Kesadisan Pertunjukan Paruh Waktu Romawi 'Damnatio ad Bestias'

By Sysilia Tanhati, Jumat, 8 Juli 2022 | 13:00 WIB
Agar penonton betah, pertunjukan paruh waktu 'damnatio ad bestias' yang sadis pun diselenggarakan. Di sini para tahanan diumpan ke binatang buas. (Henryk Siemiradzki/National Museum in Warsawa )

Nationalgeographic.co.id—Pertandingan gladiator menjadi salah satu hiburan favorit orang Romawi. Untuk membuat penonton tetap duduk di bangkunya, penyelenggara acara harus bisa memutar otaknya. Hewan buas pun akhirnya dimanfaatkan dengan cara yang tidak biasa: para tahanan dijadikan umpan untuk binatang buas. Kesadisan pertunjukan paruh waktu Romawi 'damnatio ad bestias' berhasil membuat penonton tetap berada di tempat duduknya.

Di tengah keramaian amfiteater, pintu jebakan di lantai arena dibuka. Singa, beruang, babi hutan, dan macan tutul bergegas masuk ke arena. Hewan-hewan kelaparan itu berlari ke arah para penjahat yang ketakutan. Yang tidak beruntung akan terlempar ke dalam kumpulan cakar dan gigi yang siap mencabik mangsa. Penonton tertawa kegirangan sambil memasang taruhan siapa yang pertama tewas.

Semua kalangan berbondong-bondong menyaksikan pertandingan gladiator

Setiap hari Minggu, semua orang Romawi berbondong-bondong menuju ke amfiteater. Kaya dan miskin, pria dan wanita, anak-anak dan elit bangsawan menyukai hal yang sama. Mereka semua ingin menyaksikan tontonan unik yang dijanjikan kepada penontonnya.

“Bagi para penyelenggara, pertunjukkan gladiator atau pertandingan balap kereta menjadi simbol kekuatan, uang, dan peluang,” ungkap Cristin O'Keefe Aptowicz di laman Live Science. Politisi dan bangsawan mengeluarkan banyak uang untuk menjadi sponsor di sini. Tujuannya untuk mendapatkan dukungan publik.

Semakin ekstrim dan fantastis tontonannya, maka makin populer pertunjukan itu. Pertandingan dapat memengaruhi reputasi penyelenggaranya. Maka pihak penyelenggara harus menyusun acara dengan sebaik mungkin.

Namun tidak semua orang menikmati duduk di bawah terik matahari. Untuk membuat mereka duduk dengan manis di kursi penonton, pertunjukan khusus disediakan. Penuh darah, pertunjukan paruh waktu ini dikenal sebagai damnatio ad bestias, penghukuman oleh binatang buas.

Berawal dari penghormatan kepada orang mati

Dimulai pada 242 Sebelum Masehi ketika dua bersaudara memutuskan untuk merayakan hidup sang Ayah. Mereka memerintahkan budak untuk bertarung sampai mati.

Cara baru untuk memberi penghormatan kepada orang mati (munera) ini pun dengan cepat menarik hati orang Romawi. Segera, masyarakat kaya lainnya mulai memasukkan pertarungan budak ini ke dalam munera mereka. Praktek ini berkembang dari waktu ke waktu menjadi pertandingan gladiator.

Pada tahun 189 Sebelum Masehi, seorang konsul bernama M. Fulvius Nobilior memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Selain pertandingan gladiator, ia memperkenalkan aksi binatang juga. Di sini, manusia akan bertarung dengan singa dan macan kumbang sampai mati. Perburuan besar-besaran bukanlah bagian dari budaya Romawi. Bangsa Romawi hanya menyerang hewan besar untuk melindungi diri sendiri, keluarga atau ladang mereka.

Nobilior menyadari bahwa pertunjukan hewan melawan manusia akan menarik minat orang Romawi. Dan rencananya pun berhasil.

Dengan lahirnya ‘program hewan’ pertama, sebuah tonggak sejarah yang tidak menyenangkan dicapai dalam evolusi pertandingan Romawi. Di sini, manusia menghadapi sekawanan binatang buas yang kelaparan. Pada saat yang bersamaan, penonton tertawa sambil meneriakkan yel-yel. Kematian seorang penjahat sebanding dengan nilai hiburan yang ditunjukkan lewat pertandingan paruh waktu itu.

Pada tahun 167 Sebelum Masehi, Aemlilus Paullus memberikan hukuman kepada para pembelot. Satu per satu dihancurkan di bawah kaki gajah yang berat. "Tindakan itu dilakukan di depan umum," sejarawan Alison Futrell mencatat dalam bukunya ‘Blood in the Arena’. Ini menjadi sebuah pelajaran bagi mereka yang menantang otoritas Romawi.

