Nationalgeographic.co.id—Seorang musafir Maroko, Ibn Battuta mengunjungi 'Dhibat al Mahal' (Maladewa), sekitar tahun 1342. Ia mengunjungi sebuah pulau terpencil nan menawan di Samudra Hindia.
Setiap bahasa memiliki penyebutan tersendiri untuk Maladewa, seperti Dhivehi Raajje (dalam bahasa lokal Dhivehi), Maldives (dalam Inggris), Maledivy, Malediven, Maladewa, Mahaldeebiyya (Arab kuno), Mardaifu (diucapkan oleh Cina).
Dilansir dari laman Maldives Finest dalam sebuah artikel berjudul "Maldives History: Small Old Country With Sound Diplomacy" (2021), menyebut bahwa Maladewa merupakan negara merdeka yang terdiri lebih dari 1.190 pulau karang kecil yang tersebar di Samudra Hindia.
Negara ini termasuk yang tertua di dunia. Masih belum diketahui secara pasti kapan Maladewa memeliki penduduk, tetapi diyakini pemukim pertama datang sekitar 300 SM, kemungkinan besar nelayan dari anak benua India dan Srilangka dan kemudian Arab dan Afrika.
Ibn Batuta menyebut bahwa "penduduk Maladewa semuanya Muslim, saleh dan lurus, sehat dalam keyakinan dan tulus dalam berpikir, meskipun tubuh mereka lemah, mereka tidak terbiasa berperang dan baju besi mereka adalah doa."
Para perompak India tidak menyerang atau menganiaya mereka. Hal itu terjadi lantaran mereka telah belajar dari pengalaman bahwa "siapa pun yang merebut sesuatu dari mereka dengan cepat, akan menemui kemalangan," tulis koresponden Maldives Finest.
Sebagaimana fakta yang disebutkan Batuta dalam perjalanannya, ia menyebut di setiap pulau yang ada di Maladewa terdapat masjid nan indah, dan sebagian besar bangunan mereka terbuat dari kayu.
Budaya masyarakat kuno yang telah memeluk Islam juga terlihat jelas dalam gaya hidupnya. Ibn Batuta juga melanjutkan: "mereka sangat bersih dan menghindari kotoran."
Baca Juga: Malapetaka Perubahan Iklim, Maladewa Perlahan Ditelan oleh Laut
Baca Juga: Mengulik Kisah Historis Pulau Natal dan Rahasia di Balik Penamaannya
Baca Juga: Perkembangan Islam di Singapura, Kota Perdagangan Laut yang Penting
Kebanyakan dari mereka mandi dua kali sehari untuk membersihkan diri karena panas yang ekstrem di sana karena banyak berkeringat. Mereka kerap menggunakan minyak wangi, seperti minyak cendana.
Temuan artefak sejarah menunjukkan negara itu diperintah dengan hukum dan peraturan yang ketat. Sudah diketahui secara luas bahwa memakai sandal atau sepatu dilarang untuk warga negara biasa.
Kepemilikan pesawat radio dan mengendarai sepeda diizinkan di bawah lisensi, lampu sepeda diberi lisensi terpisah, mungkin karena mengendarai sepeda di malam hari dilarang untuk warga biasa.
"Lisensi ini datang dengan stempel otoritas pemerintah sementara lisensi sepeda bahkan membutuhkan cap pendapatan di atasnya," sambung koresponden Maldives Finest.
Meski mereka menghuni kepulauan yang menawan, masyarakat kuno Maladewa belum mengenal industri pariwisata. Komersialisasi pariwisata Maladewa tercatat dalam sejarah, baru dimulai pada 1972.