Nationalgeographic.co.id—Peradaban besar Yunani kuno dan Romawi terkenal karena banyak hal seperti seni, arsitektur, sastra, politik, filsafat. Di luar itu, budaya klasik juga dibentuk oleh beragam hal pribadi dan intim.
Salah satu yang paling kompleks dan kontroversial adalah inses. Bagaimana bangsa Yunani dan Romawi memandang praktik inses dalam budaya mereka?
Arti kata inses
Meski kata inses berasal dari bahasa Latin, orang Yunani tidak mengenal istilah itu. Hubungan seksual antar keluarga disebut dengan istilah yang lebih halus yaitu gamos anosios atau gamos asebes. Secara harfiah, istilah tersebut berarti 'persatuan yang tidak suci'.
Dari Romawi, muncul istilah modern 'incest', yang berasal dari kata Latin 'incestum'. Artinya tidak murni karena mengacu pada keseluruhan aktivitas seksual yang dianggap melanggar batas moral, agama, atau hukum.
Inses sebagai inti dari kisah penciptaan klasik
Seperti semua orang tahu, raja para dewa dalam mitologi Yunani kuno adalah Zeus, menikah dengan dewi Hera. Baik Zeus dan Hera adalah anak-anak dari Titans Cronus dan Rhea, yang juga bersaudara.
Jalinan inses para dewa dan dewi ini tidak berhenti di situ. Sudah menjadi hal yang lumrah dalam agama Yunani dan Romawi jika para dewa melakukan hubungan seksual yang aneh. Misalnya dengan saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, ayah, bibi, dan paman mereka.
Meski ini lazim, dewa-dewa klasik bukanlah model moralitas dan kebaikan. Sebaliknya, mereka adalah karakter independen dengan kekuatan dan sifat buruknya. Untungnya, baik orang Yunani maupun Romawi tidak berniat untuk meniru tindakan buruk para dewa.
Beberapa bentuk inses bahkan diizinkan oleh hukum Yunani dan Romawi
Hukum di Athena dan Sparta mengizinkan masyarakat untuk menikahi saudara kandung mereka. Sementara di Romawi, tidak jarang paman menikahi keponakan perempuan. Aturan ini disahkan setelah Kaisar Claudius menikahi putri saudara laki-lakinya, Agripina.
Namun perlu diingat, meski tidak dilarang oleh hukum, bukan berarti inses dipraktikkan secara luas atau diterima secara sosial.
Secara umum, pernikahan di dunia kuno dipandang sebagai urusan pribadi antara dua keluarga. Pernikahan juga sering digunakan untuk bernegosiasi, menjalin aliansi, dan mendapatkan kekuasaan. Akibatnya, negara tidak ikut campur secara langsung dalam pengaturan dan bahkan bersedia mengabaikan serikat insestum tertentu.
Umumnya, inses dianggap sebagai tindakan jahat
“Meski diperbolehkan secara hukum, masyarakat memandang inses sebagai hal yang negatif,” ungkap Mia Forbes dilansir dari laman The Collector.
Hubungan seksual antara orang tua dan anak dikutuk secara luas. Dicontohkan oleh Oedipus, inses seringkali merusak reputasi seseorang. Orang zaman kuno memiliki firasat bahwa keturunan dari dua kerabat kemungkinan akan memiliki kelemahan.
Untuk alasan ini, Socrates mengutuk hubungan antara orang tua dan anak, meskipun ia mengutip bahwa perbedaan usia sebagai penyebab utama kekhawatiran.
Ada juga yang setuju bahwa inses dilarang oleh hukum para dewa yang tak terucapkan. Plato berpendapat bahwa perempuan cantik dilindungi dari nafsu anak laki-laki, saudara laki-laki atau ayah mereka oleh 'hukum tidak tertulis'.
Dengan beberapa pengecualian penting, inses dianggap sangat salah sehingga negara bahkan tidak perlu membuat undang-undang yang melarangnya.
Inses dipandang sebagai hal yang membedakan antara orang beradab dan barbar
Tulisan sejarawan abad keenam Sebelum Masehi, Herodotus, membedakan antara beradab dan barbar. Menurutnya, dunia barat dianggap beradab dan berbudi luhur dan budaya barbar berlaku di timur.
Baik Romawi maupun Yunani menganggap wilayah mereka sendiri jauh lebih unggul daripada wilayah sekitarnya. Ketika Romawi mulai memperluas wilayah kekuasaanya, hubungannya dengan Mesir makin kompleks. Dengan tanahnya yang subur, Mesir menjadi ‘lumbung’ Romawi.
Namun dinasti Ptolemeus yang kuat memegang peranan penting dalam ekspansi Romawi itu. Keluarga Ptolemy terkenal mempraktekkan inses dalam bentuk pernikahan saudara kandung. Cleopatra menikah dengan saudara laki-lakinya sendiri.
Baca Juga: Bagaimana Orang Romawi Mengartikan Kemunculan Komet dan Meteor?
Baca Juga: Aurelianus, Kaisar Penyelamat Romawi yang Dilupakan oleh Sejarah
Baca Juga: Penelitian Ungkap Bagaimana Aktivitas Orang Romawi Cemari Atmosfer
Baca Juga: Bangsa Romawi Percaya Cermin Pecah Bisa Membawa Petaka, Apa Alasannya?
Fakta ini dimanfaatkan oleh bangsa Romawi untuk menunjukkan bahwa Mesir merupakan bangsa biadab, terbelakang dan rendah. Penyair Lucan, misalnya, menggambarkan bagaimana Cleopatra datang untuk mengendalikan saudara laki-lakinya melalui seks.
Dengan cara ini, orang Romawi menggunakan inses untuk menaikkan ‘derajat’ mereka dari saingannya.
Tuduhan inses merusak reputasi orang
“Tidak hanya pada orang asing, tuduhan inses juga dapat dilontarkan pada orang sebangsa,” Forbes menambahkan. Banyak 'kaisar jahat' Romawi menghadapi fitnah inses. Kaisar Caligula, misalnya, dituduh memiliki perasaan yang penuh gairah terhadap saudara perempuannya Drusilla. Sementara Kaisar Nero dikabarkan menyentuh mayat ibunya sendiri secara tidak pantas.
Fakta atau rumor belaka, anekdot-anekdot ini menyiratkan bahwa inses dipandang sebagai tabu sosial yang utama saat itu.
Pengacara abad ke-1 Sebelum Masehi, Marcus Tullius Cicero, pun menggunakan inses untuk menyerang lawannya. Cicero membela Caelius muda dari tuduhan pembunuhan yang diajukan jaksa, di antaranya adalah Clodius Pulcher.
Tidak hanya membela kliennya, Cicero pun menyerang karakter Clodius dan Clodia, adiknya. Salah satu cercaan terbaiknya menyiratkan bahwa dua saudara kandung terlibat dalam inses. Ini karena orator secara tidak sengaja mencampuradukkan kata 'suami' dan 'saudara' ketika mendiskusikan hubungan mereka.
Meski diperbolehkan hukum Romawi, ditulis dalam puisi dan drama, inses menjadi kontroversi dalam kehidupan nyata.