Belanda Melempar Tahi di Kota Batavia, Lahirlah Tanah Betawi

By Utomo Priyambodo, Kamis, 19 Mei 2022 | 11:00 WIB
Perang di Batavia antara tentara Belanda dan tentara Mataram pada 1628. (Anonymous (engraver / etcher), Aart Dircksz Oossaan (publisher), Sander Wybrants (publisher))

Nationalgeographic.co.id—Tahi pernah menjadi "peluru" dalam perang paling jorok sedunia. Pelakunya adalah tentara Belanda di Kota Batavia yang kepepet karena kehabisan peluru saat menghadapi serangan mendadak dari balatentara Mataram.

Peristiwa pelemparan tahi ini dicatat oleh Seyger van Rechteren, pegawai Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), kongsi dagang Belanda. Seyger van Rechteren menyaksikan langsung persitiwa pelemparan tahu ini karena saat perang itu terjadi ia sedang berada di dalam benteng Maagdelijn, benteng yang terletak di bagian paling ujung Kota Batavia.

Pada awal abad 17 tentara Mataram dua kali melakukan penyerangan ke Batavia untuk merebut kota ini dari tangan Belanda. Serangan pertama terjadi pada 1628 namun tidak berhasil. Kemudian mereka melakukan serangan kedua pada 1629. Serangan tentara Mataram kali ini cukup dahsyat sehingga membuat repot tentara Belanda.

"Kala itu, benteng Maagdelijn yang letaknya di sudut kota dikepung, kemudian dihujani meriam dan api. Pasukan Mataram juga menyeberangi parit dan menaiki tembok benteng dengan menggunakan tangga dan tali rotan. Boleh dikatakan, berkat gerak cepat dan taktis, mereka hampir menguasai benteng pertahanan Belanda itu," tulis Zaenuddin HM dalam buku Kisah-Kisah Edan Seputar Djakarta Tempo Doeloe.

"Serbu, serbu...! Ayo kita kuasai benteng ini. Ayo kita rebut Kota Batavia. usir Belanda!" teriak para tentara Mataram saat tiba di Kota Batavia. Dalam sekejap mereka sudah berada di depan benteng tempat tentara Belanda bertahan.

Di benteng tersebut, serdadu Belanda hanya tinggal 15 orang dan tanpa sebutir peluru pun, kecuali mesiunya. Mereka gemetaran, sangat takut. Mereka berpikir pastilah habis diganyang tentara Mataram.

Dalam situasi yang terjepit bahkan kritis itu, seorang tentara Belanda tiba-tiba mendapat ide. Dia berlari mengambil tahi dengan sebuah panci. Lalu dia menumpahkannya ke bawah, ke arah tentara Mataram. Praaak...! Kotoran itu pun menimpa kepala, muka dan bahkan sebagian tubuh mereka.

Aksi tentara Belanda itu segera ditiru oleh teman-temannya. "Mereka mengambil tahi, entah dari mana. Tahi itu dilempar ke pihak musuh," catat Zaenuddin.

Lantaran tidak tahan dengan baunya, balatentara Mataram berusaha menghindar, lari kocar-kacir dan langsung menghentikan serangannya. Selamatlah benteng itu dari pengepungan.

Tahi yang bau itu telah menjadi "peluru" yang sangat ampuh bagi belasan tentara Belanda. Terbukti para tentara Mataram dibuat lari kocar-kacir.

  

Baca Juga: Misteri Meriam 'Cabul' Si Jagur yang Dipakai Belanda di Batavia

Baca Juga: Ketika Orang-Orang Belanda Minum Air Bekas Mandi Warga Batavia

Baca Juga: Catatan Kelam Batavia, Sepuluh Ribu Orang Tionghoa Dibantai Kompeni

Baca Juga: Kesaksian Prajurit Mataram Juluki Batavia Sebagai 'Kota Tahi'

Para tentara Mataram tak tahan dengan bau tahi itu. Mereka berlari sambil berteriak, "Mambet tahi! Mambet tahi!" (Artinya: Bau tahi! Bau tahi!).

"Konon, dari teriakan itulah kemudian muncul istilah sekaligus lahir nama 'Betawi'. Secara bergurau, banyak pula orang mengatakan bahwa itulah asal-muasal tanah Betawi," tulis Zaenuddin.

Lantaran peristiwa pelemparan tahi itu, Batavia juga pernah mendapat julukan sebagai "Kota Tahi". Kota yang di sebagian wilayahnya berserakan kotoran manusia.

Bahkan F de Haan, penulis buku Oud-Batavia yang terkenal itu, menyebutkan bahwa pada tahun 1899, jalan di sebelah barat (bekas) benteng Holandia yang bernama "Buiten Kaaimans Straat" oleh penduduk setempat disebut Gang Tahi. Sungguh aneh, kotoran manusia seakan menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Jakarta.