Kekaisaran Parthia, Rival Kekaisaran Romawi yang Dilupakan Sejarah

By Sysilia Tanhati, Kamis, 27 Oktober 2022 | 10:00 WIB
Di masanya, Kekaisaran Parthia menjadi rival abadi Kekaisaran Romawi. Posisinya dan kekayaannya membuat kekaisaran ini hampir tidak tertandingi. (Charles-Antoine Coypel)

Nationalgeographic.co.id - Pada 53 Sebelum Masehi, legiun Romawi menderita kekalahan memalukan di Pertempuran Carrhae. Serangkaian perang yang panjang terjadi, tetapi Romawi gagal melenyapkan musuh bebuyutan mereka—Parthia. Pada masa keemasannya, kekaisaran ini menguasai wilayah yang luas, terbentang dari Efrat hingga Himalaya. Sayangnya, Parthia yang menjadi rival Kekaisaran Romawi itu dilupakan oleh sejarah.

Memiliki kendali atas Jalur Sutra membuat Parthia menjadi kekaisaran yang kaya. Kekayaan itu memungkinkan penguasa toleran untuk menghidupkan kembali kebesaran Kekaisaran Achaemenid dan meniru multikulturalismenya

Selain itu, Parthia mampu mendanai pasukan canggih, yang selama berabad-abad mendominasi medan perang. Dengan segala kelebihannya, Parthia terbukti menjadi hambatan yang tidak dapat diatasi bagi legiun Romawi. Pada akhirnya, musuh abadi Romawi itu dihancurkan oleh musuh terdekatnya yaitu Kekaisaran Persia Sassanid.

Kebangkitan Parthia

Setelah kematian Alexander Agung, sahabat dan jenderal terdekatnya—Diadochi—membangun kekaisaran besarnya. Bagian terbesarnya, yang terdiri dari bekas pedalaman Persia, berada di bawah kendali Seleukus I Nicator. Ia mendirikan dinasti Seleukus pada 312 Sebelum Masehi setelah serangkaian konflik.

Namun, perang terus-menerus dengan Ptolemeus Mesir melemahkan kontrol Seleukus atas bagian timur kerajaan mereka yang luas. Pada 245 Sebelum Masehi, gubernur Parthia (sekarang Iran utara) memanfaatkan salah satu konflik tersebut dan memberontak. Parthia menyatakan kemerdekaannya dari Kekaisaran Seleukia.

"Namun, kesuksesannya berumur pendek," tulis Vedran Bileta di laman The Collector. Ancaman baru datang, kali ini bukan dari Timur, melainkan dari Utara. Pada 238 Sebelum Masehi, sebuah kelompok nomaden kecil yang dikenal sebagai Parni, menyerbu Parthia. Kelompok nomaden itu dengan cepat mengambil alih provinsi tersebut. Seleucid segera merespons, tetapi pasukan mereka tidak dapat merebut kembali daerah tersebut.

 Baca Juga: Selidik Arkeolog: Benteng Irak Adalah Kota Natounia yang Hilang?

 Baca Juga: Gajah Jadi Senjata Menakutkan dalam Perang Yunani hingga Romawi

Pada tahun-tahun berikutnya, Parni secara bertahap diserap oleh penduduk asli Parthia, menciptakan fondasi yang kuat untuk sebuah kekaisaran. Perang dengan Seleukus berlanjut selama beberapa dekade. Namun, pada pertengahan abad kedua Sebelum Masehi, Parthia menaklukkan semua wilayah inti Kekaisaran Achaemenid lama. “Ini termasuk dataran subur Mesopotamia,” tambah Bileta.

Tidak mengherankan, para penguasa Parthia memilih wilayah yang kaya dan penting secara strategis ini untuk membangun ibu kota barunya. Dengan posisi yang strategis, ibu kotanya dengan cepat menjadi salah satu kota terpenting di dunia kuno—Ctesiphon.

Ctesiphon, ibu kota kosmopolitan yang kaya

Ctesiphon secara ideal terletak di pusat kekaisaran besar, membentang dari Baktria (sekarang Afghanistan) hingga Efrat.

Seperti pendahulunya Achaemenid, Parthia juga merupakan kekaisaran kosmopolitan. Penduduknya terdiri dari orang-orang yang berbicara banyak bahasa yang berbeda. Mereka juga memiliki banyak budaya dan agama yang berbeda.

Penguasa Parthia—Arsacid—tidak memiliki hubungan darah dengan pendahulu Persia sebelumnya. Namun, mereka menganggap diri mereka sebagai pewaris sah Kekaisaran Achaemenid. Sebagai ganti hubungan keluarga, Arsacid mempromosikan multikulturalisme seperti yang dilakukan pendahulunya.

Selama membayar pajak dan mengakui otoritas Arsacid, rakyat Parthia bebas menganut agama, adat, dan tradisi mereka.

Dinasti itu sendiri mencerminkan inklusivitas kerajaannya. Penguasa Parthia pertama—Arsaces I—mengadopsi bahasa Yunani sebagai bahasa resmi. Penerusnya mengikuti kebijakan ini dan mencetak koin mengikuti model Helenistik.

