Menyaksikan Sejarah Alam Gunung Merapi dari Pelukis ke Pelukis

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 13 Mei 2022 | 08:00 WIB
Lukisan reruntuhan Candi Sewu di Prambanan karya H.C Cornelius. Lukisan ini menghadirkan Gunung Merapi sebagai latarnya. (H.C Cornelius)

Nationalgeographic.co.id—"Gunung berapi yang melegenda di Jawa Tengah itu seperti magnet yang banyak menginspirasi para seniman," kata Mikke Susanto.

Ia membuka pemaparannya dalam Bincang Redaksi-47 pada 11 Mei 2022, yang bertajuk Sejarah Alam Gunung Merapi dalam Lukisan. Program ini merupakan kolaborasi National Geographic Indonesia bersama Program Studi S-1 Tata Kelola Seni, Fakultas Seni Rupa, Insitut Seni Indonesia Yogyakarta.

Mikke, yang merupakan ketua program studi tersebut, mengungkapkan bahwa sejak kolonialisme Eropa menjamah di Nusantara, gaya lukis romantisme ikut terbawa. Dalam perkembangannya gaya romantisme inilah yang melahirkan gaya Mooi Indie (Hindia Molek). Cirinya, lukisan-lukisan yang menggambarkan keindahan alam Hindia Belanda.

"Saya kira Mooi Indie selalu mengecoh kita bahwa lukisan menarik adalah yang indah. Namun di balik keindahan itu, muncul kritik yang sebenarnya sangat keras oleh peneliti di tahun 2011," ujar Mikke. "Pelukis Hindia Belanda sangat konsisten menghilangkan kesan proto-industri dan basis komersial ekonomi pertanian Hindia Belanda."

Semua lukisan bersih, seolah asri tanpa gangguan eksploitasi bumi Nusantara yang terjadi. Seni lukis sangat penting bagi pengetahuan orang Belanda saat itu yang belum mengenal fotografi. Mulai dari tata letak kota, geografi, hingga arkeologi, semua digunakan demi ilustrasi yang bisa menggambarkan apa yang dilihatnya. Hal itu juga terjadi pada Gunung Merapi.

Ghamal Satya Mohammad, sejarawan dan peneliti doktoral Asia Research Centre di Murdoch University, Australia, menggali lukisan-lukisan Gunung Merapi pada periode 1800 sampai 1930. Penelitian itu dipublikasikan di jurnal Wacana tahun ini, yang menghadirkan cara lain menelisik sejarah peristiwa alam dengan media lukisan.

Dalam Bincang Redaksi-47, Ghamal mengungkapkan bahwa seniman yang pertama kalinya melukis Gunung Merapi adalah H.C Cornelius pada 1807. Kendati demikian, Gunung Merapi dalam lukisan itu hanya menjadi latar dari reruntuhan Candi Sewu di Prambanan.

   

Baca Juga: Singkap Fakta Letusan Merapi, Alasan Mpu Sindok Memindahkan Mataram

Baca Juga: Lukisan Edouard Riou, Romantisme dan Luka di Balik Terusan Suez

Baca Juga: Lukisan Wandjina, Visualisasi Kepercayaan Orang Aborigin Australia

Baca Juga: Seniman-Seniman Lukis Pertama di Dunia Berasal dari Indonesia?

    

"Jadi tidak mudah untuk mencapai Merapi saat itu," kata Ghamal. Jalanan dari Batavia saat itu mengandalkan jalanan sisa-sisa kerajaan Nusantara yang terkadang rusak saat hujan besar. Sementara Jalan Raya Pos yang menghubungkan kota-kota di Pulau Jawa, baru dibangun pada tahun-tahun berikutnya.

"Saya cukup membayangkan pada masa itu seniman yang jumlahnya sangat sedikit di awal abad ke-19 dan mereka ditugaskan melakukan banyak hal, mulai dari membuat sketsa gambar naturalis maupun objek-objek strategis, dan juga mengenai alam. Di sini jadi cukup sulit bila tidak ada sponsor khusus atau tugas khusus ke Merapi," terangnya.

Saat itu, Cornelius mendapat tugas dari pemerintah kolonial untuk menggambarkan reruntuhan Candi Sewu. Gunung Merapi di belakangnya tampak aktivitas vulkaniknya, dan itu sesuai dengan laporan yang terjadi pada tahun 1807.

Gunung Merapi muncul lagi dalam lukisan 1817, yang menurut Ghamal karya Jannes Theodorus Bik. Dia ke sana bersama dalam rombongan Gubernur Jenderal Van Der Capellen yang pada saat itu membuka komisi naturalis. 

Tampaknya, lukisan Jannes Th. Bik kemudian disadur oleh Antoine Auguste Joseph Payen. Ghamal memperkirakan Payen mendapati lukisan Jannes Th. Bik ketika dia menyambangi Istana Bogor untuk bertemu Van der Capellen.

Keindahan Merapi dalam lukisan itu membuat Payen kemudian datang ke wilayah Gunung Merapi pada 1824. Berdasarkan posisinya, dia menggambarkan Merapi dari Kedu, Magelang.

Dia kemudian membuat lukisan lagi dengan menjadikan Merapi sebagai latar pada 1825. Objek utama gambar itu adalah rumah dinas residen Yogyakarta Hendrik Smissaert di Bedoyo. Payen diminta jadi arsitek untuk perbaikan rumah dinas Smissaert yang rusak karena gempa yang terjadi sekitar 1823.

