Jejak Raja Islam di Imogiri Tak Lepas dari Budaya Jawa-Hindu

By Galih Pranata, Minggu, 19 Juni 2022 | 08:00 WIB
Masjid Pajimatan Imogiri atau Masjid Sultan Agung Hanyokrokusumo adalah masjid yang terletak di Desa Pajimatan, Kelurahan Wukirsari, Kecamatan Imogiri yang bernuansa Jawa klasik. (Fandy Aprianto Rohman/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id"Makam para raja," begitulah yang dikenal masyarakat Yogyakarta untuk menyebut Imogiri. Identitas budaya berkembangnya Islam di Jawa begitu kental terasa.

Imogiri menjadi tempat peristirahatan terakhir para raja-raja besar Mataram. Tak heran jika banyak orang mengenalnya sebagai makam para raja. Meskipun disebut sebagai makam raja-raja Islam dari Mataram, tetap saja terdapat aura Hindu melingkupinya.

"Pemakaman Raja terletak di bukit yang dapat diakses dengan menaiki ratusan anak tangga," tulis Nindyasti Dilla Hilmaya pada Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 berjudul "Pengaruh Budaya Jawa-Hindu dalam Kompleks Makam Imogiri, Yogyakarta" terbitan 2017.

Pemakaman ini dibangun pada tahun 1632, pada masa Sultan Mataram III Prabu Hanyokrokusumo. Arsitek dari Kompleks Makam Imogiri ini adalah Kyai Tumenggung Citrokusumo.

Pada tahun 1629–1640 M, Sultan Agung membangun Kompleks Makam Girilaya, yaitu kompleks makam yang rencananya dikhususkan bagi raja-raja Mataram.

Dalam hal ini Sultan menunjuk pamannya sendiri, yaitu Panembahan Juminah, putera ke-18 dari Panembahan Senopati untuk melakukan pengawasan dalam pembuatan makam tersebut.

Namun Panembahan Juminah wafat di tengah tugasnya melakukan pengawasan sehingga makam di Girilaya tersebut dijadikan makam untuk Panembahan Juminah. Dengan demikian, Sultan Agung membangun kompleks makam untuk raja di puncak bukit Imogiri.

Di kompleks pemakaman Imogiri juga menjadi makam para raja besar Mataram Islam hingga pecahnya menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Makam rajanya terdiri dari makam Sultan Agung, Amangkurat IV, Susuhunan Pakubuwana I, hingga Hamengkubuwana IX.

"Adapun sejarah mengenai pemilihan lokasi makam dan pembangunannya yang berkaitan dengan sejarah dalam Kerajaan Mataram Islam," imbuh Nindyasti.

Dalam folklor yang berkembang di masyarakat, "konon, saat Sultan Agung sedang mencari tanah yang akan digunakan untuk tempat pemakaman khusus sultan dan keluarganya, beliau melemparkan segenggam pasir dari Arab," lanjutnya.

Pasir tersebut dilempar jauh hingga akhirnya mendarat di Pajimatan Girirejo dan di situlah tempat yang dipilih sultan untuk membangun makam raja.

 Baca Juga: Riwayat Sewa Tanah Keraton Yogyakarta Penyulut Perang Dipanagara

 Baca Juga: Kesenian Ketoprak: Dari Surakarta ke Yogyakarta untuk Semua Warga

 Baca Juga: Sang Sultan dan Tamansari dalam Catatan Perempuan Eropa Abad Ke-19

Penempatan lokasinya yang terletak diperbukitan juga cenderung mengadopsi kebudayaan Hindu yang menempatkan bukit sebagai tempat suci yang dekat dengan sang pencipta.

Budaya Jawa-Hindu terasa begitu kental terasa di dalam Kompleks Makam Imogiri. Terlebih dengan suasana magis karena kompleks makam ini dianggap suci dan dikeramatkan atau sakral.

Gambar tangga Imogiri yang diambil di samping masjid pemakaman (sebelah kiri) pada saat wafatnya Pakubuwana X tahun 1940-an. (TROPENMUSEUM COLLECTION)

Menurut Nindyasti, "arsitektur makam yang menerapkan gaya arsitektural Jawa seperti candi Hindu, juga membuat suasana makam Islam terlalu minor dibandingkan dengan suasana kental Jawa-Hindu."

Hal itu tidak lepas dari adanya air suci empat tempayan yang didapat dari pengaruh Sriwijaya yang kemudian digunakan Sultan Agung untuk berwudhu.

Begitupun arsitektur Islam yang dapat dilihat dari masjid di sekitar kompleks makam, masih menggunakan konsep joglo yang sederhana, sesuai dengan budaya Jawa.