Nationalgeographicd.co.id—Meski pertandingan gladiator sudah dilarang sejak sekitar 2.000 tahun yang lalu, dunia masih terobsesi dengan pertandingan brutal ini. Beragam penelitian dilakukan, mulai dari pelatihan hingga amfiteater tempat mereka bertanding. Sastra dan film modern turut berperan dalam obsesi orang modern pada gladiator. Berkat Colosseum, amfiteater dari zaman Romawi kuno, gladiator jadi salah satu aspek budaya Romawi yang paling dikenal. Meski terkesan brutal, pertandingan gladiator merupakan pertunjukan yang teratur dan sistematis. Para gladiator Romawi ikuti koreografi untuk ciptakan ketegangan penonton.
Sebuah studi arkeologi mengungkap bahwa pertandingan dilakukan para atlet yang dilatih secara profesional. Inilah sebenarnya yang dihadapi oleh para gladiator, tidak melulu darah dan kesadisan.
Gladiator, pilihan karier dengan pendapatan menggiurkan
Di awal Kekaisaran Romawi, gladiator adalah budak, penjahat, atau tawanan perang yang dibawa ke arena dengan rantai. Tetapi pada abad pertama Masehi, menjadi gladiator memberikan banyak keuntungan. Catatan sejarah tentang gladiator mengungkapkan bahwa gladiator kemudian jadi pilihan karier bagi orang Romawi.
"Ini menjadi cara berisiko tinggi untuk melunasi hutang atau keluar dari kemiskinan," tulis Andrew Curry untuk National Geographic. Petarung lainnya adalah tawanan yang dihukum sebagai gladiator. Ini merupakan hukuman yang lebih ringan daripada eksekusi, karena ada peluang untuk bebas suatu hari nanti. Sebagian besar lainnya adalah pejuang profesional; beberapa bahkan memiliki keluarga yang menunggu di luar arena.
Meski tidak semua budak atau tawanan, gladiator berada di peringkat terbawah dalam hierarki masyarakat Romawi kuno yang kaku. Di posisi yang sama ada pekerja seks dan aktor. Ironisnya, secara hukum gladiator dianggap properti, bukan manusia.
Latihan khusus yang melelahkan
Gladiator profesional membutuhkan pelatihan profesional. Para ahli telah menemukan bukti dari lusinan tempat pelatihan gladiator di seluruh Kekaisaran Romawi. Ini adalah tempat gladiator berlatih sepanjang tahun untuk pertarungan yang hanya terjadi beberapa kali dalam setahun.
Kompleks pelatihan gladiator di kota Roma memiliki setidaknya empat fasilitas di dekat Colosseum. Salah satunya Ludus Magnus yang memiliki terowongan yang mengarah langsung ke tingkat yang lebih rendah amfiteater itu. Kompleks ini dilengkapi dengan fasilitas medis, gudang alat peraga, dan pusat rehabilitasi bagi para gladiator yang terluka.
Area penonton di salah satu fasilitas pelatihan di kota Roma menunjukkan bahwa olahraga mungkin menjadi daya tarik tersendiri. Penjudi yang ingin melihat petarung secara langsung. Sedangkan penggemar fanatik tertarik dengan otot-otot gladiator favorit mereka. Maka tidak heran jika ada yang rela merogoh kocek demi menyaksikan sesi pelatihan.
Biaya operasional barak gladiator cukup tinggi, dan biasanya barak-barak ini dimiliki oleh kaisar atau orang Romawi yang kaya raya. Dikelola oleh lanistae, biasanya para mantan gladiator yang telah memenangkan kebebasan mereka dalam pertandingan.
Barak juga mempekerjakan berbagai spesialis. Ini termasuk dokter yang ditugaskan untuk memberikan perawatan medis terbaik. Seorang unctores atau 'pria salep' bertanggung jawab untuk meminyaki dan memijat gladiator setelah latihan. Selain mereka, ada juga juru masak dan penjaga senjata.
