Nationalgeographic.co.id - Asia Tenggara, apalagi kepulauan Nusantara termasuk Indonesia, tidak selamanya ada di permukaan Bumi. Peristiwa geologis yang berangsur-angsur dari ratusan juta tahun, membuatnya tampak di bawah garis khatulistiwa.
Lihatlah pada peta Asia Tenggara. Kepulauan Indonesia dan Filipina memiliki bentuk unik. Pulau Sumatra seperti memagari perairan dalam Indonesia di barat. Pulau Jawa terlihat memagari Samudra Hindia dari Selatan. Barisan ukurannya mengecil di kepulauan timur (Kepulauan Sunda Kecil).
Sedangkan Filipina, seperti kepulauan yang makin mengecil di utaranya. Dataran utama Asia Tenggara makin sempit ke selatan, menjadi Semenanjung Malaya di antara Sumatra dan Kalimantan. Ada rangkaian peristiwa hebat dan bukan waktu yang singkat.
"Ini 370 juta tahun yang lalu," kata Widodo Setiyo Pranowo, peneliti oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Dia mempresentasikan visualisasi pergerakan lempeng permukaan Asia Tenggara dari masa silam hingga hari ini di dalam bincang daring Fluktuasi Muka Air Laut Global & Paleogeografi Nusantara di Zaman Kurater, 23 September 2022. Bincang daring itu diadakan oleh CPAS (Center for Prehistory and Austronesian Studies).
Visual simulasi pergerakan lempeng itu merupakan hasil penelitian dari Kara Matthews, peneliti dari Department of Earth Sciences di University of Oxford, Inggris. Matthews dan timnya menerbitkan hasil penelitiannya di jurnal Global and Planetary Change pada November 2016.
"Ini cukup menarik. Ternyata ada lempeng-lempeng yang merupakan bagian dari Indonesia. Dia itu pergerakannya ke bumi bagian selatan khatulistiwa dan pernah juga menuju utaranya khatulistiwa, dan itu yang menarik" paparnya.
Simulasi menunjukkan Pulau Sumatra sudah tampak dari selatan khatulistiwa sekitar 230 juta tahun lalu. Lalu pulau itu bergerak jauh ke arah timur laut khatulistiwa dibandingkan letak hari ini. Sempat pula terpecah-pecah.
Semakin mendekati hari ini, kepulauan Nusantara mulai terbentuk dengan kehadiran Sulawesi, Kalimantan, dan Jawa dari bawah laut. Sedangkan Pulau Papua bergerak dari selatan bersama Australia.
"Saya nyari Pulau Jawa itu susah. Jowone ndi yo (Jawanya mana ya)? Baru muncul ya (sekitar) 20 juta tahun yang lalu," terang Widodo.
Hal inilah yang membuat kepulauan Nusantara jarang ditemukan fosil dinosaurus daratan. Kebanyakan arkeolog menemukan spesies-spesies hewan laut purba seperti megalodon, bentuk purba dari hiu.
Baca Juga: Samudra Arktik Pernah Menjadi Tawar di Zaman Es, Sebuah Studi
Baca Juga: Hambatan Iklim Mempengaruhi Penyebaran DInosaurus Awal di Bumi
Baca Juga: Sering Dimanfaatkan, Sejak Kapan Manusia Mulai Beternak Ayam?
Baca Juga: Singkap Bencana, Peradaban, dan Perburuan Sains Danau Matano
Namun, meski ada pengangkatan pulau, tidak berarti itu muka sejatinya Bumi pada masa itu. Ada banyak peristiwa di luar geologis yang membuat bentuk pulau dan benua sedemikian rupa. Penjelasan itu bisa dipahami dengan tambahan paleo-klimatologi.
Setelah proses geologis itu, Asia Tenggara mulai menyerupai seperti hari ini pada 10 juta tahun lalu. Akan tetapi, sekitar sekitar 18.000 sampai 20.000 tahun silam Paparan Sunda yang menyatukan Pulau Kalimantan, Jawa, Sumatra, dan daratan Asia mulai tenggelam. Paparan Sunda ada karena air laut lebih rendah dan suhu mendingin selama periode glasial (zaman es) akibat perubahan iklim.