Seni dan arsitektur menampilkan pengaruh Helenistik dan Persia. Akan tetapi warisan Iran Parthia tetap dipertahankan dari waktu ke waktu. Bangsa Arsacid melestarikan dan menyebarkan agama Zoroaster dan mereka berbicara bahasa Parthia. Seiring dengan berjalannya waktu, bahasa Yunani pun digantikan dengan bahasa Parthia. Pergeseran ini merupakan respons Parthia terhadap kekuatan dan ancaman yang berkembang dari saingan baratnya—Kekaisaran Romawi.

Parthia dan Romawi, musuh abadi

Sepanjang keberadaannya, Kekaisaran Parthia menjadi kekuatan utama di dunia kuno. Sementara perbatasan timur sebagian besar sepi, Parthia harus menghadapi tetangganya yang agresif di Barat.

Menyusul kemenangan melawan Seleucid dan negara bagian Pontus, Romawi mencapai perbatasan Parthia. Namun, pada 53 Sebelum Masehi, Parthia menghentikan kemajuan Romawi, memusnahkan legiun mereka. Pasukan Parthia membunuh komandan Romawi, Marcus Licinius Crassus.

Selama pertempuran ini, kavaleri Parthia menggunakan "Tembakan Parthia" yang khas, dengan hasil yang menghancurkan. Pertama, pasukan berkuda maju, hanya untuk mundur secara taktis atau pura-pura. Kemudian, pemanah mereka berbalik dan menghujani musuh dengan tembakan panah mematikan. Akhirnya, katafrak lapis baja Parthia menyerang legiuner yang tidak berdaya dan bingung. Kontak, pasukan Romawi panik dan melarikan diri dari medan perang.

 Baca Juga: Invasi Suku Barbar ke Romawi Jadi Awal Mula Kejatuhan Romawi

 Baca Juga: Pengepungan Tirus, Jejak Alexander Mengubah Pulau Jadi Semenanjung

Pada tahun 36 Sebelum Masehi, Parthia mencetak kemenangan besar lainnya melawan Romawi, mengalahkan legiun Mark Antony di Armenia.

Namun, pada abad pertama Masehi, permusuhan berhenti. Kedua kekuatan besar menetapkan batas di sepanjang Sungai Efrat. Kaisar Augustus bahkan mengembalikan standar elang yang hilang dari Crassus dan Antony.

Gencatan senjata itu hanya sementara, karena baik Romawi maupun Parthia menginginkan kendali atas Armenia. Wilayah itu menjadi pintu gerbang ke padang rumput yang luas, dan Asia Tengah. Namun, tidak ada pihak yang bisa membuat terobosan. Meskipun Kaisar Trajan mampu menaklukkan Mesopotamia pada tahun 117 Masehi, Romawi gagal memecahkan “permasalah timur”.

Parthia, yang dilemahkan oleh masalah internal, juga tidak dapat mengambil inisiatif. Akhirnya, pada tahun 217, setelah penjarahan Ctesiphon oleh Caracalla dan kematian mendadak kaisar, orang Parthia memanfaatkan kesempatan untuk menguasai benteng utama Nisibis. Parthia memaksa orang Romawi untuk menyetujui perdamaian yang memalukan.

Parthia terhapuskan dari sejarah

Pembalikan keberuntungan dan kemenangan di Nisibis adalah kemenangan terakhir Parthia atas saingan baratnya. Namun pada saat yang sama, kekaisaran berusia 400 tahun itu sedang mengalami kemunduran. Parthia dilemahkan oleh perangnya yang mahal dengan Romawi serta oleh perjuangan dinasti.

Ironisnya, penyebab kejatuhan Parthia mirip dengan waktu mereka menyatakan kemerdekaan dari Kekaisaran Seleukia. Musuh terakhirnya datang dari Timur. Pada 224 Masehi, seorang pangeran Persia dari Fars (Iran selatan)—Ardashir—memberontak melawan penguasa Parthia terakhir. Dua tahun kemudian, pada tahun 226, pasukan Ardashir memasuki Ctesiphon. Parthia tidak ada lagi, tempatnya diambil oleh Kekaisaran Sassanid.

Untuk memperkuat legitimasinya, Sassanid menghancurkan catatan sejarah Parthia, monumen, dan karya seni. (Wikipediaq)

Jika ada orang di Romawi yang merayakan kejatuhan Parthia saat itu, mereka segera menyesalinya. Tekad Sassanid untuk merebut kembali semua tanah Achaemenid lama membawa mereka pada pertempuran dengan Kekaisaran Romawi.

Agresi Sassanid, didorong oleh semangat nasionalistis, menyebabkan perang yang sering terjadi di abad-abad berikutnya. Perang tersebut menyebabkan kematian lebih dari satu kaisar Romawi.

 Baca Juga: Persia dan Romawi Berperang selama 721 Tahun, Siapa Pemenangnya?

 Baca Juga: Perang Etruska: Takluknya Peradaban Kuno Etruria ke Tangan Romawi

Namun, Romawi bukan satu-satunya target kekaisaran baru dan kuat ini. "Untuk memperkuat legitimasinya, Sassanid menghancurkan catatan sejarah Parthia, monumen, dan karya seni," Bileta menambahkan. Mereka mempromosikan budaya dan tradisi Iran, terutama Zoroastrianisme. Semangat ideologis dan religius ini hanya terus tumbuh pada abad-abad berikutnya. Tentu menyebabkan terjadi konflik dengan orang Romawi.

Seiring dengan berjalannya waktu, Parthia—musuh abadi Romawi—pun terhapus dari sejarah.