Nationalgeographic.co.id—Pembantaian sekitar 300 pria, wanita, dan anak-anak Lakota oleh pasukan Angkatan Darat AS pada tahun 1890, menandai peristiwa tragis selama beberapa dekade dari konfrontasi antara Amerika Serikat dengan suku Indian.
"Setelah pemukim kulit putih (dari Eropa ke Amerika) membanjiri Wilayah Dakota setelah penemuan emas tahun 1874 di Black Hills, mereka menyita jutaan hektar tanah dan hampir memusnahkan populasi kerbau asli," tulis Christopher Klein kepada History.
Ia menulis dalam sebuah artikel yang berjudul "What Happened at the Wounded Knee Massacre?" yang terbit pada 13 Mei 2022.
Sepanjang tahun 1890, orang-orang Lakota (Suku Indian) mengalami kekeringan dan wabah campak, batuk rejan, dan influenza. "Orang Lakota sangat putus asa pada waktu itu," kata sejarawan Lakota Donovin Sprague, kepala departemen sejarah di Sheridan College kepada History.
Di tengah kondisi yang sulit, orang-orang Lakota juga mendapat tekanan dari pemerintahan kulit putih yang menduduki Amerika Serikat. "Mereka kehilangan sejumlah besar tanah di bawah Undang-Undang Penjatahan Dawes tahun 1887," lanjut Donovin.
Lebih buruk lagi, pemerintah kulit putih telah melarang Tarian Matahari—ritus orang Lakota, yang merupakan upacara keagamaan terpenting mereka, dan diwajibkan untuk izin jika mereka akan bepergian.
Namun, di tengah kondisi sulit, mereka tidak tinggal diam. Orang Lakota mulai menginisiasi untuk melancarkan serangan lewat hal yang unik. Ialah Ghost Dance atau Tarian Hantu yang meresahkan orang-orang kulit putih.
Gerakan Ghost Dance yang pertama kali muncul di Nevada sekitar tahun 1870, mendapatkan popularitas di kalangan Lakota setelah kebangkitannya pada tahun 1889 oleh tokoh keagamaan, Paiute Wovoka.
"Penganutnya percaya bahwa peserta dalam tarian melingkar ritual akan mengantar masa depan utopis, di mana bencana alam akan menghancurkan Amerika Serikat, membasmi kolonis kulit putih dari benua," sambung Klein.
Saat gerakan Ghost Dance menyebar, para kolonis kulit putih yang ketakutan, percaya bahwa itu adalah awal dari pemberontakan bersenjata. Mereka menggambarkan bahwa orang Indian (Lakota) menari di salju dengan liar dan gila.
Baca Juga: Kisah Pembuatan Tiang Totem di Amerika Utara, Sempat Dianggap Berhala
Baca Juga: Kisah Nyata Kehidupan Pocahontas yang Tak Diungkap Film Animasi Disney
Baca Juga: Budaya Pamer Potlatch, Rela Bakar Rumah demi Suatu Pengakuan
Pemerintah akhirnya mengeluarkan larangan tarian itu dan mengerahkan pasukan bersenjata Angkatan Darat AS menuju Dakota, permukiman orang Lakota. Di tepi Wounded Knee, kavaleri bersenjata mengangkat moncong senjatanya.
Melihat tindakan Angkatan Darat yang mengepung permukiman Lakota, seorang dukun Lakota malah menggencarkan Ghost Dance untuk membendung penyerbuan kolonis kulit putih.
"Jangan takut, tapi kuatkan hatimu! Banyak tentara di sekitar kita dan memiliki banyak peluru, tetapi saya yakin peluru mereka tidak dapat menembus kita," ujar dukun tersebut.
Saat seorang tentara berusaha merebut senjata dari tangan seorang Lakota, sebuah tembakan tiba-tiba terdengar.
Tidak jelas pihak mana yang menembak lebih dulu, tetapi dalam hitungan detik tentara Amerika meluncurkan badai peluru dari senapan, revolver, dan senjata cepat Hotchkiss yang merobek Lakota.
Anak laki-laki yang hanya beberapa saat sebelumnya bermain lompatan katak ikut ditembak dengan kejamnya. Melalui kepulan debu dan asap, para wanita dan anak-anak terjun untuk berlindung di bawah jurang.
"Ketika penembakan berhenti beberapa jam kemudian, mayat-mayat berserakan di jurang. Beberapa bernapas, sebagian besar tidak. Korban yang diburu saat mencoba melarikan diri ditemukan tiga mil jauhnya," pungkasnya.
Sedikitnya 150 orang Lakota (sejarawan seperti Sprague menyebutkan angkanya dua kali lebih tinggi, 300 orang) tewas bersama dengan 25 tentara Amerika.