Baca Juga: Aduh! Air Minum di Stasiun Luar Angkasa Internasional Tercemar Bakteri
"Studi kami bertujuan untuk mengatasi kekurangan eksperimen berbasis darat sebelumnya dengan melakukan pengukuran kuantitatif langsung dari efek biologis radiasi ruang angkasa di Stasiun Luar Angkasa Internasional dan membandingkan efek biologis nyata ini dengan perkiraan fisik dalam eksperimen berbasis darat," kata Takashi Morita, profesor di Graduate School of Medicine, Osaka Metropolitan University lewat rilisnya.
Dalam penelitiannya, mereka menyiapkan 1.500 tabung krio (tabung kecil untuk spesimen beku yang biasa ada di laboratorium) yang mengandung sel punca embrionik tikus. Sel ini sangat peka terhadap radio, dan para peneliti mengirimnya ke luar angkasa.
Studi ini sulit dalam cakupannya. Sebab, ada tujuh tahun pengerjaan sebelum peluncuran, dan empat tahun kerja setelah peluncuran. Kemudian ditambah lagi dengan lima tahun analisis, terang para peneliti.
"Sulit untuk mempersiapkan eksperimen dan menafsirkan hasilnya, tetapi kami berhasil memperoleh hasil kuantitatif terkait radiasi ruang angkasa, memenuhi tujuan awal kami," lanjut Morita.
Para peneliti menjelaskan, studi ini menjadi saran pertimbangan bagi lembaga penerbangan luar angkasa untuk memperhatikan keamanan dan kesehatan awak dan astronautnya. Ke depannya, studi ini akan coba mempertimbangkan sel induk embrionik manusia agar lebih sahih. Sebab, sel manusia jauh lebih cocok untuk mengetahui penilaian risiko manusia untuk terbang ke antariksa.
"Eksperimen semacam itu di luar angkasa dapat berkontribusi lebih lanjut untuk mengurangi ketidakpastian dalam penilaian risiko perjalanan manusia yang berkepanjangan dan tinggal di luar angkasa," Morita menyimpulkan.