Nationalgeographic.co.id - Pelayaran terakhir Laksamana Cheng Ho dan armadanya menandai puncak pengaruh Dinasti Ming Tiongkok di panggung dunia. Ekspedisi angkatan laut ketujuh membawa Cheng Ho melintasi Samudra Hindia ke Arabia. Mereka juga melintasi pantai-pantai Afrika Timur yang terbentang luas. Namun, ekspedisi terakhir Cheng Ho ini pun menyebabkan Dinasti Ming Tiongkok menutup diri dari dunia. Apa sebabnya?
Cheng Ho memimpin lebih dari seratus kapal, termasuk "kapal harta karun" raksasa. Itu merupakan kapal terbesar yang berlayar di laut lepas hingga akhir abad ke-19. Misinya berhasil, tetapi Cheng Ho tidak pernah melihat Tiongkok lagi.
Dalam perjalanan pulangnya, laksamana berusia 62 tahun itu meninggal dan dimakamkan di laut. Setelah kematiannya, pelayaran berhenti, dan armadanya dibongkar.
Ekspedisi angkatan laut terakhir Dinasti Ming Tiongkok dan Cheng Ho
Di bulan Januari 1431, semua bersiap untuk sebuat ekspedisi Angkatan laut ke Samudra Barat. Di Nanjing, Laksamana Cheng Ho menyelesaikan persiapan terakhir.
Ia memerintahkan armadanya yang perkasa untuk berlayar. Sang laksamana memimpin 27.000 orang dan lebih dari seratus kapal, termasuk “kapal harta karun” yang tersohor. Kapal tersebut memiliki sembilan tiang raksasa dengan panjang lebih dari 120 meter dan lebar lebih dari 50 meter.
“Armada besar ini, yang dikenal sebagai Armada Harta Karun, memiliki misi diplomatik,” tutur Vedran Bileta di laman The Collector. Misinya tidak lain adalah untuk menegaskan kembali pengaruh dan kekuatan Dinasti Ming di luar negeri.
Para kru tahu bahwa mereka tidak akan melihat keluarga mereka selama dua tahun. Pasalnya, ekspedisi tersebut akan membawa mereka jauh ke barat, melintasi Samudra Hindia, ke Arab, dan pantai Afrika Timur.
Armada Harta Karun membuat pemberhentian pertamanya di Changle, hanya 800 kilometer selatan Nanjing. Di sana, sang laksamana mendirikan sebuah prasasti berupa lempengan batu besar. Setelah ini selesai, perjalanan dilanjutkan.
Baca Juga: Histori Perjalanan Kecap dan Saus Tomat: Pasta Asia yang Mendunia
Baca Juga: Jalur Rempah Utara-Selatan: Simpul Filipina, Tiongkok, dan Nusantara
Setelah meminta Dewi Pelaut—Tianfei—untuk perlindungan dan angin yang baik, Cheng Ho melakukan perjalanan lebih dari 50.000 kilometer. Ini mungkin terdengar sulit dipercaya. Mengapa? Ekspedisi itu dilakukan di abad ke-15, beberapa dekade sebelum Zaman Eksplorasi.
Namun faktanya, Cheng Ho benar-benar melakukan perjalanan lebih dari 50.000 kilometer. Ini merupakan pelayaran ketujuh bagi Cheng Ho yang sudah enam kali melintasi Samudra Hindia. Prasasti besar, ditemukan pada tahun 1938, adalah catatan langka yang masih tersisa tentang Cheng Ho dan perjalanannya yang menakjubkan.
Diplomasi armada Cheng Ho
Pada 1431, Cheng Ho berusia 60 tahun dan dalam kondisi kesehatan yang buruk. Duduk di kabinnya yang mewah, laksamana itu mungkin merenungkan kehidupan dan kariernya yang luar biasa.
Ia memulai karier tersebut pada tahun 1371 di provinsi Yunnan yang terkurung daratan dan berada bawah kendali Mongol. Anak laki-laki Muslim itu mungkin tidak akan pernah melihat laut yang jauh jika bukan karena sebuah tragedi.
Pada 1381, ketika berusia sepuluh tahun, keluarganya tewas selama penaklukan Ming. Cheng Ho ditangkap, dikebiri, dan dikirim untuk melayani sebagai kasim di istana Ming. Segera dia berteman dengan seorang pangeran yang kuat Zhu Di. Sang pangeran kemudian menduduki takhta kekaisaran sebagai Kaisar Yongle. Untuk memperkuat legitimasi serta meningkatkan dan memperluas prestise Ming Tiongkok, Zhu Di memerintahkan pembangunan armada besar. “Kelak, armada itu diberi nama Armada Harta Karun,” Bileta menambahkan. Untuk komandannya, tentu saja sang kaisar memilih sahabat karib dan rekannya—Cheng Ho.
Dalam dekade berikutnya, Cheng Ho membawa Armada Harta Karun dalam enam perjalanan. Semuanya mengunjungi Asia Tenggara, India, Arab, dan Afrika Timur. Berbeda dengan pedagang Romawi kuno yang juga terlibat dalam perdagangan Samudra Hindia, orang Tiongkok memiliki misi yang berbeda.
Angkatan laut yang sangat besar dirancang untuk memaksa para pemimpin asing tunduk pada Dinasti Ming dan menerima kendali kaisar. Itu adalah diplomasi kapal perang yang terbaik.