"Interaksi yang mesti kita perhatikan dan pahami, apa pun unsur yang ada di alam ini saling berpengaruh," kata ahli geologi senior Wahyoe Soepri Hantoro di forum yang sama. "Antara lain kalau kita bicara mengenai fluktuasi permukaan laut." Planet Bumi berevolusi dengan interaksi antara atmosfer, hidrosfer, kryosfer, biosfer, dan geosfer.
Masing-masing dari unsur itu saling mengisi satu sama lain untuk keseimbangan, dan dalam skala waktu dan ruang yang luas. Selain itu unsur atmosfer juga bisa memberikan pengaruh untuk evolusi akibat intensitas cahaya matahari, gaya pasang-surut dari bulan, atau ancaman asteroid.
Ringkasnya, semua unsur dan kejadian ini menyebabkan tinggi dan rendahnya suhu di Bumi pada periode tertentu. Kini, mungkin pemanasan global disebabkan oleh manusia dan polusinya. Evolusi bumi juga memicu tinggi dan rendahnya permukaan air laut di dalamnya.
Paparan Sunda dan Sahul (Australia dan Papua) bisa muncul akibat proses ini. Dalam tinjauan yang lebih rinci, para ilmuwan bahkan mulai memetakan adanya sungai yang terbentuk di daratan purba yang kini sudah tenggelam itu.
"Perubahan muka laut ini bisa kita kaji dan memberikan banyak sekali, mungkin pandangan-pandangan baru dari berbagai sudut, bahkan mungkin melihat sesungguhnya paparan ini apa peranannya bagi kehidupan di sekitar ini (Asia Tenggara)," terang Wahyoe.
Ragam sungai purba ini mengalir dari berbagai sumber mata air. Alirannya bermuara ke garis pantai purba seperti ke Laut Flores, Laut Cina Selatan, dan bagian utara Selat Malaka.
Ketika suhu global meningkat dan ditambah peristiwa geologis, daratan itu perlahan-lahan tenggelam menjadi Laut Jawa, Selat Malaka, Laut Natuna, dan Selat Karimata. Laut-laut yang baru itu menciptakan arus yang punya peran dalam sirkulasi hidrodinamika pelayaran di masa lampau.
"Kita coba, misalnya, kita lihat transportasi pada pada abad ketujuh dan sepuluh di Nusantara," jelas Widodo. Zaman dahulu, kapal belum punya mesin sehebat hari ini. Pelayaran membutuhkan kekuatan daya dorong angin pada layar, dan arus yang mendorong tubuh kapal.
Baca Juga: Merapah Rempah: Cerita Bahtera-bahtera Kuno di Dasar Samudra Kita
Baca Juga: Selidik Jalur Rempah, Jaringan Dagang dan Dakwah Islam di Nusantara
Widodo melihat, alur pelayaran Sriwijaya tersebar ke Champa dan Khmer di daratan utama Asia Tenggara. Terkadang, pelayaran Sriwijaya juga ke Jawa seperti ke Holing dan Tugu.
"Kita lihat apa yang namanya tipe pasang-surut, maka di sini ada tipe pasang-surut yang menarik di daerah Selat Karimata, ada yang berbeda. Di situ ada diurnal tide atau satu hari ada satu hari ada satu kali pasang dan satu kali surut," paparnya.
Tipe pasang surut yang melingkupi Bangka Belitung dan Kalimantan Barat itu dikelilingi oleh banyak tipe pasang-surut lainnya. Dari Laut Cina Selatan sampai ke Natuna, ada pasang surut campuran yang cenderung diurnal. Dari Teluk Benggala sampai Selat Malaka ada pasang-surut semi-diurnal.
"Jadi ini yang menarik yang mungkin mengakibatkan elevasi muka laut yang kompleks itu menghasilkan aliran yang juga kompleks. Elevasi itu juga diuji oleh Widodo dalam penelitian lainnya.
Menariknya, elevasi muka laut yang bisa berubah-ubah, bisa berbahaya bagi pelayaran. Sampai saat ini, kebanyakan dari temuan kapal karam dari masa lampau bisa ditemukan di sepanjang Selat Malaka, Laut Natuna, sampai ke Laut Jawa.
Perairan ini masih digunakan sampai sekarang sebagai jalur transportasi nasional dan mancanegara. Di satu sisi, peranan arus juga tidak kalah hebat di bagian tengah Indonesia yang kadang dimanfaatkan pelayaran dari Filipina menuju Australia.