Nationalgeographic.co.id—Keberadaan kekuatan militer selalu menjadi tolok ukur kekuatan bagi sebuah negara. Begitupun dengan negara Hindia Belanda yang tidak akan pernah lepas dari pengaruh kekuatan militernya.
Namun, berbeda halnya yang terjadi di Hindia Belanda sepanjang abad ke-19 hingga abad ke-20. Sebuah penyakit kelamin dengan cepat menyebar kepada para anggota militer.
Lucia Arter Lintang Gritantin menulis dalam Jurnal Cakrawala Ilmiah berjudul Masuknya Prostitusi dan Keberadaan Penyakit Kelamin di Kalangan Militer Hindia Belanda yang terbit pada tahun 2022.
Dalam jurnalnya, Lucia menyebut bahwa "salah satu penyakit yang menyerang selama berada di daerah perang adalah penyakit yang berasal dari virus penyakit kelamin."
"Virus-virus yang menjangkiti kalangan militer itu seperti Herpes, Syphilis, Morbiveneris dan beberapa penyakit kelamin lainnya," lanjutnya.
Penyakit yang timbul dari virus ini banyak ditemukan di lingkungan sosial militer. Baik virus yang dibawa dari lingkungan sosial selama bertugas di daerah, maupun lingkungan sosial di dalam barak.
Jika ditarik dari akar historisnya, penyakit ini dapat bersumber dari Staatsblad tahun 1872, No. 62 yang berisi izin untuk kontrak perkawinan secara legal.
Dalam kebijakannya, pemerintah Hindia Belanda hanya memberikan izin kontrak perkawinan kepada anggota setaraf Sersan Mayor, semua anggota militer yang dipertimbangkan untuk masuk dalam prajurit tetap, dan NCOs dan tentara tingkat bawah yang mendapat izin jenderal.
Dari munculnya kebijakan tersebut, bagi golongan militer yang tidak diberikan izin menikah legal akan menempuh jalan untuk mendapat pernikahan secara tidak legal. Tidak adanya pengawasan langsung dari pemerintah, dengan mudah membawa para gundik atau Nyai masuk ke barak militer mereka.
Lahirnya para gundik pribumi di Hindia Belanda juga berkaitan erat dengan fenomena kemelaratan rakyat kelas bawah. Mereka ada karena gejolak sosial yang terhimpit urusan ekonomi.
"Kenyataan mengenai kemiskinan inilah yang pada akhirnya melahirkan banyak wanita tunasusila di Hindia Belanda atau menjadi seorang Nyai bagi para lelaki Eropa yang bisa memberikan kehidupan yang layak dan berkecukupan secara ekonomi," imbuh Lucia.
Melalui peraturan tersebut maka kegiatan seks terselubung wanita tunasusila dan para prajurit militer tingkat bawah semakin tidak terbendung dan memprihatinkan.
Pada akhirnya, perilaku seks bebas ini diketahui para pejabat tinggi militer hingga ke kalangan atas pemerintah Hindia Belanda. Akibatnya, dikeluarkan kebijakan yang melarang tinggal satu atap secara tidak resmi dengan para Nyai.
"Dikeluarkannya ancaman akan adanya sanksi penundaan kepangkatan bagi para anggota militer yang ketahuan melakukan pelanggaran tersebut," terusnya.
Nahas, penindakan tegas itu terlalu lamban disadari. Para anggota militer bawahan sudah kepalang terinfeksi penyakit kelamin.
Sebagaimana dilaporkan dalam surat Residen Menado pada tanggal 13 Juli 1889 No. 1321 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, di dalam surat tersebut dituliskan bahwa: "Residen Menado memberitahukan ada banyak orang terkena penyakit Syphilis sebagai akibat dari merajalelanya prostitusi yang dilakukan baik oleh pribumi maupun bangsa timur asing di daerah Gorontalo."
Baca Juga: Melongok Taman Sriwedari Sebagai Hiburan Jawa Zaman Hindia Belanda
Baca Juga: Trayek Semarang-Vorstenlanden Awal Sejarah Kereta Api Hindia Belanda
Baca Juga: Pembentukan Cagar Alam Semasa Hindia Belanda oleh S.H. Koorders
Baca Juga: Jasa Wiranatakusumah V Bagi Perfilman Pribumi di Zaman Hindia Belanda
Dalam akhir laporannya juga disebutkan: "Jumlah penderita yang harus dirawat setiap hari adalah 20 orang wanita tunasusila pada tanggal 26 Juni telah diadakan pemeriksaan kesehatan terhadap 22 orang wanita dan 17 di antaranya positif mengidap Syphilis."
Tak hanya di Manado, ternyata perilaku seks bebas dan infeksi penyakit kelamin juga terjadi di hampir seluruh wilayah di Hindia Belanda. Banyaknya penderita penyakit kelamin di kalangan anggota militer Hindia Belanda, membuktikan bahwa penyakit kelamin yang terjadi sepanjang abad 19 bukanlah hal yang sepele.
Pejabat tinggi militer Hindia Belanda melalui Algemeene Rekenkamer, memohonkan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mengeluarkan sejumlah biaya untuk menyembuhkan para serdadu dan mengasingkan para Nyai yang terinfeksi jauh dari barak mereka.
Hingga memasuki abad ke-20, secara perlahan, banyak tentara yang mulai sembuh dari penyakitnya, meskipun yang lebih ironi, banyak diantara mereka juga yang tewas akibat infeksinya.