Nationalgeographic.co.id - Elite Romawi mungkin membanggakan diri atas martabat dan kehormatan mereka. Namun Harry Sidebottom, sejarawan Inggris, memiliki pendapat yang jauh berbeda. Menurutnya, kota kuno Roma yang jadi pusat Romawi punya sisi gelap. Kota ini menjadi tempat bersarangnya konflik SARA, kekerasan, dan eksplotasi seks. Ini menggambarkan sisi lain Romawi kuno yang sering tidak terekspos.
Mungkin citra yang melekat sangat erat dengan Romawi kuno adalah senator yang berpakaian rapi dengan toga. Rupanya, citra ini juga menunjukkan bagaimana orang Romawi memandang dirinya: warga negara beradab dan berbudi luhur.
Tidak ayal citra tersebut membuat orang membayangkan bahwa Romawi kuno merupakan tempat tinggal yang toleran dan menyenangkan. Ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Roma adalah kota yang terbelah oleh intoleransi dan kekerasan. Kota ini menjadi tempat berkembang biaknya kebencian kelas, permusuhan rasial, intoleransi agama, dan eksploitasi seksual. Orang Romawi mungkin menganggap diri beradab, faktanya, banyak aspek masyarakat Romawi tidak dapat diterima oleh dunia modern.
Pembagian kelas
Orang Romawi yang menganggap dirinya bermartabat biasanya bagian dari eksklusif elite kaya dan berpendidikan. Kaum plebs Romawi, yang dianggap jorok dan vulgar, berada di bawah mereka. Kaum plebs sering dianggap tidak berkualitas. “Mereka bahkan tidak dianggap sebagai orang Romawi,” tambah Sidebottom.
Orator Romawi, Scipio Aemilianus, bahkan mencela para plebs. “Mereka adalah orang asing,” katanya. Dan Romawi merupakan ibu tiri golongan itu.
Permusuhan rasial
Roma adalah kota para imigran. Pada masa pemerintahan Augustus (31 SM–14 Masehi) kota ini diperkirakan memiliki satu juta penduduk.
Peningkatan eksponensial dalam populasi sebagian disebabkan oleh ‘krisis agraria’ pada dua abad sebelumnya. Saat itu, pertumbuhan perkebunan besar milik orang kaya mendorong petani Italia menjauh dari daerah pedesaan. Kondisi ini memaksa mereka untuk mencari kehidupan baru di kota metropolitan.
Terus berlanjut selama tiga abad pertama Masehi, migran ekonomi berbondong-bondong ke Roma dari seluruh kekaisaran.
Penyair dan satiris Romawi Juvenal merendahkan pendatang dari Suriah sebagai “kotoran dari sungai Orontes yang mengalir ke Tiber”.
Baca Juga: Ludus Latrunculorum, Permainan Papan Zaman Romawi Berusia 1.700 Tahun
Baca Juga: Nestapa Hewan-Hewan Buas Jadi Komoditas Tontonan Publik Romawi
Baca Juga: Penasaran Seperti Apa Santapan Orang Romawi? Kunjungi Museum Ini
Banyak dari para pendatang ini tinggal berdesakan di blok-blok rumah petak yang tidak sehat. Sementara yang kurang beruntung mengambil tempat tinggal di bawah jembatan. Ada juga yang mendirikan kamp-kamp pengungsi di taman tanah Campus Martius utara, area publik Roma Kuno.
Persentase migran pun naik secara signifikan. Populasi kota terdiri dari mantan budak yang bisa berasal dari mana saja.
Kaum elite memandang rendah kaum plebs sebagai ‘orang asing’ dari nenek moyang budak. “Mereka tampaknya lupa bahwa Romulus, salah satu pendiri Roma, menyambut budak di pemukiman aslinya di Bukit Palatine,” Sidebottom menambahkan.
Eksploitasi seks
Munculnya budak berkontribusi pada degradasi seks yang dilakukan oleh kaum elite.
Untuk laki-laki elite, yang rumah tangganya dipenuhi dengan budak, batas-batas pemaksaan dan pemerkosaan menjadi kabur. “Setiap tuan memiliki wewenang penuh untuk menggunakan budaknya sesuai keinginannya,” kata filsuf Musonius Rufus.
Dalam seksualitas pria elite Romawi, tidak masalah jika seseorang lebih suka berhubungan seks dengan pria atau wanita. Beberapa pria cenderung berpegang pada satu atau yang lain, tetapi banyak yang menikmati keduanya. ‘Homoseksual’ dan ‘heteroseksual’ bukanlah kategori yang digunakan oleh orang Romawi untuk mendefinisikan diri mereka.
Secara sosial tidak dapat diterima bagi pria elite untuk berhubungan seks aktif dengan pria lain dari kelasnya. Atau bahkan dengan wanita lain selain istrinya. Sayangnya, kaum plebs tidak dilindungi oleh pembatasan sosial semacam itu. Kemiskinan mendorong banyak dari mereka—baik pria maupun wanita—untuk bekerja sebagai pelacur.
