Tidak Semua Orang Romawi Bersedia Menjadi Kaisar, Apa Sebabnya?

By Sysilia Tanhati, Kamis, 12 Mei 2022 | 07:00 WIB
Ketegangan mematikan politik kekaisaran membutuhkan keseimbangan kekuatan yang kompleks, tak terduga, dan berbahaya. (Étienne-Jean Delécluze)

Kata-kata ini menjadi inti dari tindakan penyeimbangan kekaisaran yang besar yang dituntut dari semua kaisar Romawi awal.

Ini mengingatkan kita bahwa posisi seorang kaisar jauh dari lugas dan tentu saja tidak nyaman. Berbeda dari kekacauan yang tak henti-hentinya dan perang saudara di akhir Republik, stabilitas Imperial membutuhkan penguasa yang kuat dan sebagian besar otokratis.

Namun kepekaan Romawi, sebagaimana digalakkan melalui tradisi Republik selama berabad-abad, tidak akan mentolerir bahkan kemiripan seorang tiran.

Itu adalah paradoks yang sangat ironis. Inilah yang menyebabkan kejatuhan Julius Caesar yang menurut Suetonius pernah berkata, “Republik hanyalah sebuah nama, tanpa substansi atau realitas.”

Di satu sisi, Caesar benar. Republik seperti yang telah dikenal orang Romawi selama berabad-abad sudah pasti hilang. Republik tidak dapat bertahan melawan persaingan kekuatan yang tak henti-hentinya dari kerakusan elitnya.

     

Baca Juga: Melihat Kediaman Kaisar Hadrian yang Luasnya Melebihi Kota Pompeii

Baca Juga: Seperti Apa Istana dan Taman Eksotis Kaisar Romawi Caligula?

Baca Juga: Misteri Kematian Kaisar Romawi, Gordian III Saat Berusia 19 Tahun

Baca Juga: Caesarion, Buah Cinta Kaisar Romawi Julius Caesar dengan Cleopatra

Baca Juga: Mengapa Bangsa Romawi Kerap Memiliki Kaisar yang Gila dan Sesat?