Dalam beberapa kasus yang jarang terjadi ketika gagal mengesankan penduduk setempat, Cheng Ho, yang ahli dalam seni perang, menggunakan daya tembak besar armadanya. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa keenam misi itu sukses besar. Armada membanjiri Nanjing dengan hadiah-hadiah eksotis dan membawa banyak utusan asing ke ibu kota.
Pada 1431, lebih dari tiga puluh negara, dari Malaka hingga Afrika Timur, menjadi bagian dari sistem anak sungai Ming. Sistem anak sungai adalah jaringan hubungan internasional yang berfokus pada Tiongkok yang memberikan perdagangan dan hubungan luar negeri. Dalam sistem ini, negara-negara lain mengakui peran dominan Tiongkok. Ini melibatkan berbagai hubungan perdagangan, kekuatan militer, diplomasi, dan ritual. Negara-negara bagian lain harus mengirim utusan upeti ke Tiongkok sesuai jadwal. Mereka juga akan bersujud kepada kaisar Tiongkok sebagai pengakuan terhadap keunggulan Tiongkok.
Misi terakhir Cheng Ho
Namun, tidak semua orang puas dengan pencapaian Armada Harta Karun. Yang paling vokal adalah faksi Konfusianisme. Konfusianisme menganggap pelayaran itu sebagai pelayaran jarak jauh yang sia-sia.
Orang-orang Konghucu juga menentang kebijakan Kaisar Yongle yang menempatkan kasim pada posisi tinggi. “Mereka melihat Cheng Ho, seorang laksamana kasim, sebagai ancaman besar,” ungkap Bileta.
Pada 1424, Kaisar Yongle meninggal saat memimpin kampanye melawan bangsa Mongol di utara. Putranya segera menghentikan ekspedisi yang mahal. Ia mengalihkan dana untuk pengeluaran militer, termasuk pembangunan kembali dan perluasan Tembok Besar. Namun pada tahun 1431, kaisar Xuande, cucu Zhu Di, menyetujui pelayaran ketujuh.
Baca Juga: Penemuan Mumi Perempuan Singkap Gaya Hidup Zaman Dinasti Ming
Baca Juga: 'Marco Polo' Tiongkok, Pengelana Pertama ke Eropa di Abad Ke-13
Armada Harta Karun mengikuti rencana perjalanan yang sudah dikenal. Mereka berlabuh di Vietnam dan Malaka sebelum transit di Selat Malaka dan memasuki Samudra Hindia.
Setelah kunjungan ke Ceylon dan Calicut di ujung selatan India, kapal-kapal mendapatkan angin monsun yang menguntungkan yang membawa mereka ke Hormuz. Terletak di pintu masuk ke Teluk Persia, Hormuz adalah titik kunci, tempat pertemuan jalan sutra laut dan darat.
Setelah melakukan perjalanan ke kota-kota suci Islam, Makkah, dan Madinah, Cheng Ho berkelana lebih jauh ke Timur. Ia mencapai pantai Afrika Timur dan berlayar sejauh Zanzibar, titik terjauh ekspedisi. Dipenuhi dengan hadiah upeti dan pejabat asing, Armada Harta Karun kembali ke Tiongkok pada bulan September 1433, mengakhiri misi sukses lainnya.
Makam tanpa jasad
Armada, bagaimanapun, kembali kehilangan satu anggota awak penting. Laksamana Cheng Ho, yang menjadi kapten armada besar Tiongkok Ming dan memimpin ketujuh ekspedisi, tidak ada di kapal.
Laksamana berusia 62 tahun itu meninggal dalam perjalanan pulang dan dimakamkan di laut. Sebuah makam simbolis yang berisi topi dan pakaian laksamana agung dibangun tepat di luar Nanjing. Makam tersebut masih bisa dikunjungi hingga kini. Mungkin inilah mengapa Cheng Ho mendirikan dan menulis prasasti agungnya, mengetahui bahwa waktunya sudah dekat.
Dengan kematian faktor kunci ekspedisi, para Konfusianisme memulai kampanye untuk secara sistematis menghancurkan semua catatan pelayaran Cheng Ho.
Kaisar, yang sepenuhnya disibukkan dengan bangsa Mongol dan konstruksi pertahanan di utara, menghentikan pelayaran untuk selamanya. Ia pun memerintahkan penghancuran Armada Harta Karun.
Dalam dekade berikutnya, sistem anak sungai runtuh. Sebaliknya, Dinasti Ming berbalik ke dalam, menutup diri dari dunia. Setelah pelayaran terakhir Cheng Ho, Disnasti Ming meninggalkan panggung dunia.
Dalam ironi akhir, Tiongkok menarik diri dari panggung dunia hanya beberapa dekade sebelum penjelajah Eropa berkelana melintasi laut lepas. Saat itu, dunia memasuki Zaman Eksplorasi.
Meski negara-negara barat menjadi negara adidaya maritim, tidak ada yang dapat menandingi Armada Harta Karun Cheng Ho. Baik dari segi ukuran kapal, jumlah awak, maupun kehebatannya.
Selain itu, hadiah kecil pelaut Eropa gagal untuk mengesankan penduduk setempat. Mereka masih ingat dengan jelas barang-barang berharga dan artefak yang dibawa oleh Cheng Ho, yang pastinya jauh lebih mewah.
Namun, era Armada Harta Karun telah berakhir. Dengan menutup diri, Dinasti Ming kehilangan kesempatan untuk unjuk gigi. Prestise internasional Tiongkok berangsur-angsur memudar. Ketika Tiongkok akhirnya bangkit dari tidur panjangnya, ia menghadapi dunia yang jauh berbeda. Dan armada asing pun menguasai lautan lepas.