Nationalgeographic.co.id - Berkat munculnya perusahaan-perusahaan swasta antariksa, perjalanan wisata ke luar angkasa memungkinkan. Mereka menawarkan paket wisata dengan harga yang masih sangat mahal seperti oleh SpaceX dan Virgin Galactic.
Meski demikian, wisata antariksa punya banyak kontroversi. Selama ini masalah emisi yang dihasilkan oleh teknologi penerbangan ke luar angkasa. Belakangan, para ilmuwan memprediksi dampak buruk penerbangan luar angkasa di masa depan yang menghantui bisnis ini.
Dampak itu muncul dari radiasi. Sudah lama diketahui bahwa radiasi ruang angkasa bisa berbahaya bagi makhluk hidup Bumi. Itu sebabnya, astronaut yang melakukan misi dan penelitian di ruang angkasa perlu memakai kostum dan helm. Belum lagi ada banyak materi kosmik yang tak kasatmata.
Saat ini orang-orang biasa bisa melakukan perjalanan di luar angkasa. Bahkan, kelak, bukanlah hal yang mustahil untuk adanya penerbangan berawak jangka panjang ke beberapa tempat di luar angkasa seperti Bulan dan Mars. Akan tetapi, radiasi luar angkasa bisa menjadi faktor alasan eksplorasi berawak terbatas.
Para ilmuwan telah melakukan penelitian intensif untuk mengukur dosis fisik radiasi ruang angkasa untuk lebih memahami efeknya pada tubuh manusia.
Pengetahuan soal dampak buruk radiasi ruang angkasa telah lama diuji. Namun, eksperimen mengenainya dilakukan di darat sehingga tidak memiliki hasil pasti. Padahal luar angkasa memiliki radiasi dari berbagai jenis partikel dan energi berbeda. Sedangkan astronaut terus menerus terpapar berbagai macam cahaya dosis rendah.
Makanya, penelitian terbaru mencoba mencari tahu terkait bahaya radiasi dari lingkungan yang sebenarnya. Sebuah studi terbaru oleh para peneliti lintas negara mengungkapkannya lewat percobaan jangka panjang di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).
Lewat studi mereka, tim melakukan pengukuran langsung dari efek biologis radiasi ruang angkasa dengan meluncurkan sel induk embrionik tikus beku dari Stasiun. Penelitian itu dipublikasikan di jurnal Heliyon pada 18 Agustus 2022. Makalahnya berjudul "Comparison of biological measurement and physical estimates of space radiation in the International Space Station."
Sel itu dilepaskan ke radiasi ruang angkasa selama lebih dari empat tahun dan mengukur efek biologisnya dengan pemeriksaan aberasi kromosom. Hasil dari pengamatan mereka, ternyata, menunjukkan efek biologis yang sangat nyata dari radiasi ruang angkasa yang sangat berbahaya bagi fisik.
Baca Juga: Rusia Ajak Turis Lakukan Perjalanan ke Luar Angkasa Pada 2023
Baca Juga: Peluncuran Bersejarah Crew Dragon Menjadi Acara Daring NASA yang Paling Banyak Ditonton
Baca Juga: Aduh! Air Minum di Stasiun Luar Angkasa Internasional Tercemar Bakteri
"Studi kami bertujuan untuk mengatasi kekurangan eksperimen berbasis darat sebelumnya dengan melakukan pengukuran kuantitatif langsung dari efek biologis radiasi ruang angkasa di Stasiun Luar Angkasa Internasional dan membandingkan efek biologis nyata ini dengan perkiraan fisik dalam eksperimen berbasis darat," kata Takashi Morita, profesor di Graduate School of Medicine, Osaka Metropolitan University lewat rilisnya.
Dalam penelitiannya, mereka menyiapkan 1.500 tabung krio (tabung kecil untuk spesimen beku yang biasa ada di laboratorium) yang mengandung sel punca embrionik tikus. Sel ini sangat peka terhadap radio, dan para peneliti mengirimnya ke luar angkasa.
Studi ini sulit dalam cakupannya. Sebab, ada tujuh tahun pengerjaan sebelum peluncuran, dan empat tahun kerja setelah peluncuran. Kemudian ditambah lagi dengan lima tahun analisis, terang para peneliti.
"Sulit untuk mempersiapkan eksperimen dan menafsirkan hasilnya, tetapi kami berhasil memperoleh hasil kuantitatif terkait radiasi ruang angkasa, memenuhi tujuan awal kami," lanjut Morita.
Para peneliti menjelaskan, studi ini menjadi saran pertimbangan bagi lembaga penerbangan luar angkasa untuk memperhatikan keamanan dan kesehatan awak dan astronautnya. Ke depannya, studi ini akan coba mempertimbangkan sel induk embrionik manusia agar lebih sahih. Sebab, sel manusia jauh lebih cocok untuk mengetahui penilaian risiko manusia untuk terbang ke antariksa.
"Eksperimen semacam itu di luar angkasa dapat berkontribusi lebih lanjut untuk mengurangi ketidakpastian dalam penilaian risiko perjalanan manusia yang berkepanjangan dan tinggal di luar angkasa," Morita menyimpulkan.