Pakaian dan senjata gladiator
Gladiator memiliki pakaian tempur dan senjata yang berbeda-beda. Berdasarkan spesialisasi, keterampilan, dan pengalaman, mereka dipasangkan di arena untuk mencocokkan kekuatan dengan kelemahan. “Tujuannya agar pertandingan menjadi menarik untuk ditonton,” tambah Curry.
Seorang gladiator gesit, hampir telanjang yang dikenal sebagai retiarius. Ia dipersenjatai hanya dengan jaring, trisula, dan pisau kecil. Retiarius mungkin akan berhadapan dengan murmillo lamban yang mengenakan lebih dari 20 kg perlengkapan pelindung.
Thraex memiliki jambul perunggu dan pedang melengkung yang khas. Sementara secutor mengenakan helm dengan dua lubang mata. Juga membawa perisai dan pedang yang mirip dengan yang digunakan oleh tentara legiun Romawi.
Meski gladiator favorit muncul di pertandingan, penonton selalu menyukai kejutan. Sumber literatur dan batu nisan menyertakan referensi tentang beragam jenis gladiator. Beberapa termasuk essedarius, yang menggelegar ke dalam ring dengan kereta kuda. Scissor, yang memegang pisau melengkung berbentuk setengah bulan yang sempurna untuk memotong jaring retiarius. Sedangkan laquearius dilengkapi dengan laso panjang untuk menjerat musuhnya.
Ini semua diatur sedemikian rupa agar bisa menghasilkan pertandingan yang menegangkan. Maka, tidak asal bertanding, gladiator harus mengikuti koreografi yang sudah ditentukan.
Gladiator yang bisa melakukan dua gaya bertarung secara bergantian. Keterampilan yang luar biasa ini terkadang disebutkan di batu nisan mereka.
Bak bintang rock yang seksi
Pertandingan berani di arena dapat mengubah gladiator menjadi pahlawan populer dan bahkan membebaskan para tahanan dari hukumannya. Ini menjadi sebuah kontradiksi. Mereka merupakan artis yang populer, namun di sisi lain memiliki status lebih rendah, bahkan diperbudak.
Menonton dan mendekati gladiator menawarkan sensasi terlarang bagi orang-orang Romawi yang terikat aturan. "Mereka bak bintang rock seksi," kata sejarawan seni Katherine Welch. Pesona mereka bahkan bisa membuat seorang wanita kaya Romawi jatuh pingsan.
Ambil contoh Celadus the Thracian—pendatang baru berprestasi di Pompeii dengan tiga kemenangan. Ia merupakan sumber “keluh kesah para gadis,” menurut sebuah graffiti.
Pukulan terakhir untuk gladiator yang kalah
Kebanyakan gladiator tidak bertarung sampai mati. Untuk setiap 10 gladiator yang memasuki ring, para ahli memperkirakan sembilan orang dibiarkan hidup.
Baca Juga: Kesadisan Pertunjukan Paruh Waktu Romawi 'Damnatio ad Bestias'
Baca Juga: Orang Romawi Percaya Darah Gladiator Dapat Mengobati Epilepsi
Baca Juga: Kisah Tragis Gladiator, sang Pahlawan di Dunia Hiburan Romawi Kuno
Baca Juga: Gladiatrix, Sebutan Gladiator Perempuan yang Bertarung di Roma
“Namun, terkadang kematian adalah hasil yang tak terhindarkan,” tambah Curry. Terutama jika sponsor—pelindung kaya yang membayar tontonan itu—menuntut kematian gladiator pada pertandingan.
Jika yang kalah tidak mau diampuni, pemenangnya diharapkan untuk memberikan potongan pedang terakhir. Ini biasanya tusukan cepat ke bawah melalui leher ke jantung.
Dalam beberapa kasus, algojo bertopeng, membawa palu berat, siap memberikan pukulan maut pada gladiator yang kalah.
“Membunuh gladiator dilakukan dengan cepat dan bersih,” kata John Coulston, seorang arkeolog di University of St. Andrews di Skotlandia. "Ini adalah adab profesional antara gladiator—jika seseorang akan mati, buatlah senyaman mungkin, dan benar-benar mematikan."