Menghitung Kembali Korban Kengerian Bom Nagasaki 9 Agustus 1945

By Galih Pranata, Selasa, 9 Agustus 2022 | 13:00 WIB
Tim proyek Manhattan dalam memperhitungkan jumlah korban jiwa akibat ledakan bom di Hiroshima dan Nagasaki. (Prisma Bildagentur/Getty Images)

Nationalgeographic.co.id—Jika ditanya untuk menghitung kembali tentang seberapa besar kerusakan atau seberapa banyak korban jiwa akibat bom Nagasaki pada 9 Agustus 1945, tentu bukanlah hal yang mudah.

Alex Wellerstein pernah menuliskan hal yang hampir serupa kepada Bulletin of the Atomic Scientist dalam artikel berjudul Counting the Dead at Hiroshima and Nagasaki yang terbit pada 4 Agustus 2020.

Ia menyebut bahwa "keruskan yang ditimbulkan oleh kota-kota (Hiroshima dan Nagasaki) terlalu parah." Alex juga menegaskan dalam artikelnya jika penghitungan korban tewas bisa dilakukan, namun tentunya tidak begitu akurat.

Meskipun diaggap sulit, sejak tahun 1945 para sejarawan selalu membuat perhitungan tentang jumlah konkret korban tewas. Hal itu digunakan untuk bisa memperkirakan dampak kengerian nuklir hari ini dan hari depan.

Sebelum disimpulkan, penulis mengajak pembaca sekalian untuk menelusuri perkiraan awal ledakan dahsyat yang mengerikan di Nagasaki pada 9 Agustus 1945.

Setelah dijatuhkannya "Little boy" di Hiroshima yang menggemparkan dunia pada 6 Agustus 1945, sebuah bom kembali dijatuhkan angkatan militer Amerika Serikat dari udara. Bom berjuluk "Fat man" itu seketika meluluhlantakkan Nagasaki pada 9 Agustus 1945 dalam sekejap. 

21 hari pasca dijatuhkannya bom atom di Nagasaki, sebuah tim proyek Manhattan melakukan investigasi. Hal ini mereka lakukan untuk dapat mengukur dampak mengerikan yang dihasilkan dari ledakan bom atom atau nuklir yang menimpa sebuah kota. 

Tepat pada 30 Agustus itu, tim proyek itu telah mencatat sejumlah kerusakan yang diakibatkan ledakan bom, di mana catatan itu berfungsi sebagai barometer dalam perencanaan masa depan. 

"Satu-satunya fakta aktual yang bisa kami dapatkan pada akhir bulan kedua studi, pada awal Oktober, adalah bahwa di Nagasaki mereka telah mencatat pembakaran dan kremasi 40.000 mayat," ungkap Stafford Warren dalam tulisan Alex.

Ungkapan tersebut adalah keyakinan dari kolonel Stafford Warren, ketua yang memimpin penghitungan korban jiwa tim proyek Manhattan, bahwa pasti ada 20.000 atau 30.000 lebih korban terjebak di reruntuhan, terkubur atau dilahap habis oleh api.

Di Nagasaki, dari populasi pra-serangan 195.000, 39.000 meninggal, dan 25.000 terluka. Perlu dicatat bahwa bahkan kepala investigasi, Warren, tampaknya menganggap angka untuk kematian korban jiwa di Nagasaki tergolong rendah dibandingkan di Hiroshima.

Kolom asap membubung lebih dari 18 kilometer di atas pelabuhan Nagasaki, Jepang, akibat bom atom. (Titania Febrianti)

Perbedaan antara hasil di Hiroshima dan Nagasaki dikaitkan dengan perbedaan ukuran populasi dan topografi. Nagasaki dianggap sebagai target yang kurang ideal dari sudut pandang seorang pembom, karena kotanya tidak terkonsentrasi seperti di Hiroshima. 

"Kota Nagasaki dipisahkan oleh punggung bukit yang sebagian melindungi kota. Selain itu, bom tidak meledak di pusat kota Nagasaki, tetapi di Lembah Urakami di barat lautnya," terus Alex.

    

Baca Juga: Nasib Anak-Anak Saat Bom Atom Menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki

Baca Juga: Tradisi Hitung Mundur Jelang Tahun Baru Berasal dari Uji Bom Atom

Baca Juga: Kisah Yoshiko Kajimoto, Penyintas Bom Atom Hiroshima, Jepang

Baca Juga: Mengapa Bom Nuklir Menyebabkan Terbentuknya Awan Jamur?

     

Menelusuri sumber berbeda, penulis menghadapi pandangan subjektif dari paradigma holistik di antara 2 sumber: sumber penghitungan oleh Amerika Serikat dan sumber penghitungan oleh Jepang.

Melalui sumber tim proyek Manhattan yang terbit sejak 1946—sebagai sumber Amerika Serikat—disebutkan korban tewas di Nagasaki, sekiranya berjumlah 40.000 jiwa. Hal ini masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan sumber dari catatan Jepang.

Di tahun 1970-an, terbit jumlah korban tewas akibat pemboman Nagasaki oleh ilmuwan senjata anti-nuklir yang mayoritas merupakan orang Jepang. Mereka mencatat sebanyak-banyaknya 70.000 jiwa untuk menekankan penderitaan yang dialami Jepang.