Nationalgeographic.co.id—Satu lagi satwa langka menghilang dari Sungai Yangtze, bahkan mungkin memang telah punah dari daftar dunia hewan. Penduduk setempat menyebut hewan itu sebagai “Dewi Yangtze”.
Hewan ini adalah makhluk yang sangat langka sehingga dipercaya membawa keberuntungan dan perlindungan bagi nelayan setempat dan semua orang yang cukup beruntung untuk melihatnya. Namun, penangkapan ikan yang berlebihan dan aktivitas manusia mendorongnya ke ambang kepunahan dan hewan itu belum pernah terlihat lagi dalam beberapa dekade.
“Baiji, atau lumba-lumba Sungai Yangtze, adalah makhluk unik dan cantik—tidak ada yang seperti itu,” kata Samuel Turvey, ahli zoologi dan konservasionis Inggris yang menghabiskan lebih dari dua dekade di Tiongkok untuk mencoba melacak keberadaan hewan tersebut.
“Itu ada selama puluhan juta tahun dan berada di keluarga mamalianya sendiri. Ada lumba-lumba sungai lain di dunia tetapi yang ini sangat berbeda, jadi tidak ada hubungannya dengan yang lain,” kata Turvey seperti dikutip dari CNN.
"Kematiannya lebih dari sekadar tragedi spesies lain—itu adalah hilangnya keanekaragaman sungai yang sangat besar dalam hal betapa uniknya sungai itu dan meninggalkan lubang besar di ekosistem."
Para ahli telah menyatakan keprihatinan serius bahwa spesies hewan dan tumbuhan asli Yangtze yang langka lainnya kemungkinan akan mengalami nasib yang sama dengan lumba-lumba sungai baiji. Sebab, memburuknya perubahan iklim dan kondisi cuaca ekstrem turut berdampak pada sungai terpanjang di Asia tersebut.
Tiongkok telah bergulat dengan gelombang panas terburuk dalam catatan. Akibatnya, Yangtze, sungai terpanjang ketiga di dunia itu, semakin mengering.
Dengan curah hujan di bawah rata-rata sejak Juli, ketinggian airnya telah jatuh ke rekor terendah 50% dari tingkat normalnya untuk sepanjang tahun ini. Kondisi kering ini telah memperlihatkan dasar sungai yang retak dan bahkan mengungkapkan pulau-pulau yang terendam.
Baca Juga: Dunia Hewan: Inilah Tujuh Binatang yang Punya Profesi Tidak Biasa
Baca Juga: Dunia Hewan: Lumba-lumba Punya Jaring Aliansi Terbesar di Luar Manusia
Baca Juga: Dunia Hewan: Dugong si 'Sapi Laut' Dinyatakan Telah Punah di Tiongkok
Baca Juga: Dunia Hewan: Belajar dari Lumba-lumba, Mamalia Laut yang Cinta Damai
Kekeringan telah berdampak buruk pada sungai paling penting di Tiongkok tersebut, yang membentang sekitar 6.300 kilometer dari dataran tinggi Tibet ke Laut Cina Timur dekat Shanghai. Sungai ini menyediakan air, makanan, transportasi, dan pembangkit listrik tenaga air ke lebih dari 400 juta orang rakyat.
Dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrem ini sangat besar terhadap manusia di sekitar Sungai Yangtze. Sebab, pasokan air untuk puluhan ribu orang di sana telah terpengaruh.
Sayangnya, dampak ini pada ratusan satwa liar dan spesies tumbuhan yang dilindungi dan terancam yang hidup di dalam dan sekitar sungai itu kurang diperhatikan. “Yangtze adalah salah satu sungai yang paling kritis secara ekologis di dunia untuk keanekaragaman hayati dan ekosistem air tawar—dan kita masih menemukan spesies baru setiap tahunnya,” kata ahli ekologi konservasi Hua Fangyuan, asisten profesor dari Universitas Peking.
“Banyak dari ikan kecil (yang diketahui) dan tidak diketahui serta spesies air lainnya kemungkinan besar menghadapi risiko kepunahan secara diam-diam dan kami tidak cukup tahu.”