Saat Perang Dipanagara berkecamuk, Gunung Merapi juga hadir dalam lukisan karya F.V.A De Stuers. Dia adalah adalah orang yang aktif mendokumentasikan Perang Dipanagara lewat beberapa jilid buku. Lukisan Gunung Merapi yang dibuatnya diambil dari Gunung Tidar, Magelang, dengan menampilkan lanskap petak-petak pohon yang merupakan desa-desa penduduk.

Lukisan karya F.V.A De Stuers pada lingkungan sekitar Magelang dan Gunung Merapi. (F.V.A De Stuers)

"Jadi hamparan ini [menunjukan] bahwa Magelang dan Kedu itu kawasan kaya yang sudah lama menjadi lumbung padi bagi Vorstelanden (kesultanan-kesultanan Jawa di bawah Hindia Belanda)," terang Ghamal. "Da kita lihat wilayah Magelang ini penuh dengan hamparan sawah."

Berbagai kisah tentang Merapi dilukiskan oleh F.W Junghuhn tahun 1836. Dia menggambarkan gejolak gunung itu dalam enam gambar yang dibuat dalam dua edisi, yakni 1845 dan sekitar 1853.

Salah satu lukisannya menggambarkan Merapi dari lereng selatan dengan ketinggian sekitar 5.000 kaki. Dalam catatannya, Junghuhn menemukan tanaman Ulmus montana yang kini sudah tidak ada lagi atau tidak banyak ditemukan di Merapi.

"Ini menjelaskan momen pada saat itu, dan bagaimana terjadinya perubahan vegetasi akibat aktivitas merapi yang berkesinambungan," Ghamal berpendapat.

"Dan Junghuhn ini merekam termasuk vegetasinya, bagaimana atas, puncaknya, direkam, dan diambil dari dekat. Ini bagian yang sekarang kebanyakan orang melihatnya dari Google Earth. Tapi pada masa itu perlu upaya orang per orang untuk melihat supaya bisa tahu bagaimana bisa di situ dan morfologinya."

Salah satu lukisan Gunung Merapi yang jadi favorit Ghamal adalah karya Raden Saleh. Lukisan itu menampilkan Merapi yang sedang erupsi. Raden Saleh saat itu melukiskan kondisi erupsi pada 1865 dari jarak dekat bersama rombongan Residen Magelang H.J.C. Hoogeven. Dia melukis erupsi itu dari sampai pukul dua dini hari sehingga bisa menghasilkan dua buah gambar letusan Merapi di dua waktu berbeda.

Merapi, Erupsi Kala Siang, karya Raden Saleh pada 1865. (Raden Saleh/National Gallery Singapore)

Merapi, Erupsi Kala Malam, karya Raden Saleh pada 1865. (Raden Saleh/National Gallery Singapore)

Lukisan Raden Saleh dinilai imajinatif menurut seorang ahli geologi Leiden. Tetapi Hoogeven membela dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi kurang lebih seperti yang Raden Saleh gambarkan. Erupsi itu memang menghasilkan erupsi balistik, sehingga fenomena ini terdokumentasi dengan jelas oleh Raden Saleh.

Pada masa-masa setelahnya ada banyak lukisan tentang Gunung Merapi. Misalnya, ada Fredrik Kasenda di tahun 1930 yang saat itu lagi-lagi sedang erupsi. Berbeda dari yang lain, Fredrik Kasenda menampilkan kejadian itu dengan gaya seni bencana. Kira-kira ada belasan lukisan Merapi yang dibuat Fredrik Kasenda dari berbagai sudut.

Terakhir, yang ditampilkan Ghamal adalah lukisan Abdullah Suriosubroto sekitar 1930 hingga 1935. Lukisan itu menampilkan Merapi dengan asap yang keluar dari kawahnya dan tertiup angin.

    

Baca Juga: Johanna, Wanita yang Membuat Pelukis Vincent van Gogh menjadi Pesohor

Baca Juga: Lukisan Harimau Raden Saleh: Jejak Nestapa Satwa di Pulau Jawa

Baca Juga: Rahasia Tersembunyi di Bawah Permukaan Lukisan Periode Biru Picasso

Baca Juga: Misteri Hilangnya Lukisan Karya Kartini Saat Pusaran Geger 1965

    

Lukisan-lukisan yang dibuat para seniman ini, menurut Ghamal, adalah cara mereka memiliki sensitivitas terhadap alam. "Ini menjadi salah satu cara bagaimana letusan-letusan itu terjadi dan bagaiamana masyarakat pada masa itu yang berbeda dengan sekarang," ujarnya.

"Lukisan-lukisan ini sumbangan besar bagaimana kita memahami sejarah alam dan sejarah lingkungan di suatu wilayah yang kecil dalam peta dunia, tetapi tentunya besar artinya bagi banyak orang."

"Dan menjadi satu pengingat bahwa alam dan manusia di dalamnya juga itu berinteraksi. Kecenderungannya terus berubah, dan apa bila kita tidak sensitif dan tidak membuat pencatatannya, sehingga kita tergerus membuat kita tidak punya kemampuan untuk terlibat di dalamnya," tutup Ghamal.