Perubahan Iklim dan Naiknya Suhu Kyoto Bikin Sakura Mekar Lebih Awal

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 25 Mei 2022 | 13:00 WIB
Di Kuil Kyoto Hirano, Jepang, pemandangan mekarnya bunga sakura di musim semi pada malam hari sepert (Zika Zakiya)

Nationalgeographic.co.id—Tahun lalu, Japan Meteorological Agency melaporkan bahwa puncak mekarnya bunga sakura lebih cepat 10 hari yakni pada 26 Maret 2021. Laporan ini mengubah rekor waktu pemekaran di Kyoto, Jepang, dalam 1.200 tahun. Sementara tahun ini tanggal berbunganya diumumkan jatuh pada 1 April 2022 silam.

Sebuah studi terbaru di jurnal IOPScience Environmental Research Letters yang dipublikasikan 16 Mei 2022, menyebut, mekarnya bunga sakura telah bergeser lebih awal akibat perubahan iklim. Mereka menulis, bunga sakura di Kyoto mekar 11 hari lebih awal kecuali tanpa efek perubahan iklim yang didorong oleh manusia atau pemanasan perkotaan.

Bahkan, kondisi keduanya justru membuka kemungkinan akan membuat mekarnya sakura 15 kali lebih mungkin untuk lebih awal daripada biasanya. Makalah penelitian itu berjudul Human influence increases the likelihood of extremely early cherry tree flowering in Kyoto, ditulis oleh Nikolaos Christidis, ilmuwan iklim Met Office bersama rekan-rekannya.

"Penelitian kami menunjukkan bahwa tidak hanya perubahan iklim yang disebabkan manusia dan pemanasan perkotaan yang telah memengaruhi tanggal berbunga sakura di Kyoto, tetapi tanggal berbunga yang sangat awal, seperti di 2021," ujarnya di dalam rilis Met Office.

"Sekarang diperkirakan 15 kali lebih mungkin, dan diperkirakan terjadi setidaknya sekali dalam satu abad. Peristiwa seperti ini diproyeksikan terjadi setiap beberapa tahun pada tahun 2100 ketika tidak lagi dianggap ekstrem."

Mereka mendapati, selama ini suhu rata-rata bulan Maret di pusat kota Kyoto mengalami peningkatan beberapa derajat sejak periode pra-industri. Semua disebabkan perubahan iklim, dan aktivitas industri menyebabkan pemanasan perkotaan.

Manusia juga memengaruhi tanggal berbunga penuh. Christidis dan tim mengidentifikasi lewat iklim alami dibandingkan dengan iklim saat ini. Iklim alami itu dimodelkan lewat komputer yang menghilangkan emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia.

Hasilnya, tim mengungkapkan, peningkatan suhu rata-rata Maret di Kyoto menyebabkan tanggal berbunga berpindah 11 hari lebih awal. Efek dari manusia yang menyebabkannya adalah emisi gas rumah kaca dan pemanasan perkotaan.

Penilaian pengaruh pemanasan perkotaan dilakukan dari stasiun cuaca pusat di kota Kyoto. Para peneliti membandingkan kondisi di kota dengan kawasan lain di sekitarnya, seperti pedesaan Kameoka (di barat kota Kyoto).

Ternyata, suhu di kedua lokasi mulai berbeda setelah tahun 1940-an. Pusat Kyoto jauh lebih cepat memanas dibandingkan lokasi pedesaan. Data itu menunjukkan, kedua lokasi stasiun itu mendapati tanggal berbunga penuh yang semakin awal setelah perbedaan suhu. Hal itu menunjukkan pengaruh perubahan iklim yang sedang berlangsung.

"Setelah memperhitungkan bias pemanasan kota saat ini di Kyoto dan memperkirakan tanggal mekar penuh yang dipengaruhi oleh pemanasan iklim, kami menemukan bahwa pengaruh manusia telah memajukan tanggal berbunga penuh sekitar 11 hari," ujar Yasuyuki Aono, rekan peneliti dari Osaka Metropolitan University.

   

Baca Juga: Menguak Ninja di Jepang: Artefak Senjatanya Berusia 430 Tahun

Baca Juga: Histori Kengerian Imbas dari Laut Jepang yang Tercemar Merkuri

Baca Juga: Perubahan Iklim Cenderung Mengurangi Jumlah Tidur Orang per Tahun

Baca Juga: Akibat Perubahan Iklim, Pepohonan Tropis Mati Dua Kali Lebih Cepat

  

"Mekarnya bunga sakura musim semi adalah peristiwa budaya yang signifikan di Jepang. Di Kyoto, tanggal mekar penuh bunga sakura telah diteliti sejak sekitar 1.200 tahun yang lalu, dan tanggal mekarnya pada tahun 2021 adalah yang paling awal diketahui dalam catatan," lanjutnya.

"Penelitian ini mendemonstrasikan penerapan baru dari rangkaian data fenologi bunga yang sudah berjalan lama di Kyoto."

Kyoto adalah salah satu kota di Jepang yang sangat menarik dikunjungi turis, terutama untuk melihat mekarnya bunga sakura atau hanami. Kota ini sudah mempertimbangkan tentang perubahan iklim lewat pemberlakuan Protokol Kyoto pada bulan Desember 1997 yang bertujuan mengurangi timbulnya pemanasan global dengan mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

Hanami dirayakan lewat festival ikonis di musim semi Jepang. Memahami waktu mekarnya bisa berpengaruh pada Jepang untuk ekonomi lokal yang biasanya ramai pada festival ini. Selain itu, memahami kepekaan fenologi pohon terhadap kenaikan suhu juga punya efek langsung yang bisa dirasakan oleh pertanian tanaman dan pengelolaan lahan di negara ini, terang para peneliti.