Mengapa Anak Muda Harus Terlibat dalam Gerakan Peduli Iklim?

By Utomo Priyambodo, Selasa, 25 Oktober 2022 | 14:00 WIB
Gerakan #SayaPilihBumi menegaskan bahwa kegiatan manusia sekecil apa pun bisa berdampak pada kelestarian bumi. (Gregorius Bhisma Adinaya)

Nationalgeographic.co.id - Dari sekian banyaknya permasalahan global, mulai dari wabah penyakit, resesi ekonomi, hingga perang antarnegara, kita tidak boleh melupakan masalah perubahan iklim. Masa wabah penyakit tertentu bisa berakhir, begitu pula dengan perang dan resesi, tetapi perubahan iklim akan terus berlanjut seiring dengan aktivitas umat manusia yang tidak ramah iklim.

Perubahan iklim adalah salah satu tantangan global paling kritis di zaman modern saat ini. Rentetan bencana alam, penularan penyakit mematikan dari hewan ke manusia, hingga kenaikan harga pangan, secara tegas menunjukkan kerentanan kita yang semakin besar terhadap perubahan iklim.

Kita perlu memahami betul bahwa dampak perubahan iklim jelas memengaruhi pertanian sehingga semakin membahayakan ketahanan pangan, hingga kenaikan permukaan laut dan percepatan erosi wilayah pesisir yang meningkatkan intensitas bencana alam, kepunahan spesies, dan penyebaran penyakit yang ditularkan melalui vektor. Masalah ini sangat penting bagi setiap warga dunia. Oleh karena itu, diperlukan inisiatif untuk melawannya secara global.

Sebuah studi yang terbit di jurnal Indian Journal of Occupational and Environmental Medicine menunjukkan bahwa anak-anak muda memainkan peran penting dalam memerangi perubahan iklim. Sebuah survei percontohan berbasis kuesioner dilakukan di Kota Pune di negara bagian Maharashtra, India, untuk menilai kesadaran tentang perubahan iklim di kalangan anak-anak muda yang sedang berkuliah.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menekankan pentingnya peran anak-anak muda dalam memerangi masalah ilmiah yang kompleks dan kesulitan sosial yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Anak-anak muda perlu terlibat dalam gerakan peduli iklim karena merupakan generasi berikutnya yang menghuni Bumi dan mewarisi tanggung jawab untuk melindungi planet ini. Ketimbang generasi tua, generasi anak mudalah yang juga bakal paling terdampak oleh efek perubahan iklim.

"Pendidikan pemuda merupakan salah satu alat paling efektif untuk memerangi potensi destruktif perubahan iklim dan menumbuhkan pemahaman internasional di antara anggota generasi berikutnya karena ini adalah proses jangka panjang yang akan berdampak pada generasi mendatang yang tak terbatas," tulis para peneliti dalam studi tersebut.

Ban Ki-moon, mantan Sekretaris Jenderal PBB, pernah mengatakan bahwa anak-anak muda yang mahir menyebarkan kebiasaan dan teknologi baru memiliki posisi yang baik untuk berkontribusi dalam memerangi perubahan iklim.

Baca Juga: Dimulai dari Tapak, Kunci Membangun Ketahanan terhadap Krisis Iklim

Baca Juga: Transisi Energi adalah Kunci Mengatasi Krisis Energi dan Krisis Iklim

Baca Juga: Bagaimana Perubahan Iklim Memengaruhi Air Laut dan Ekosistem? 

Ban menekankan, “Mereka (anak-anak muda) mudah beradaptasi dan dapat dengan cepat menjadikan gaya hidup dan pilihan karier rendah karbon sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka."

"Oleh karena itu, anak-anak muda harus diberi kesempatan untuk berperan aktif dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal, nasional, dan global. Mereka dapat secara aktif mendukung inisiatif yang akan mengarah pada pengesahan undang-undang yang berjangkauan luas," tegas Ban.

Riset yang dilakukan di Indonesia oleh Remotivi juga mengonfirmasi tren positif bahwa anak muda tidak hanya sadar iklim, tetapi juga bertindak untuk mitigasinya. Riset ini menunjukkan bahwa partisipasi anak muda dilakukan lewat dua jalan.

Jalan pertama, dan yang paling dominan, adalah lewat konsumsi ramah lingkungan. Ini merupakan aksi individu untuk mempertimbangkan dampak pola konsumsi mereka bagi lingkungan.

Hasil survei mereka menunjukkan rata-rata 70% responden telah berpartisipasi dalam berbagai praktik konsumsi ramah lingkungan, terutama mengurangi konsumsi energi dan sampah, serta memilih produk ramah lingkungan. Rata-rata responden pun telah melakukannya secara rutin.

Jalan kedua, aktivisme lingkungan, merupakan aksi kolektif di ruang publik yang sifatnya menuntut perubahan kebijakan. Partisipasi ini menyasar pejabat atau institusi pemerintah, dan berangkat dari kuasa individu sebagai warga untuk mendorong perubahan lewat intervensi ke negara.

Survei mereka menunjukkan bahwa partisipasi melalui aktivisme lingkungan telah dilakukan lebih dari 50% responden dalam bentuk mengikuti kampanye, menandatangani petisi, dan memberikan donasi. Dalam dua bentuk aktivisme lainnya (protes dan audiensi), partisipasi anak muda masih kurang dari 30%. Namun, setidaknya sekitar 40% menyatakan kesediaan melakukannya di masa depan.

Yang perlu dicermati, komitmen generasi muda untuk berpartisipasi ternyata lebih banyak direalisasikan lewat jalan konsumsi ramah lingkungan, ketimbang aktivisme lingkungan. Meski pola konsumsi ramah lingkungan itu penting, studi telah menunjukkan bahwa ini kurang berdampak dalam mendorong komitmen pemerintah mengatasi krisis iklim.

Gerakan konsumsi ramah lingkungan tampaknya perlu disebarkan agar lebih banyak orang ikut melakukannya, baik lewat kampanye massal maupun sosialisasi antarindividu. Selain itu, gerakan aktivisme lingkungan juga perlu disebarkan lewat berbagai bentuk kampanye dan sosialiasi agar lebih banyak orang yang berpartisipasi dan melahirkan kekuatan yang lebih besar dalam mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro terhadap lingkungan.

#SayaPilihBumi, gerakan sosial yang digagas National Geographic Indonesia sejak 2018, konsisten membahas gerakan perubahan sehari-hari untuk Bumi yang lebih lestari. Tahun ini #SayaPilihBumiFestival akan digelar pada 2022 ini. Festival ini bakal kembali mengangkat isu-isu lingkungan lewat media dan perbincangan yang lebih ringan, santai, dan menyenangkan. Dari gelar wicara, berbagi cerita inspirasi, kolaborasi komunitas dalam pelestarian bumi, sampai konser musik.