Bagaimana Transformasi Perbudakan setelah Jatuhnya Kekaisaran Romawi?

By Sysilia Tanhati, Rabu, 12 Oktober 2022 | 13:19 WIB
Perbudakan memegang peranan penting di kekaisaran. Lalu apa yang terjadi dengan perbudakan setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi? (Pascal Radigue/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Antara abad ke-3 dan ke-6, otoritas politik Kekaisaran Romawi di Barat mulai melemah dan akhirnya jatuh. Setelah kejatuhan Kekaisaran Romawi Barat, muncul kerajaan-kerajaan kecil di bekas wilayah taklukan Romawi yang dikuasai oleh suku barbar. Seperti yang sudah diketahui, perbudakan memegang peranan penting di kekaisaran. Lalu apa yang terjadi dengan perbudakan setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi?

Transformasi budak

Jika di zaman Romawi budak dimanfaatkan untuk pertanian, maka setelah kejatuhan Romawi, semuanya pun berubah. Pertanian Romawi bertranformasi menjadi permukiman khas Abad Pertengahan.

Sebagian tanah pertanian tetap dipertahankan untuk menghasilkan produk. Hasil pertanian tersebut kemudian diangkut dan dijual ke pasar. Budak tetap mengelola tanah pertanian. Jika di zaman Romawi hak budak dirampas, lain halnya di Abad Pertengahan. “Secara bertahap mereka memperoleh beberapa hal namun terbatas,” tutur Andrei Tapalaga di laman Medium.

Budak pun dibedakan menjadi dua macam. Budak rumah tangga yang melakukan pekerjaan rumah tangga. Jumlah mereka lebih sedikit. Budak ini tinggal di tempat yang lebih baik dan menerima makanan yang lebih baik. Mereka terkadang bisa bepergian dengan keluarga majikan. Dalam banyak kasus, sistem kelas dikembangkan dalam komunitas budak.

Lalu ada budak yang dimiliki. Sebagian besar dari mereka bekerja di perkebunan dan pertanian. Seperti di zaman Romawi, budak ini tidak memiliki kebebasan atau hak apa pun. Satu-satunya hal yang akan mereka terima adalah satu kali makan sehari dan air.

Fenomena baru terbentuk

Untuk mendukung produksi, dalam periode penurunan drastis populasi, terjadi fenomena baru: penjajahan. Perkebunan besar tua dipecah menjadi perkebunan-perkebunan kecil yang dikerjakan oleh orang bebas. Mereka dipaksa untuk membayar pajak.

Uskup Spanyol Isidore dari Seville pada abad ketujuh menulis, “para pemukim (budak) dikumpulkan bahkan dari daerah yang jauh. Mereka harus membayar sebagian buah kepada pemiliknya. Namun, mereka dapat pergi dan menetap di tanah lain, untuk mencari kondisi yang lebih baik.”

Agama memainkan peranan penting

Fenomena ini sering terjadi pada masa kepausan Gregorius I. Ia mengizinkan para budak bekerja di tanah gereja yang luas dengan kondisi yang sangat menguntungkan. Karena kondisi ini, gereja tidak menyebut mereka sebagai budak tetapi sebagai petani. “Pasalnya, gereja tidak mengakui perbudakan,” tambah Tapalaga.

Paus Gregorius I pun memaksa pemungut cukai untuk tidak menyentuh produk yang diperoleh petani di kebun mereka sendiri. Hasil pertanian itu dicadangkan untuk kelangsungan hidup atau perdagangan kecil yang menguntungkan petani.

  

Baca Juga: Efek Mendalam Kejatuhan Kekaisaran Romawi pada Sejarah Eropa Barat

Baca Juga: Ketakutan yang Jadi 'Bahan Bakar' Pembangunan Tembok Hadrian

Baca Juga: Mumi Elang Tanpa Kepala di Mesir Mengungkap Ritual Kuno Zaman Romawi

    

Selain itu, seperti yang dapat dilihat dari surat Paus, gereja mengambil pajak untuk diinvestasikan dalam amal, rumah sakit, dan pinjaman kecil. Tindakan ini bukan awal kebebasan individu. Namun menegaskan bahwa seseorang tidak dapat menjadi milik seseorang. Tetapi, meskipun dikutuk oleh gereja, perdagangan budak berlangsung lama dan sangat menguntungkan.

Selain itu, Paus Gregorius I pernah memperingatkan beberapa orang Yahudi yang memiliki tanah yang dikerjakan oleh budak Kristen. Dia mengundang pemilik untuk membebaskan budak. Namun mengharuskan budak untuk tetap melayani tuan lama dan membayar pajak mereka sesuai dengan hukum.

Paradoks budak

Paradoksnya, ketika hasil pertanian buruk atau serangan barbar melanda suatu wilayah, para budak, bebas atau tidak, lari untuk mencari perlindungan dari pemilik tanah besar. Mereka dipaksa untuk bersumpah setia kepada tuan tanah agar dapat bertahan hidup. Oleh karena itu, kebebasan tidak selalu dijamin. Karena pada akhirnya, jika ada bencana, para budak itu akan mencari perlindungan. Budak kadang-kadang akan menemukan keamanan dengan pemiliknya, bahkan jika orang-orang ini mencuri hak dan kebebasan mereka.

Seiring perubahan zaman, pada awal abad ke-7, budak lebih dipandang sebagai petani yang diberi kebebasan untuk berkeluarga. Mereka dapat melakukan apa pun yang diinginkan selama bisa membayar pajak dan sewa kepada para pemilik tanah.

Kejatuhan Romawi, yang dipandang sebagai tragedi, membawa perubahan ke banyak hal. Termasuk transformasi perbudakan yang pernah menjadi faktor penting dalam kekaisaran.