Alih-alih bergidik, orang Romawi justru merasa puas dan lega melihat tontonan penuh darah itu. Mereka senang menyaksikan seseorang yang dianggap lebih rendah dari dirinya dilempar ke binatang buas, sejarawan Garrett G. Fagan menuturkan dalam bukunya ‘The Lure of the Arena’.

Peran Julius Caesar dalam pertunjukan damnatio ad bestias

Julius Caesar terbukti menjadi maestro sejati pertama dari pertunjukan ini. Ia mengerti bagaimana pertunjukan dapat dimanipulasi untuk menginspirasi rasa takut, loyalitas dan patriotism. Maka pertunjukan pun digelar dengan cara baru yang cerdik.

Caesar menggunakan hewan eksotis dari wilayah yang baru ditaklukkan untuk mendidik orang Romawi tentang ekspansi kekaisaran. Untuk menjalankan visinya yang sangat spesifik, ia sangat bergantung pada bestiarii. Bestiarii digaji untuk menampung, merawat, membiakkan, dan melatih hewan aneh yang dikumpulkan untuk pertandingan. “Terkadang mereka juga harus melawan hewan buas itu di pertunjukan,” tambah Aptowicz.

Melatih hewan liar

Melatih hewan liar bukanlah tugas yang mudah. Dengan instingnya, hewan liar biasanya akan meringkuk ketakutan jika dipaksa masuk ke arena. Maka hewan-hewan itu perlu dilatih. Jika gagal, eksekusi pun menanti sang Bestarii.

Bestarii harus memutar otak agar bisa menyajikan pertunjukan yang 'menarik' bagi orang Romawi. (Wikipedia)

Mereka mengembangkan rejimen pelatihan terperinci untuk memastikan hewan akan bertindak seperti yang diperintah. Bestiarii bahkan melangkah lebih jauh dengan para tawanan. Ia memberi tahu mereka bagaimana berperilaku di arena untuk menjamin kematian yang cepat tanpa rasa sakit berkepanjangan. Bila berjalan lancar, itu akan menjadi pertunjukan yang menarik. Ironisnya, kerja keras bestarii dianggap sebagai sebuah karya seni.

Kekaisaran Romawi tumbuh seiring dengan ambisi dan arogansi para pemimpinnya. Semakin arogan, egois, dan kejam sang Pemimpin, semakin spektakuler pertandingan itu nantinya.

Kaisar gila Caligula menjadikan damnatio ad bestias sebagai metode eksekusi

Damnatio ad bestias menjadi metode yang disukai untuk mengeksekusi penjahat dan musuh. Ketika harga daging menjadi sangat mahal, Caligula memerintahkan agar semua tahanan Romawi ‘dimangsa’ oleh sekawanan hewan kelaparan.

Sejarawan Romawi Gaius Suetonius Tranquillus menceritakan bagaimana Caligula menjatuhkan hukuman mati kepada orang-orang itu. Ia bahkan tidak memeriksa dakwaan untuk melihat apakah kematian adalah hukuman yang pantas.

  

Baca Juga: Sejarah Berdarah Koloseum, Arena Hiburan dan Pembantaian Romawi

Baca Juga: Lima Metode Eksekusi Mati yang Paling Mengerikan di Era Romawi

Baca Juga: Poena Cullei, Hukuman Mati dengan Karung yang Mengerikan di Era Romawi

   

Orang Romawi pun makin senang menonton pertumpahan darah ini. Maka para bestiarii pun dipaksa untuk terus berinovasi pada bagaimana cara tahanan akan mati. Saking sadisnya, para tahanan mencoba bunuh diri agar terhindari dari kengerian yang menanti mereka.

Filsuf dan negarawan Romawi Seneca merekam kisah tentang seorang tahanan Jerman yang bunuh diri sebelum eksekusi. Ia memasukkan spons penyeka bokong ke tenggorokannya. Seorang tahanan lainnya yang menolak untuk masuk ke arena ditempatkan di atas kereta dan didorong masuk. Tawanan itu menyorongkan kepala di antara jari-jari rodanya. Ia bahkan lebih memilih untuk mematahkan lehernya daripada menghadapi kengerian telah direncanakan untuknya.

Sejarawan masih memperdebatkan seberapa umum binatang buas digunakan untuk eksekusi para tahanan selama pertandingan. Tetapi penyair dan seniman di masa itu menulis dan melukis tentang damnatio ad bestias dengan kekaguman yang mengejutkan.

Pertunjukan paruh waktu agar penonton betah ini mungkin lebih berkesan dari pertunjukan utamanya, gladiator dan balap kereta.