepala Manusia di Kalimantan

 Baca Juga: Kepala Manusia Sebagai Mas Kawin dan Tradisi Penggal Kepada Suku Naulu

   

Pasien lobotomi termuda—terutama pasien Freeman lainnya – adalah Howard Dully yang berusia 12 tahun. Untungnya dia selamat, tetapi berbicara kepada Guardian, dia mengatakan bahwa "Saya seperti zombie; Saya tidak menyadari apa yang telah dilakukan Freeman." Dia juga menyebut kini sering mengalami infeksi mata pada saluran air matanya yang "dihancurkan" oleh lobotomi transorbital.

Sebuah laporan tahun 1996 oleh British Medical Journal merinci departemen kesehatan Norwegia secara finansial memberikan kompensasi kepada semua orang yang pernah menjalani lobotomi di Norwegia. Pemerintah mengakui efek jangka panjang dari lobotomi, "yang meliputi gangguan intelektual, rasa malu, epilepsi, apatis, inkontinensia, dan obesitas."

Ahli bedah saraf Henry Marsh menjelaskan kepada BBC, "Jika Anda melihat para pasien setelah operasi, mereka tampak baik-baik saja, mereka akan berjalan dan berbicara dan mengucapkan terima kasih kepada dokter."

"Fakta bahwa mereka benar-benar hancur sebagai manusia sosial mungkin tidak masuk hitungan."

Ibu dari satu pasien lobotomi dikutip mengatakan, "Dia adalah putri saya tetapi orang yang berbeda. Tubuhnya bersamaku, tetapi jiwanya entah bagaimana hilang."

Lobotomi akhirnya tidak lagi disukai dengan munculnya obat-obatan seperti thorazine, yang dapat menaklukkan pasien tanpa perlu operasi. Uni Soviet melarang lobotomi pada 1950, tetapi praktik itu berlanjut hingga 1980-an di bagian lain dunia seperti Prancis dan Skandinavia.