Sisi Gelap Romawi: Konflik SARA, Kekerasan, dan Eksploitasi Seks

By Sysilia Tanhati, Sabtu, 23 Juli 2022 | 14:00 WIB
Di balik kemegahannya, Romawi memiliki sisi gelap. Roma menjadi tempat bersarangnya konflik SARA, kekerasan, dan eksplotasi seks. (Adolphe Yvon/Musée des Beaux-Arts d'Arras)

Kekurangan makanan adalah salah satu alasan paling umum terjadinya kerusuhan. Di kota-kota provinsi, perusuh akan menargetkan gubernur atau elite lokal dengan serangan mereka. Serangan itu biasanya berupa pembakaran atau pelemparan batu.

Di kota Roma, massa yang marah akan ditangani langsung oleh Praetorian Guard, pengawal kaisar, dan unit militer lainnya.

Pada tahun 238 Masehi, Tahun Enam Kaisar, sebagian besar wilayah Roma terbakar habis selama pertempuran antara kaum plebs dan tentara. Herodian mengungkapkan bahwa kedua belah pihak memanfaatkan kekacauan. Seluruh harta milik beberapa orang kaya dijarah oleh penjahat dan kelas bawah juga tentara.

Intoleransi beragama

Di mata para elite, kaum urban Roma menyembah dewa-dewa aneh. Kaum ini menjadi mangsa takhayul aneh yang tak terhitung jumlahnya. Contohnya, jika tersandung, mendengar gagak atau tikus mencicit, melihat genteng jatuh, atau bertemu monyet atau kasim, mereka akan tertimpa kesialan.

Di pasar, plebs berkonsultasi dengan para peramal mimpi yang buta huruf, juga astrolog. Mereka meramalkan masa depan dengan menggunakan metode yang tidak diketahui yang melibatkan keju.

Diduga bahwa beberapa orang Mesir pindah ke Subura agar dekat dengan kuil dewi Isis di Campus Martius. Berkepala gundul dan bertelanjang dada, para imam Isis tampil menonjol. Kadang-kadang mereka mengenakan topeng berwajah anjing Anubis, dewa kematian Mesir Kuno.

Juvenal menyoroti ‘keberbedaan’ orang Mesir, termasuk kecenderungan mereka untuk melakukan kekerasan dan larangan diet yang aneh. “Mereka menghindari bawang, daun bawang, serta domba dan kambing,” imbuh Sidebottom.

Orang Katolik dianggap ateis di masa itu karena menyangkal keberadaan semua dewa. Karena persekusi, mereka berkumpul secara diam-diam seakan sedang melakukan upacara rahasia. Ini mendorong spekulasi mengerikan tentang kegiatan mereka.

Rumor mengatakan bahwa mereka bertemu di sebuah ruangan dengan seekor anjing diikat ke kaki dian. Dianggap sebagai aliran sesat ilegal, mereka berkumpul sebelum fajar atau setelah senja untuk menghindari mata para tetangga. Jika aktivitasnya diketahui, para tetangga itu mungkin akan mengadukan mereka kepada pihak berwenang.

Kekerasan

Di mata para elite, orang-orang perkotaan sedikit lebih baik daripada orang barbar. Mereka sering dianggap tidak rasional dan kejam.

Juvenal membayangkan pertemuan dengan seorang plebs yang mabuk sebagai pengalaman yang sangat tidak menyenangkan. Mereka dianggap akan melontarkan kata-kata kasar, ancaman, dan serangan fisik.

Ironisnya, para elite tidak asing lagi dengan kekerasan fisik—meskipun, mereka harus menjaga martabat mereka dengan cara apa pun. Ayah dari tabib kekaisaran Galen pernah menasihati teman-temannya untuk tidak meninju mulut pelayan. Namun bukan untuk melindungi pelayan, tetapi karena risiko akan dihadapi majikan.

Kaum elite boleh marah kepada pelayannya tetapi ini harus dilakukan dengan “cara yang bermartabat.”  Yang harus dilakukan oleh majikan yang baik adalah meminta tongkat yang dapat digunakan untuk memukul budak. Ini dilakukan dengan cara yang tenang dan terkendali.

Namun bukan hanya kaum plebs saja yang dianiaya. Kaisar Maximinus Thrax terkenal karena menganiaya kaum elite karena kekayaannya. Sang kaisar membutuhkan banyak uang untuk melancarkan serangan militernya. Sedangkan kaum plebs tidak peduli dan juga tidak memiliki uang sebanyak kaum elite itu.

Sejarawan Herodian mengungkapkan, “bencana yang terjadi pada mereka beruntung dan kaya tidak menjadi perhatian rakyat jelata. Kadang-kadang bahkan menimbulkan kesenangan bagi orang-orang tertentu yang tidak berharga dan jahat. Ini karena mereka iri pada yang berkuasa dan makmur.”

Dengan bangunan-bangunan megah, wilayah kekuasaan yang luas, serta kaisar yang gagah, Romawi kuno tampak sempurna. Namun hidup di zaman itu ternyata tidak seindah yang dibayangkan.