Selama bertahun-tahun para konservasionis dan ilmuwan telah mengidentifikasi dan mendokumentasikan ratusan spesies hewan dan tumbuhan liar asli Yangtze. Di antara mereka adalah lumba-lumba tanpa sirip Yangtze yang, mirip dengan baiji, menghadapi kepunahan karena aktivitas manusia dan hilangnya habitat, dan reptil yang terancam punah seperti buaya Cina dan kura-kura cangkang lunak raksasa Yangtze yang diyakini sebagai spesies penyu air tawar terbesar yang masih hidup di dunia.
Para ahli juga memperhatikan penurunan drastis banyak spesies ikan air tawar asli, seperti paddlefish dan sturgeon Cina yang sekarang sudah punah. Yang juga berisiko tinggi adalah salamander raksasa Cina, salah satu amfibi terbesar di dunia. Populasi liar mereka telah jatuh dan spesies itu "sekarang di ambang kepunahan," kata Turvey, ahli zoologi Inggris.
“Meskipun mereka adalah spesies yang dilindungi, salamander raksasa Cina berada di bawah ancaman yang lebih besar dari perubahan iklim—peningkatan suhu global dan kekeringan pasti tidak akan berguna ketika sudah sangat rentan,” ujar Turvey.
“Mereka telah lama menghadapi ancaman seperti perburuan, hilangnya habitat, dan polusi, tetapi ketika Anda menambahkan perubahan iklim ke dalam campuran tersebut, peluang mereka untuk bertahan hidup menjadi sangat tipis,” tambahnya.
“Mereka hanya bisa hidup di lingkungan air tawar dan permukaan air yang lebih rendah pasti akan memberi tekanan lebih besar pada jumlah mereka di seluruh Tiongkok.”
Kelompok konservasi alam seperti World Wildlife Fund (WWF) mengatakan penderitaan Yangtze menjadi perhatian utama tidak hanya bagi masyarakat dan pemerintah Tiongkok, tetapi juga bagi komunitas internasional yang lebih luas.
“Sungai-sungai di seluruh dunia, dari Eropa hingga Amerika Serikat, telah menurun ke tingkat aliran rendah secara historis yang berdampak negatif pada ekosistem,” kata pemimpin ilmuwan Jeff Opperman.
“Pengurangan aliran sungai dan air yang lebih hangat di Yangtze merupakan ancaman bagi spesies air tawar dan meningkatkan tekanan pada hewan yang sudah terancam punah seperti lumba-lumba tanpa sirip Yangtze yang tersisa dan buaya Cina yang tersisa di alam liar. Permukaan sungai yang lebih rendah juga berdampak pada kesehatan danau dan lahan basah (di dekatnya), yang penting bagi jutaan burung yang bermigrasi di sepanjang Jalur Terbang Asia Timur.”
Hua, ahli ekologi konservasi, mengatakan perlunya lebih banyak kesadaran publik dan upaya yang untuk membantu sungai besar Tiongkok yang sedang menyusut itu. “Manusia bergantung pada alam untuk bertahan hidup, titik. Ini adalah pelajaran bagi peradaban manapun,” katanya.
“Yangtze adalah sungai terpanjang di Tiongkok dan (seluruh) Asia dan telah lama menjadi tempat lahirnya peradaban. Terlepas dari ancaman dan kerugian konservasi yang parah selama bertahun-tahun, masih ada banyak keanekaragaman hayati yang harus dilestarikan di dalam dan di sepanjang Sungai Yangtze.”
Tanpa ada upaya konservasi yang tegas dan segera terhadap kelestarian Sungai Yangtze, akan ada lebih banyak lagi spesies lainnya yang bernasib sama seperti baiji dan paddlefish Cina. “Yangtze adalah permata di mahkota Asia. Masih banyak keanekaragaman hayati yang harus diperjuangkan dan kita tidak boleh putus asa untuk menyelamatkan spesies seperti salamander raksasa, reptil sungai, dan lainnya,” tegas Turvey.