Kenduri Sko, Ketika Kerinci Memandikan Naskah Melayu Tertua di Dunia

By National Geographic Indonesia, Selasa, 17 Mei 2022 | 16:44 WIB
Kehidupan warga yang tinggal di sekitar Danau Kerinci, Jambi. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Warga berkumpul di halaman masjid Al-Ikhsan Tanjung Tanah, remaja putri menari untuk menyambut tamu para tamu. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Hukum-hukum masyarakat Kerinci dari abad ke-14 terus berlanjut sampai hari ini dengan orientasi Islam. Keberlanjutan aturan ini diperkuat oleh Depati Talam Tua Wilayah Tiga Luhah Tanjung Tanah, Said Hanafi (68 tahun). Dia bercerita bahwa sebelumnya mereka tak tahu isi kitab itu apa. Namun setelah para peneliti menerjemahkan isinya, masyarakat menjadi sadar bahwa aturan-turan kemasyarakatan yang sehari-hari mereka laksanakan sama dengan aturan-aturan di dalam kitab itu.

“Aturan soal pertanahan, kebun, air dan lainnya semua masih berlaku sampai saat ini,” jelasnya.

Masyarakat masih berpegang teguh pada aturan adat walau mereka tidak pernah tahu bahwa sejatinya telah tertulis dalam kitab hukum pusaka yang mereka miliki sendiri. Bahkan, setelah orientasi keagamaan menjadi Islam, aturan adat itu semakin diperkuat lagi oleh pepatah-pepatah adat.

Pusaka atau Sko Depati Si Kumbang dibawa anggota keluarganya untuk menghadiri acara puncak Kenduri Sko. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Said mengatakan, “Sesuai pepatah adat mengatakan, adat wilayah Tiga Luhah Tanjung Tanah ini adat yang bersendi dengan sarak. Sarak yang mengatur maka adatlah yang memakai. Kalau batal menurut sarak maka salahlah menurut sepanjang adat. Ini yang dipakai anak jantan dan anak betino kito yang di wilayah Depati Tigo Luhah Tanjung Tano."

Dari waktu ke waktu, Kerinci mengalami perubahan peradaban. Junus Satrio Atmodjo, arkeolog senior yang hadir dalam acara kenduri, menjelaskan tentang peradaban Kerinci.

“Kalau kita lihat danau di belakang kita ini, danau terbentuk ribuan tahun yang lalu. Sebagai akibat dari letusan gunung yang sangat besar. Tetapi setelah gunung itu mati, danau itu menjadi suatu tempat yang khusus dalam dunia arkeologi.”

Para arkeolog menemukan banyak tinggalan arkeologi di sekeliling danau, imbuhnya. “Di antaranya tinggalan megalitik dari masa pra sejarah. Kemudian kita juga menemukan tinggalan megalitik yang mempunyai ciri klasik, yaitu ada sentuhan Hindu-Buddha nya,” terangnya lagi.

Menjadi menarik, bagaimana masyarakat yang tadinya bercorak megalitik menjadi bercorak klasik, mengenal agama Hindu dan Buddha. Padahal letak Kerinci begitu terpencil, berada di pedalaman Sumatra pada masa silam—bahkan pada masa sekarang sekalipun.

  

Baca Juga: Tiga Ayam Hitam dan Ayam Kuning Bagi Si Tak Kasat Mata dalam Tradisi Kerinci