Sebagai seorang individu, seorang plebs dapat melakukan sedikit perlawanan terhadap elite. Bahkan jika berkumpul, plebs biasa membuat “suara mereka didengar”.
Kekurangan makanan adalah salah satu alasan paling umum terjadinya kerusuhan. Di kota-kota provinsi, perusuh akan menargetkan gubernur atau elite lokal dengan serangan mereka. Serangan itu biasanya berupa pembakaran atau pelemparan batu.
Di kota Roma, massa yang marah akan ditangani langsung oleh Praetorian Guard, pengawal kaisar, dan unit militer lainnya.
Pada tahun 238 Masehi, Tahun Enam Kaisar, sebagian besar wilayah Roma terbakar habis selama pertempuran antara kaum plebs dan tentara. Herodian mengungkapkan bahwa kedua belah pihak memanfaatkan kekacauan. Seluruh harta milik beberapa orang kaya dijarah oleh penjahat dan kelas bawah juga tentara.
Intoleransi beragama
Di mata para elite, kaum urban Roma menyembah dewa-dewa aneh. Kaum ini menjadi mangsa takhayul aneh yang tak terhitung jumlahnya. Contohnya, jika tersandung, mendengar gagak atau tikus mencicit, melihat genteng jatuh, atau bertemu monyet atau kasim, mereka akan tertimpa kesialan.
Di pasar, plebs berkonsultasi dengan para peramal mimpi yang buta huruf, juga astrolog. Mereka meramalkan masa depan dengan menggunakan metode yang tidak diketahui yang melibatkan keju.
Diduga bahwa beberapa orang Mesir pindah ke Subura agar dekat dengan kuil dewi Isis di Campus Martius. Berkepala gundul dan bertelanjang dada, para imam Isis tampil menonjol. Kadang-kadang mereka mengenakan topeng berwajah anjing Anubis, dewa kematian Mesir Kuno.
Juvenal menyoroti ‘keberbedaan’ orang Mesir, termasuk kecenderungan mereka untuk melakukan kekerasan dan larangan diet yang aneh. “Mereka menghindari bawang, daun bawang, serta domba dan kambing,” imbuh Sidebottom.
Orang Katolik dianggap ateis di masa itu karena menyangkal keberadaan semua dewa. Karena persekusi, mereka berkumpul secara diam-diam seakan sedang melakukan upacara rahasia. Ini mendorong spekulasi mengerikan tentang kegiatan mereka.
Rumor mengatakan bahwa mereka bertemu di sebuah ruangan dengan seekor anjing diikat ke kaki dian. Dianggap sebagai aliran sesat ilegal, mereka berkumpul sebelum fajar atau setelah senja untuk menghindari mata para tetangga. Jika aktivitasnya diketahui, para tetangga itu mungkin akan mengadukan mereka kepada pihak berwenang.
Kekerasan
Di mata para elite, orang-orang perkotaan sedikit lebih baik daripada orang barbar. Mereka sering dianggap tidak rasional dan kejam.
Juvenal membayangkan pertemuan dengan seorang plebs yang mabuk sebagai pengalaman yang sangat tidak menyenangkan. Mereka dianggap akan melontarkan kata-kata kasar, ancaman, dan serangan fisik.
Ironisnya, para elite tidak asing lagi dengan kekerasan fisik—meskipun, mereka harus menjaga martabat mereka dengan cara apa pun. Ayah dari tabib kekaisaran Galen pernah menasihati teman-temannya untuk tidak meninju mulut pelayan. Namun bukan untuk melindungi pelayan, tetapi karena risiko akan dihadapi majikan.
Kaum elite boleh marah kepada pelayannya tetapi ini harus dilakukan dengan “cara yang bermartabat.” Yang harus dilakukan oleh majikan yang baik adalah meminta tongkat yang dapat digunakan untuk memukul budak. Ini dilakukan dengan cara yang tenang dan terkendali.
Namun bukan hanya kaum plebs saja yang dianiaya. Kaisar Maximinus Thrax terkenal karena menganiaya kaum elite karena kekayaannya. Sang kaisar membutuhkan banyak uang untuk melancarkan serangan militernya. Sedangkan kaum plebs tidak peduli dan juga tidak memiliki uang sebanyak kaum elite itu.
Sejarawan Herodian mengungkapkan, “bencana yang terjadi pada mereka beruntung dan kaya tidak menjadi perhatian rakyat jelata. Kadang-kadang bahkan menimbulkan kesenangan bagi orang-orang tertentu yang tidak berharga dan jahat. Ini karena mereka iri pada yang berkuasa dan makmur.”
Dengan bangunan-bangunan megah, wilayah kekuasaan yang luas, serta kaisar yang gagah, Romawi kuno tampak sempurna. Namun hidup di zaman itu ternyata tidak seindah yang dibayangkan.