Menelisik Lewat Sains Rupa Kepulauan Asia Tenggara di Masa Purba

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 27 September 2022 | 07:00 WIB
Garis pantai Asia Tenggara dan Australia semasa periode glasial (zaman es). Pada saat inilah spesies manusia dan hewan-hewan lainnya bermigrasi mencari kehangatan di khatulistiwa. Secara geologis, ada banyak sungai purba yang kini sudah tenggelam di bawah laut. (atlas-v7x/Deviant Art)

Gambaran Paparan Sunda pada periode glasial maksimum. Di dataran ini terdapat sistem aliran sungai purba yang mengalir ke Laut Flores dan Laut Cina Selatan. ( Wahyu Budi Setyawan/ResearchGate)

Ketika suhu global meningkat dan ditambah peristiwa geologis, daratan itu perlahan-lahan tenggelam menjadi Laut Jawa, Selat Malaka, Laut Natuna, dan Selat Karimata. Laut-laut yang baru itu menciptakan arus yang punya peran dalam sirkulasi hidrodinamika pelayaran di masa lampau.

"Kita coba, misalnya, kita lihat transportasi pada pada abad ketujuh dan sepuluh di Nusantara," jelas Widodo. Zaman dahulu, kapal belum punya mesin sehebat hari ini. Pelayaran membutuhkan kekuatan daya dorong angin pada layar, dan arus yang mendorong tubuh kapal.

 Baca Juga: Merapah Rempah: Cerita Bahtera-bahtera Kuno di Dasar Samudra Kita

 Baca Juga: Selidik Jalur Rempah, Jaringan Dagang dan Dakwah Islam di Nusantara

Widodo melihat, alur pelayaran Sriwijaya tersebar ke Champa dan Khmer di daratan utama Asia Tenggara. Terkadang, pelayaran Sriwijaya juga ke Jawa seperti ke Holing dan Tugu. 

"Kita lihat apa yang namanya tipe pasang-surut, maka di sini ada tipe pasang-surut yang menarik di daerah Selat Karimata, ada yang berbeda. Di situ ada diurnal tide atau satu hari ada satu hari ada satu kali pasang dan satu kali surut," paparnya.

Tipe pasang surut yang melingkupi Bangka Belitung dan Kalimantan Barat itu dikelilingi oleh banyak tipe pasang-surut lainnya. Dari Laut Cina Selatan sampai ke Natuna, ada pasang surut campuran yang cenderung diurnal. Dari Teluk Benggala sampai Selat Malaka ada pasang-surut semi-diurnal.

Sebaran situs kapal karam abad ke-9 sampai ke-19, yang teridentifikasi di Asia Tenggara. UNESCO melaporkan terdapat 5.000 kapal kuno yang karam di area ini. (National Geographic Indonesia)

"Jadi ini yang menarik yang mungkin mengakibatkan elevasi muka laut yang kompleks itu menghasilkan aliran yang juga kompleks. Elevasi itu juga diuji oleh Widodo dalam penelitian lainnya.

Menariknya, elevasi muka laut yang bisa berubah-ubah, bisa berbahaya bagi pelayaran. Sampai saat ini, kebanyakan dari temuan kapal karam dari masa lampau bisa ditemukan di sepanjang Selat Malaka, Laut Natuna, sampai ke Laut Jawa.

Perairan ini masih digunakan sampai sekarang sebagai jalur transportasi nasional dan mancanegara. Di satu sisi, peranan arus juga tidak kalah hebat di bagian tengah Indonesia yang kadang dimanfaatkan pelayaran dari Filipina menuju Australia.