Perjuangan Santri Batu Ilek Melawan Determinasi Pemerintah Kolonial

By Galih Pranata, Sabtu, 22 Oktober 2022 | 15:00 WIB
Sejumlah rakyat dan santri disidak dalam patroli Hindia Belanda di Cirebon. (Wakker, H./Wikimedia)

Nationalgeographic.co.id—Sebuah pesantren besar berdiri di sebuah desa bernama Batu Ilek. Dahulu, orang dengan mudahnya menyebut nama pesantren sesuai dengan desa di mana ia berdiri, jadilah pondok pesantren Batu Ilek di Aceh.

Sebagaimana prinsip para kiai terdahulu, pendirian pondok dibuat berjarak dari pantauan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Batu Ilek dibangun di dataran tinggi, sekiranya para pemerintah kolonial tidak banyak mengintervensi dalam setiap pengambilan kebijakan internal pondok pesantren.

Namun, betapapun, pemerintah kolonial selalu resah dengan aktivitas segerombol kiai dengan santrinya di Batu Ilek. Mereka berupaya untuk mendorong para kiai memberikan laporan tentang kegiatan belajar mengajar di sana. Belanda takut adanya pergerakan yang meracau stabilitas politiknya.

Kebijakan pemerintah kolonial yang menuntut dan membatasi ruang gerak para ulama dan kiai di pondok itu, membuat gejolak di dalamnya. Para kiai dan ulama merespons dengan membangun kesepakatan untuk mengajak segenap santri dalam melakukan sejumlah pemberontakan.

Dahnian Hasibuan menuliskan dalam skripsinya (2015), bahwa santri-santri dikerahkan untuk "mendirikan benteng-benteng pertahanan yang mengambil lokasi di puncak gunung yang dihubungkan oleh terowongan-terowongan perlindungan."

Dahnian menulis skripsinya kepada IAIN Padangsidimpuan dalam judul "Peran Pesantren dalam Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia Pada Masa Penjajahan Belanda" yang diterbitkan tahun 2015.

Ketika tindakan regresif pemerintah Belanda yang mulai menutup sejumlah pesantren karena dianggap membahayakan kedudukan mereka di Hindia Belanda, para ulama mengerahkan segenap santrinya untuk berjihad dan membela panji Islam.

Pemerintah juga merespon tindakan defensif pesantren Batu Ilek yang tidak mau terbuka kepada mereka dengan mengirimkan sejumlah pasukan militer di bawah pimpinan Jenderal van Heijden. Pasukan militer diminta untuk merobohkan benteng-benteng itu, tetapi "ia tidak juga berhasil merobohkannya," imbuh Dahnian.

Akibat kegagalan Heijden, pada tahun 1901 di bawah pimpinan van Heuts, pasukan militer Hindia Belanda kembali dikerahkan untuk menembaki benteng-benteng pesantren dengan meriam kapal jarak jauh dan howitzer berat.

 Baca Juga: Santri-santri Bengal Zaman Kolonial

 Baca Juga: Dari Santri hingga Piala Citra, Keterlibatan Gus Dur di Dunia Film

 Baca Juga: Sistem Pondok Taman Siswa yang Memupuk Semangat Kekeluargaan

Berkat kegigihan pertahanan yang dibangun pesantren, sejumlah serangan itu dimuntahkan dan tetap membuat Batu Ilek berdiri tegap. Tembakan jarak jauh yang dinilai gagal, kembali diupayakan dengan melakukan serangan jarak dekat.

Salah satu pasukan marsose yang didatangkan dari Ambon, berhasil merangsek masuk ke dalam benteng pertahanan. Namun, sejumlah santri dengan tegap menghadang pasukan yang berupaya merusak pondok pesantren mereka.

Upaya gigih santri membuat sejumlah pertarungan sengit dengan pasukan militer terlatih marsose, mereka tetap berhasil menerobos pertahanan para santri dan merusak sebagian infrastruktur pondok.

Seorang santri memegang buah kelapa yang terbakar, seusai sepak bola api di Pondok Pesantren Lirboyo. (Reynold Sumayku)

Melihat sejumlah santrinya mati terbunuh, sang kiai berinisiatif untuk melemparkan obor ke gudang mesiu yang terletak di wilayah pondok. Obor itu yang kemudian meledakkan sebagian ruang di Batu Ilek, utamanya pasukan marsose yang sedang melakukan pengrusakan.

Meski takluk dan hancur, peristiwa pemberontakan dan perlawanan santri di pesantren Batu Ilek menjadi salah satu kisah heroik yang mewarnai perjuangan umat Islam, sekaligus perjuangan bangsa Indonesia dalam menentang kekuasaan yang mengekang oleh pemerintah kolonial.