Bagi para arkeolog, Kerinci adalah daerah istimewa karena mampu menjelaskan bagaimana peradaban itu berevolusi selama ribuan tahun. Dari masa-masa sebelum masehi sampai masa-masa masehi, masyarakat tetap tinggal di sini dan mengalami perubahan perlahan dan berganti-ganti.
Sehari sebelum kenduri, pusaka-pusaka peninggalan nenek moyang diturunkan dari tempat penyimpanannya. Kitab Hukum Tanjung Tanah pun dikeluarkan dari guci tempat penyimpanannya. Naskah melayu tertua di dunia itu pun siap “dimandikan”.
Said Hanafi, Depati Talam Tuo, memimpin upacara pemandiannya. Dia menggunakan air jeruk limau. Pemandian ini hanya sekedar istilah, faktanya naskah yang terbuat dari kulit kayu itu hanya disentuh oleh tangan Depati yang basah karena memeras jeruk limau yang telah disediakan. Hanya dibalur-balurkan, sekedar isyarat bahwa naskah ini terus dijaga dan dirawat oleh para pewarisnya.
Satu persatu halaman dibuka untuk “dimandikan”. Selain naskah itu ada juga naskah lontar yang beraksara Bali dan Sumatera Kuno. Selesai “dimandikan” semua pusaka kembali dibungkus dan dimasukan ke dalam guci kuno tempat penyimpanannya. Lima tahun lagi semua pusaka itu akan kembali dimandikan.
Ninie berkomentar, ”Saya tertarik untuk membaca naskah lontar beraksara Sumatra Kunonya.” Jiwa penelitinya meluap-luap. Sayangnya, upacara itu tidak menyediakan waktu untuk bisa membaca lontar itu dengan seksama.
Mungkinkah lontar itu berusia lebih tua dari Kitab Hukum Melayu?
Dia menjawab tegas, “Harus dibaca dulu.”
Kenduri Sko bukan sekedar pesta makan, melainkan pesta yang menghubungkan masyarakat kini dengan masyarakat masa lampau. Saat pusaka-pusaka peninggalan nenek moyang diturunkan dan “dimandikan”, inilah tradisi yang memuliakan para pendahulu Kerinci.
Kenduri Sko adalah merayakan kehidupan masa lalu dan masa kini, merayakan peradaan manusia yang terus bergulir di Kerinci.