Penyakit Kelamin Menjangkiti Kekuatan Militer Hindia Belanda

By Galih Pranata, Selasa, 14 Juni 2022 | 11:00 WIB
Potret Nyai di antara para serdadu militer Hindia Belanda. (Flip Peeter.s)

Para serdadu Hindia Belanda di Deli. (KITLV)

Pada akhirnya, perilaku seks bebas ini diketahui para pejabat tinggi militer hingga ke kalangan atas pemerintah Hindia Belanda. Akibatnya, dikeluarkan kebijakan yang melarang tinggal satu atap secara tidak resmi dengan para Nyai.

"Dikeluarkannya ancaman akan adanya sanksi penundaan kepangkatan bagi para anggota militer yang ketahuan melakukan pelanggaran tersebut," terusnya.

Nahas, penindakan tegas itu terlalu lamban disadari. Para anggota militer bawahan sudah kepalang terinfeksi penyakit kelamin

Sebagaimana dilaporkan dalam surat Residen Menado pada tanggal 13 Juli 1889 No. 1321 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, di dalam surat tersebut dituliskan bahwa: "Residen Menado memberitahukan ada banyak orang terkena penyakit Syphilis sebagai akibat dari merajalelanya prostitusi yang dilakukan baik oleh pribumi maupun bangsa timur asing di daerah Gorontalo."

      

Baca Juga: Melongok Taman Sriwedari Sebagai Hiburan Jawa Zaman Hindia Belanda

Baca Juga: Trayek Semarang-Vorstenlanden Awal Sejarah Kereta Api Hindia Belanda

Baca Juga: Pembentukan Cagar Alam Semasa Hindia Belanda oleh S.H. Koorders

Baca Juga: Jasa Wiranatakusumah V Bagi Perfilman Pribumi di Zaman Hindia Belanda

      

Dalam akhir laporannya juga disebutkan: "Jumlah penderita yang harus dirawat setiap hari adalah 20 orang wanita tunasusila pada tanggal 26 Juni telah diadakan pemeriksaan kesehatan terhadap 22 orang wanita dan 17 di antaranya positif mengidap Syphilis."

Tak hanya di Manado, ternyata perilaku seks bebas dan infeksi penyakit kelamin juga terjadi di hampir seluruh wilayah di Hindia Belanda. Banyaknya penderita penyakit kelamin di kalangan anggota militer Hindia Belanda, membuktikan bahwa penyakit kelamin yang terjadi sepanjang abad 19 bukanlah hal yang sepele.

Pejabat tinggi militer Hindia Belanda melalui Algemeene Rekenkamer, memohonkan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mengeluarkan sejumlah biaya untuk menyembuhkan para serdadu dan mengasingkan para Nyai yang terinfeksi jauh dari barak mereka.

Hingga memasuki abad ke-20, secara perlahan, banyak tentara yang mulai sembuh dari penyakitnya, meskipun yang lebih ironi, banyak diantara mereka juga yang tewas akibat infeksinya.