Nationalgeographic.co.id - Jika Anda pernah menonton film fiksi ilmiah terkait penjelajahan alam semesta, wahana antariksanya bisa menyokong makanan. Makanan mereka bisa bertahan dan diproduksi berkat ilmu pengetahuan untuk menumbuhkan tanaman di kondisi minim cahaya matahari.
Sekelompok ilmuwan baru-baru ini berhasil mengembangkan fotosintesis buatan. Fotosintesis itu berhasil bekerja tanpa sinar cahaya matahari. Mungkin, di masa depan, film-film fiksi ilmiah itu bisa jadi kenyataan untuk mewujudkan penjelajahan alam semesta.
"Bayangkan suatu hari nanti kapal raksasa menanam tanaman tomat dalam kegelapan dan di Mars—seberapa jauh lebih mudah bagi orang Mars di masa depan?" kata rekan penulis Martha Orozco-Cárdenas, direktur University of California Riverside Plant Transformation Research Center.
Laporan mereka dipublikasikan di jurnal Nature Food pada Kamis, 23 Juni 2022. Penelitian itu berjudul "A hybrid inorganic–biological artificial photosynthesis system for energy-efficient food production".
"Kami mampu menumbuhkan organisme penghasil makanan tanpa kontribusi apa pun dari fotosintesis biologis. Biasanya, orangisme ini dibudidayakan pada gula yang berasal dari tanam atau input yang berasal dari minyak bumi—yang merupakan produk fotosintesis biologis yang berlangsung jutaan tahun yang lalu," kata Elizabeth Hann, penulis pertama dalam makalah.
"Teknologi ini adalah metode yang lebih efisien untuk mengubah energi matahari jadi makanan, dibandingkan dengan produksi makanan yang mengandalkan fotosintesis biologis."
Manfaatnya di masa depan, teknologi ini bisa membantu pertanian yang mengandalkan matahari. Beberapa tanaman bisa ditanam berdasarkan musiman, misalnya di belahan bumi luar ekuator tidak selalu punya intensitas matahari yang baik.
Belum lagi bencana seperti kekeringan, banjir, dan pengurangan lahan, bisa menjadi ancaman bagi ketahanan pangan global jika kekurangan sumber daya.
Baca Juga: Fosil Tanaman Berusia 55 Juta Tahun Ungkap Wilayah Kutub Dulu Hijau
Baca Juga: Koloni Tanaman Terbesar di Bumi, Usianya Bahkan Ribuan Tahun
Baca Juga: Berkah di Balik Limbah: Pengawetan Buah-buahan Lewat Kitosan
Baca Juga: Inovasi Panel Surya Guna Memecahkan Masalah Energi dan Pangan
“Menggunakan pendekatan fotosintesis buatan untuk menghasilkan makanan bisa menjadi perubahan paradigma tentang cara kita memberi makan orang,” kata penulis koresponden Robert Jinkerson, seorang asisten profesor teknik kimia dan lingkungan di University of California Riverside, dikutip dari rilis.
“Dengan meningkatkan efisiensi produksi pangan, lebih sedikit lahan yang dibutuhkan, mengurangi dampak pertanian terhadap lingkungan. Dan untuk pertanian di lingkungan non-tradisional, seperti luar angkasa, peningkatan efisiensi energi dapat membantu memberi makan lebih banyak anggota kru dengan input yang lebih sedikit.”
Penelitian itu menggunakan proses elektrokaltalitik dua langkah untuk mengubah karbon dioksida, listrik, dan air menjadi asetat yang merupakan komponen utama cuka. Asetat ini kemudian dikonsumsi organisme penghasil makanan dalam gelap untuk bisa tumbuh.
Listrik kemudian menyalakan elektrokatalisis. Sistem organik-anorganik ini dapat meningkatkan efisiensi konversi sinar matahari menjadi makanan hingga 18 kali lebih efisien untuk beberapa makanan.
"Dengan pendekatan kami, kami berusaha mengidentifikasi cara baru memproduksi makanan yang dapat menembus batas yang biasanya ditentukan oleh fotosintesis biologis," lanjut Jinkerson.
Hasil dari elektroliser dioptimalkan demi mendukung pertumbuhan organisme penghasil makanan. Elektroliser merupakan perangkat yang menggunakan listrik demi mengubah bahan baku seperti karbon dioksida jadi molekul dan produk yang berguna. Hasilnya pun meningkatkan jumlah asetat dan mengurangi jumlah garam.
Dari uji coba ini menunjukkan, berbagai organisme penghasil makanan ternyata dapat tumbuh dalam gelap, terutama ganggang hijau, ragi, dan miselium jamur.
Bahkan, teknologi ini dapat memproduksi ganggang empat kali lebih hemat energi daripada menumbuhkannya secara fotosintesis biasa. Dan pada ragi, sekitar 19 kali lipat lebih hemat energi dari biasanya dibudidayakan menggunakan gula yang diekstrasi dari jagung, terang para peneliti.
Selain ragi dan alga, teknologi berpotensi untuk dicoba pada tanaman lain yang juga diselidiki. Tanaman makanan seperti kacang tunggak, tomat, tembakau, beras, kanola, dan kacang hijau, punya kemampuan memanfaatkan karbon dari asetat ketika dibudidayakan dalam gelap.